Sejak abad ke-16, kebijakan politik di kerajaan-kerajaan kawasan Eropa Barat melahirkan praktik kolonialisme. Praktik ini didorong oleh kebijakan merkantilisme, sebuah kebijakan untuk membuka sebesar-besarnya pendapatan negara dari hasil ekspor. Merkantilisme ini diinspirasi oleh seorang pedagang besar di Inggris yang kelak mengepalai perusahaan dagang Inggris di masa kolonial, East Indies Company.
Kepiawaian orang-orang Britania dalam mengelola ekonomi dan mengeruk sumber daya dari benua lain pada saat itu, secara bertahap membentuk mentalitas rakyatnya. Terkenal memiliki pasukan maritim yang kuat, dan para ahli ekonomi yang hebat membuat mereka berjaya di laut dan makmur di daratan. Orang-orang asal Britania terbentuk untuk memiliki mental berkelana yang hebat sejak nenek moyangnya.
Sebagai negara yang mengklaim asal sepabola modern, rupanya kawasan Asia Tenggara juga tak luput untuk dijejaki. Invasi para pelatih sepakbola yang berasal dari Britania ini lumayan banyak digunakan jasanya, meskipun tidak sepopuler para pelatih yang berasal dari Amerika Latin. Meskipun demikian, sepak terjang mereka tak bisa lepas dari pengamatan para peminat sepakbola. Berikut adalah para Brittons yang menginvasi sepakbola Asia Tenggara.
Kisah Simon Si Petualang
Simon McMenemy bukanlah siapa-siapa, sampai menjadi buah bibir di turnamen terbesar sepakbola Asia Tenggara, Piala AFC 2010. Kala itu The Azkals dibawanya sampai ke semifinal sebelum dikalahkan Indonesia. Namun bagi pelatih yang ‘bukan siapa-siapa’ ini, torehan tersebut cukup mengesankan. Bisa dibilang, dialah simbol from zero to hero bagi para peracik taktik yang berasal dari Britania di Asia Tenggara.
Bagaimana tidak, Simon memulai karier kepelatihannya di klub divisi kedelapan piramida sepakbola Inggris, Worthing. Dari sepakbola divisi bawah ini pulalah yang agaknya banyak mempermudah Simon untuk beradaptasi dengan sepakbola Asia Tenggara yang ‘suci’ ini. Sepanjang pengamatan, Simon biasanya memiliki pola taktis, mengandalkan kecepatan, juga postur untuk berduel di udara. Permainan yang Britania banget.
Sulit membayangkan seorang pemuda di usianya yang ke-33 tahun menjadi pelatih sepakbola tim nasional, dan menjadi rekor FIFA untuk pelatih timnas termuda. Apalagi bagi McMenemy yang seorang Skotlandia, dirinya praktis tidak memiliki pendahulu. Kebanyakan pelatih dari kawasan Britania yang menginjakkan tanahnya di timur jauh biasanya berasal dari Inggris.
Pelatih yang lahir di Aberdeen, Skotlandia ini tampaknya tak mau jauh-jauh dari sepakbola Asia Tenggara setelah melepaskan pekerjaan di timnas Filipina. Selain memang untuk mencari pekerjaan di tanah kelahirannya memang sulit, pandangan orang Asia Tenggara kepada pelatih asing membuatnya bisa diuntungkan dalam hal mencari pekerjaan. Selama delapan tahun terakhir, McMenemy melanglangbuana di berbagai liga seperti Vietnam, Indonesia, sampai Maladewa.
Torehan di Bhayangkara FC menjadi bukti kalau dirinya mampu berdaptasi dengan baik, terlepas dari banyaknya kontroversi bahwa klub ‘franchise’ tersebut mendapat tudingan dibantu oleh berbagai pihak untuk meraih titel juara.
Sampai akhirnya pada 2018, PSSI menunjuknya untuk mengisi posisi pelatih kepala timnas senior. Tepat tidaknya penunjukan ini adalah persoalan lain. Tetapi, harus diakui bahwa pencapaiannya harus mendapat pengakuan, apalagi dibandingkan dengan pelatih-pelatih asal negara Britania lainnya.
Nama Terkenal Hingga Medioker Yang Pernah Menjajal Sepakbola Asia Tenggara
Bagi pelatih asal Britania (Inggris, Skotlandia, Irlandia, Wales), memiliki karier di Asia Tenggara mungkin pilihan terakhir bagi mereka. Siapa pula yang mau melatih di kawasan yang rangking FIFA nya berada dibawah 100? (tertinggi adalah Thailand, 48 pada tahun 1998). Lantas, apalagi motivasinya kalau selain uang?
