Sepakbola Sebagai Panggilan Keluarga Steve Nash

Foto: Sports Illustrated

Tampil delapan kali untuk tim All-Star NBA (2002, 2003, 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, 2012), menjadi pemain terbaik (MVP) pada musim 2005 dan 2006, Steve Nash dikenal sebagai salah satu point guard terbaik di dunia bola basket.

Meski sudah pensiun sejak 2015, jasa pria kelahiran Johannesburg, Afrika Selatan, tersebut masih terasa. Ia dipercaya sebagai konsultan talenta Golden State Warriors dan membantu mereka menjuarai NBA dua tahun berturut-turut (2017-2018).

Pemain andalan Warriors, Stephen Curry bahkan mengakui bahwa Nash sudah seperti mentor bagi dirinya, termasuk di luar lapangan. “Steve Nash selalu memberikan pesan kepada saya, bahwa ada jalan lain selain bola basket,” aku Curry. Pemain kelahiran 14 Maret 1988 itu pun menerapkan saran Nash, menggunakan pencapaiannya di dalam lapangan untuk melebarkan sayap: Membuka usaha teknologi.

Berkat saran Nash tersebut, Curry dapat menghasilkan 42 juta Dollar di luar lapangan per Februari 2019. “Sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi Steph [Curry] melakukan apa yang saya perbuat dan mengangkat hal tersebut ke level berikutnya,” kata Nash.

Steve Nash memang memiliki pekerjaan lain di samping menjadi konsultan talenta Golden State Warriors. Dirinya juga dipercaya menjadi General Manajer Tim Nasional Kanada. Ketika Steph Curry membuka usaha teknologi, Steve Nash menggunakan uangnya untuk sepakbola. Per 8 Maret 2018, dirinya tergabung di tim Bleacher Report untuk melaporkan sepakbola.

Kecintaan Steve Nash terhadap sepakbola sudah dikenal berbagai pihak. Dia bukan hanya melaporkan situasi dari dunia sepakbola untuk Bleacher Report, sebelumnya Nash pernah menjalani latihan dengan Tottenham Hotspur dan New York Red Bulls. Kecintaannya pada sepakbola itu tidak lepas dari pengaruh keluarga.

Satu-Satunya Nash yang Tidak Merumput Secara Profesional

Ayah Steve Nash, John, merupakan pesepakbola profesional yang lahir di London dan mendukung Tottenham Hotspur sepanjang hidupnya. Saat Steve lahir di Johannesburg, John sedang berkarir di Afrika Selatan sebelum kemudian pindah ke Kanada dan menjadi pelatih sepakbola untuk anak-anaknya.

Ketika Steve memilih basket sebagai karirnya, anak John lainnya, Martin Nash melanjutkan mimpi Sang Ayah menjadi pesepakbola. Nama Martin Nash mungkin terdengar asing untuk sebagian orang, membela berbagai kesebelasan mau dari Stockport County dan Chester City di Inggris, hingga Vancouver Whitecaps di Kanada, Martin Nash merupakan langganan Tim Nasional sejak 1997.

Namun ketika dirinya ada di puncak karir, Whitecaps belum bermain di MLS. Mereka masih merupakan peserta United Soccer League di mana Nash membantu tim tersebut menjadi juara sebanyak dua kali (2006, 2008). Martin Nash seharusnya menjadi kapten pertama Whitecaps di MLS. Namun, dirinya lebih dahulu pensiun sebelum MLS 2011 dimulai.

“Ini merupakan keputusan yang berat. Namun saya senang bisa mengakhiri karir di sini [Whitecaps], tempat semuanya dimulai,” ungkap Nash yang meninggalkan Whitecaps setelah 10 musim dan jadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah klub (31). Rekor yang bertahan dua tahun sebelum dipecahkan Camilo Sanvezzo (39).

Adik dari Steve dan Martin, Joann Nash juga bermain sepakbola. Meski tidak profesional, dirinya merupakan kapten dari Universitas Victoria. Hanya Steve saja yang memilih basket sejak masa kuliahnya.

Foto: Sports Illustrated

Kembali ke Akar Keluarga

Martin Nash mungkin hanya dikenal oleh sebagian orang dan dikenang pendukung Vancouver Whitecaps, tapi kakaknya merupakan seorang legenda. Legenda basket bersama Universitas Santa Clara, Dallas Mavericks, dan Phoenix Suns.

Hingga akhir karirnya, Nash menduduki peringkat tiga assist terbanyak di NBA. Mencatat 10.335 assist, Nash hanya kalah dari Jason Kidd (12.091) dan John Stockton (15.806). Angka Nash tersebut sulit untuk dikejar pemain-pemain yang masih aktif saat ini. Chris Paul sebagai pemain aktif dengan catatan assist terbanyak saja masih 1.000 assist lebih di bawah Nash (8.994).

Meski memiliki nama besar di olahraga basket, Steve Nash tidak melupakan akarnya. Ia lahir dari keluarga yang mencintai dan menggeluti sepakbola. Hanya dirinya yang tidak aktif bermain sebagai pesepakbola profesional. Padahal peluang tersebut ada untuknya.

“Menurut saya Steve Nash adalah pesepakbola terbaik yang tidak pernah menjadi pemain profesional,” puji Patrick Vieira.

Seakan membayar olahraga yang selalu ia cintai tapi tak pernah dimiliki dalam karirnya, Nash mulai terlibat di balik layar sepakbola. Kesuksesan Whitecaps menjadi peserta MLS tak lepas dari pengaruh Steve Nash sebagai salah satu pemilik klub.