Namun mengingat persaingan dan kultur sepakbola Britania (terutama Inggris) yang sulit memercayai pelatih muda, rasa-rasanya Asia Tenggara bukan pilihan yang buruk-buruk amat. Selain biasanya memiliki lisensi kepelatihan yang lebih tinggi, umumnya ada keseganan tersendiri bila melihat label ‘asing’. Simon McMenemy pun pernah berpendapat soal ini. Menurutnya, kebiasaan klub-klub di Inggris yang hanya menjalankan tukar menukar pelatih saja di tiap klub membuat pelatih muda pribumi sulit mendapatkan tempat. Menurutnya, Inggris seharusnya bisa berkaca pada negara tetangganya, Jerman, yang sudah mulai mengubah kultur dalam memilih pelatih.
Berbeda dengan McMenemy, figur terkenal seperti Peter Butler juga (ternyata) betah untuk melatih di Asia Tenggara. Sebagai eks pemain West Ham dan West Bromwich, tidaklah sulit bagi Butler melatih di Singapura di awal kedatangannya. Ditambah, adanya ‘kedekatan’ Inggris dengan kawasan yang tiga perempatnya sempat menjadi koloni mereka.
Sempat menjadi manajer di Halifax Town, pengembaraannya ke Australia menjadi gerbang untuk merasakan kegilaan atmopsfer sepakbola Asia Tenggara. Terbukti sejak melatih Sabah pada 2004, pelatih kelahiran kota Halifax tersebut melatih sebanyak 12 klub di Indonesia, Malaysia, Singapura, serta Thailand. Terakhir, petualangannya bersama Persipura dan PSMS tidak berjalan baik.
Selain Butler, Peter Withe merupakan salah satu nama mentereng yang menghiasai sepakbola Asia Tenggara. Prestasi mengesankan Thailand yang mampu diantarkannya menjuarai Piala AFC (dulu bernama Piala Tiger) pada tahun 2000 dan 2004, pemegang 11 caps timnas Ingris ini mengantarkan timnas Indonesia ke posisi runner-up.
Berbeda dengan nama diatas, Withe lebih kerasan dengan atmosfer liga Thailand. Kiprah Withe di negeri Gajah Putih juga diikuti oleh Steve Kean. Pelatih berkepala plontos ini banyak dikenal publik kala melatih Blackburn Rovers di League One. Kean juga bbisa dibilang gagal meraih kesuksesan di Thailand.
Pengalaman bermain di divisi atas Ingris sepertinya bukan jaminan bagi para pelatih Inggris untuk bisa berjaya di Asia Tenggara. Nama tenar seperti Robbie Fowler bahkan pernah mencicipi persaingan Liga Thailand. Meskipun saat itu dirinya berperan sebagai player/manager, namun sepak terjang eks striker Liverpool ini mendapat kesan tersendiri bagi publik Muangthong. Sosok yang sempat kontroversial dengan selebrasi menghirup kokain ini harus berakhir saat Slavisa Jokanovic ditunjuk menjadi pelatih kepala.
Catatan Berbagai Negara Asia Tenggara dalam Menunjuk Pelatih Asal Britania
Siapa lagi kalau bukan Malaysia. Negara yang juga anggota negara-negara Persemakmuran ini menempati urutan pertama dalam urusan menunjuk pelatih sepakbola dari kawasan Britania. Untuk timnas saja, ada 6 pelatih Inggris yang menempati posisi pelatih, yakni Harrold Hassal di era 60-an akhir, lalu Frank Lord di 1983-1985, lalu Trevor Hartley, Ken Worden, dan terakhir Allan Harris di awal 2000-an.
Sementara di kompetisi liga, ada nama Allan Mullery yang dikenal publik Inggris sebagai pemain pertama yang menerima kartu merah di laga internasional. Mullery melatih kesebelasan tentara Malaysia, ATM FA pada 1990-1993. Dalam kurun waktu tersebut ada Len Ashurst yang melatih Pahang, Frank Upton yang melatih Sabah. Semantara di akhir 90-an hingga awal 2000-an, ada nama-nama seperti Steve Wicks, Bruce Stowell, Ken Shellito, dan Ron Smith. Smith dan Georhe O’Callahan menjadi nama pelatih asal Britania di liga Malaysia,tepatnya musim 2014.
Thailand juga bisa dibilang cukup gemar mempekerjakan pelatih kepala asal Britania, tepatnya Inggris baik di level klub maupun timnas. Nama seperti Steve Darby, Peter Reis, dan legenda Manchester United Bryan Robson pernah menukangi timnas Thailand.
Ada pula nama Robbie Fowler, Jason Withe, David Booth, Phil Stubbins, Gary Stevens, serta Scott Cooper menjadi Englishmen yang pernah mencicipi kancah sepakbola Thailand. Steve Cooper juga menjadi pelatih yang kerasan melatih di kawasan ASEAN. ia kini menjadi pelatih kepala timnas Filipina. Sebelumnya eks pelatih Leicester City youth ini melang melintang sejak 2013 silam di kompetisi sepakbola Thailand dan sempat menukangi Mitra Kukar pada 2014. Cooper dibawa oleh Terry Butcher yang mengundurkan diri dari posisi pelatih kepala Filipina hanya 2 bulan setelah penunjukannya pada Juni 2018. Butcher adalah salah satu pemain yang berhasil dipermalukan Diego Maradona saat Argentina melawan Inggris di Piala Dunia 1986.
Filipina juga menjadi negara yang akrab dengan pelatih asal Britania, setidaknya di timnas mereka. Di tahun 60-an, mereka menunjuk Alan Rogers asal Inggris dan Danny McLennan asal Skotlandia. Barulah di 2009, Des Bulpin dan suksesornya, Simon McMenemy mendapuk kursi kepelatihan timnas.Kini mereka ditangani oleh pria berkebangsaan Irlandia, Scott Cooper.
Singapura juga menjadi tempat yang familiar bagi pelatih asal Britania. Timnas Negara Singa bahkan pernah menunjuk Mike Walker di tahun 1972 hingga 1974 meskipun bisa dibilang gagal total. Beberapa tahun kemudian, FA Singapura menunjuk eks manajer Bournemouth, Trevor Hartley sebagai caretaker manajer dalam kurun 1976 hingga 1980.
Sampai pada akhirnya pelatih asal Inggris pulalah yang menghantarkan timnas Singapura meraih titel juara Piala Tiger untuk pertama kalinya di 1998. Barry Whitbread, yang hanya pernah menukangi klub divisi regional, Runcorn FC. Usai pulang kampung, ia menjadi head of youth recruitment di Liverpool FC hingga 2007.
Adapun Brunei, juga memiliki beberapa catatan dengan pelatih asal Britania. Negara kecil tersebut mengawali kiprah timnasnya di 1976 dengan dilatih pria Skotlandia, Duncan McDowell. Kemudian dengan 3 pelatih Inggris yaitu Mick Lyons, David Booth, dan Mick Jones dalam kurun waktu yang beruntun (1993-2001) sebelum sempat dilatih Steve Kean pada 2014 silam.
Sedangkan Indonesia, termasuk negara yang tak begitu gemar mendatangkan pelatih asal Britania. Hanya ada nama senior Paul Cumming, pelatih asal Inggris yang datang bersamaan dengan gelombang pertama pelatih asing yang nekat melatih di Indonesia seperti Marek Janota, Wiel Coerver, dan Fred Corba. Setelahnya,ada Peter Withe yang berjasa meroketkan nama Boaz Solossa di timnas Indonesia.
Selain itu, negara ASEAN yang pernah memiliki pelatih asal Briania adalah Laos yang pernah mempekerjakan David Booth dan Steve Darby asal Inggris.
Meskipun Asia Tenggara bukanlah daratan baru bagi para pelatih asal Britania ini, namun melihat catatan mereka, prestasi bukanlah suatu jaminan. Mayoritas klub di Asia Tenggara yang belum memiliki keuangan yang baik membuat pelatih-pelatih dari kawasan Britania sulit didatangkan karena mematok gaji mahal. Selain itu, sulitnya mendatangkan pemain dari negara yang sama dengan si pelatih berakhir dengan kesulitan tersendiri. Mengingat, pemain-pemain dari Inggris, Skotlandia, yang juga mematok kontrak mahal.
Kalaupun ada, negara yang rajin mengontrak mereka, biasanya didasari hubungan ‘khusus’ dengan negara mereka seperti Malaysia, Thailand atau Singapura yang juga memiliki kemampuan ekonomi diatas negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Tapi dibalik itu semua, harus diakui bahwa mereka membawa ilmu dan wawasan baru bagi kawasan sepakbola berkembang seperti Asia Tenggara. Iklim sepakbola di negara asal mereka yang amat tertata dari kompetisi amatir, semi-pro, hingga profesional
Semua akan berbalik kepada tujuan mereka-mereka yang hendak memakai jasa para Brittons ini. Demi trofi instan atau mendidik calon bintang dari Asia Tenggara kelak.