Whitecaps juga bukan satu-satunya kesebelasan yang ia miliki. Januari 2016, Steve Nash berhasil meyakinkan pemilik Phoenix Suns, Robert Saver untuk membeli RCD Mallorca yang mengalami krisis finansial. Saver, Nash, dan kawan-kawan membeli saham klub dengan 20 juta Euro dan mulai melakukan rekonstruksi.

Saver merupakan pemilik dengan saham mayoritas. Sementara Nash, Stuart Holden, dan lain-lain yang punya saham lebih rendah ditunjuk sebagai anggota direksi. Nash tak serta-merta menjanjikan revolusi. Dirinya sadar bahwa butuh waktu untuk bisa kembali ke La Liga.

“Kami tahu suporter klub historis ini ingin kembali ke La Liga. Saya tidak tahu apakah kita bisa langsung ke sana. Rasanya masih butuh tiga atau empat tahun untuk mencapainya,” kata Nash.

Foto: AS

Tidak Memanjakan Mallorca

Musim pertama Nash sebagai direksi Mallorca berakhir dengan degradasi ke divisi tiga Spanyol. Namun mereka langsung bisa kembali ke Segunda atau La Liga 2 pada 2018/2019. La Vanguardia bahkan menyebut Nash sebagai MVP dalam kebangkitan Mallorca.

“Saya sangat bangga kepada klub ini. Kesebelasan dengan penuh sejarah dan ambisi. Kita semua sudah bekerja sangat baik sepanjang musim. Kini saatnya untuk mengejar hal lebih besar. Ini merupakan momentum bagi Mallorca,” kata Nash setelah timnya dipastikan naik ke La Liga 2.

Saver, Nash, dan pemilik lainnya, tidak menghamburkan uang mereka membangun skuat. Sejak pertama datang ke Mallorca, mereka tetap mengandalkan pembelian gratis untuk membentuk tim. Tapi, hal itu tidak menjadi masalah. Mallorca tetap bisa memperlihatkan kemampuan terbaik mereka dan kembali ke La Liga 2.

Mereka lebih fokus membangun Mallorca sebagai pusat talenta kota dibandingkan mencari pemain dari luar dan harus membayar mahal. Sejak 2017, Mallorca sudah mengorbitkan delapan pemain dari U19 dan tim B mereka.

Total, ada 49 pemain di bawa ke tim senior Mallorca dalam empat bursa transfer. Tetapi, hanya empat yang membutuhkan dana transfer: Alex Lopez, Nestor Salinas (dirahasiakan), Ariday Carbrera (100 ribu Euro), Carlos Castro (400 ribu Euro).

Sebagai perbandingan, pada periode 2013 – 2016, catatan promosi pemain Mallorca hanya mencapai tujuh orang. Setelah Nash datang sesuatu yang tidak bisa dicapai dalam tiga tahun dipenuhi dalam dua musim.

Semua pihak di balik layar Mallorca setuju bahwa kebangkitan juara Copa del Rey 2002/2003 harus dilakukan dengan strategi jangka panjang. Mereka tidak memilih jalur instan meski dunia sepakbola modern membuktikan guyuran dana besar merupakan sebagian besar dari kesuksesan.

Bukan Pemilik Amerika Biasa

Keinginan Nash untuk menjadi pemilik sebuah kesebelasan sepakbola sudah ada sejak dirinya masih aktif bermain basket bersama Phoenix Suns. Tumbuh besar sebagai suporter Tottenham, dirinya bahkan dengan suka rela membantu Daniel Levy dan petinggi-petinggi the Lilywhites lainnya jika ia butuhkan.

“Saya memiliki kontrak kasual dengan Daniel Levy. Entah bagaimana hal itu menjelaskan posisi saya di dalam Tottenham. Sejauh ini saya membantu  dengan dasar persaudaraan, bukan bisnis,” kata Nash.

Kecintaannya kepada sepakbola itu membuat dirinya berbeda dengan pemilik-pemilik asal Amerika Serikat lainnya. Bagi Nash, memiliki kesebelasan sepakbola bukanlah untuk dapat menghasilkan uang. Namun bentuk kepedulian terhadap apa yang ia cinta sejak kecil.

Mallorca mungkin tidak diguyur uang oleh Nash dan Saver. Namun mereka disiapkan untuk hal yang lebih besar. “Kami ingin membentuk mental juara. Mengubah rasa kemenangan jadi sebuah budaya di dalam tubuh klub,” kata Maheta Molango, mantan penyerang Atletico Madrid dan Brighton & Hove Albion yang juga CEO Mallorca.

Melihat klasemen La Liga 2 hingga pekan ke-24, tidak mustahil Mallorca bermain di divisi tertinggi sepakbola Spanyol pada 2019/20. Mereka menduduki posisi tujuh klasemen dan hanya satu poin dari zona play-off promosi. Ada 20 pertandingan tersisa, secara matematis mereka bahkan masih berpeluang promosi otomotatis karena selisih Mallorca dengan tiga kesebelasan teratas La Liga 2 hanyalah tujuh poin.

Andaikan hal itu terjadi di akhir musim, cerita Mallorca bukan sekedar penampilan di atas lapangan. Tapi juga bagaimana kepemilikan Steve Nash, Robert Saver, Stuart Holden dan lain-lain yang fokus membangun klub sepakbola ketimbang menjadikannya alat menambah popularitas serta kekayaan.

I’m not some Yank who wants to make money. I don’t care about the money. I just want to see them succeed. If I can help, that’s great.” – Steve Nash