Tidak Ada Pesta untuk N’Golo Kante

Ketika Prancis menjuarai Piala Dunia 2018, terlihat N’Golo Kante begitu malu-malu saat ingin mengangkat piala seberat 3,8 kilogram tersebut. Sejatinya, itu bukanlah momen pertama ketika ia sungkan untuk meraih piala dan berpotret dengannya. Padahal, dia adalah pemain utama.

Dua tahun sebelumnya, Kante pernah berada di posisi yang sama. Ketika itu, ia sama terkejutnya dengan jutaan orang di luar sana ketika Leicester City meraih gelar juara Premier League musim 2015/2016. Keterkejutannya ini bukannya tanpa sebab. Bukan cuma karena The Foxes berhasil meraih gelar, tapi karena perjalanan kariernya yang tak pernah ia sangka-sangka.

Kante mengawali karier sepakbola profesionalnya bersama Bolougne pada musim 2012/2013. Rekannya, Eric Vandenabeele, bercerita ketika mereka menyaksikan Europa League bersama-sama.

“Kamu akan ada di situ suatu hari nanti, bermain di kompetisi itu di televisi,” kata Eric. Respons Kante pun mudah ditebak: “Tak mungkin,” ujarnya.

Pada akhirnya, Kante justru bermain di Liga Champions, kompetisi yang nilai prestisenya lebih tinggi dari Europa League. Ia pun menerima penghargaan pemain terbaik dari Leicester City di tahun itu. Ia terkejut? Jelas. Karena perhatian publik saat itu hanya terbatas pada Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Di sisi lain, banyak yang lupa kalau serangan balik hebat ala Leicester tak mungkin terjadi tanpa peran seorang Kante.

Pemalu di Luar, Mengerikan di Lapangan

Kalau menyebut Kante sebagai pemain pemalu, tentu banyak yang tak percaya. Ini wajar karena selama di Leicester pun, ia tampil beringas bersama duetnya di lini tengah, Danny Drinkwater. Perannya di Leicester amatlah besar. Dengan formasi 4-4-2 yang diusung Claudio Ranieri, Kante harus bekerja ekstra keras.

Ranieri mengandalkan kekuatan pertahanan, untuk kemudian melakukan serangan balik. Atau, sebelum lawan mampu mengirim umpan ke area pertahanan, bola diharapkan bisa dipotong oleh lini tengah untuk melancarkan fast break.

Masalahnya adalah Leicester ketika itu hanya mengandalkan dua gelandang. Keduanya juga punya fungsi yang kelewat berat: membantu pertahanan juga membantu serangan. Ketika bertahan, Kante dan Drinkwater dibantu oleh Mark Albrighton di sisi kiri. Sementara Mahrez dan Vardy menunggu di depan. Momen untuk melakukan intercept dan mengrimkannya ke depan amat penting karena peluang biasanya hanya terjadi sepersekian detik.

Semasa di Leicester, Kante pun mencatatkan empat asis, atau yang terbanyak sepanjang kariernya. Ia pun mencatatkan 4,7 tekel perpertandingan dan 4,2 intercept perpertandingan yang merupakan catatan tertinggi pula sepanjang kariernya. Gaya bermainnya yang agresif amat berguna buat Leicester. Ia akan berlari menutup ruang dan memotong aliran umpan lawan.

Ketika melawan Argentina di Piala Dunia 2018 pun, Kante disebut-sebut sebagai pemain kunci yang membuat Lionel Messi hampir tak bisa berkutik. Meskipun tinggi badannya cuma 168 sentimeter, Kante tak pernah ragu untuk adu fisik dengan lawan.

Tidak Ada Pesta untuk Kante 

Namun, di luar lapangan, secara mengejutkan, Kante adalah sosok yang pemalu.  “N’Golo tak pernah mau menjadi superstar dan bahkan kini aku tahu kalau dia tak begitu terganggu oleh kemahsyuran. Dia hanya ingin menjadi yang terbaik yang dia bisa,” kata Eric.

Saksi hidup lain yang juga rekannya di Boulogne, Cedric Fabien, mengonfirmasi hal tersebut. Kepada Four Four Two, ia merasa kalau Kante adalah sosok yang tenang dan tak banyak bicara. Kante bahkan tak pernah pergi ke klub malam.

“Aku bicara padanya setiap hari. Setiap aku tanya ‘Bagaimana kabarmu?’ Responsnya selalu lembut: ‘Baik,’ katanya. Dia amat, amat tenang, pria yang hebat, dan tak banyak bicara. Itu adalah mentalitas yang bagus,” kata Fabien.

Kante menghabiskan waktu kosongnya dengan mengejar karier akademisnya. Di Boulogne, ia bahkan mendapatkan gelar diploma di bidang akuntansi. Menurut Eric, Kante tak begitu banyak bersosialisasi. Ia lebih baik pergi ketimbang datang ke pesta yang dibuat teman-temannya.

“Setelah berlatih, Kante biasanya langsung pulang ke rumah dan beristirahat. Tidak clubbing, tidak berpesta pora, atau jalan-jalan,” tutur mantan pelatih Kante di FC Suresnes, Tomasz Bzymek.

Duet Bersama Tukang Pesta

Kante adalah pribadi yang sederhana. Ketika rekannya datang mengendarai Ferrari ke tempat latihan, Kante justru datang menggunakan motor. Saat itu, ia memang sudah punya mobil. Itu pun bekas.

Setelah hijrah ke Inggris, tantangan Kante kian berat. Apalagi para pesepakbola di Premier League digaji lebih tinggi ketimbang kesebelasan lain di Ligue 1. Tantangan ini juga menimpa Kante di timnas. Rekan duetnya di lini tengah adalah Paul Pogba, yang kita semua tahu, adalah pria yang senang mencuri perhatian.

Steven N’Zonzi memang menjadi sosok yang memberinya kesempatan mengangkat trofi Piala Dunia. Akan tetapi, yang menjadi dirigen agar semua orang bernyanyi tak lain adalah Paul Pogba.

Liriknya kira-kira begini: “N’Golo Kante. Dia kecil, dia baik hati. Dia memakan Lionel Messi, tapi kita semua tahu kalau dia penipu saat main kartu. N’Golo Kante.”

Kante mungkin tak pernah merayakan pesta, tapi pulang dari Rusia, pesta adalah hal yang tak bisa ia tolak. Ia mesti menghormati 500 ribu warga Prancis di Champs-Elysees, dan jutaan lainnya di rumah, yang mengangkat tinggi topi mereka begitu tinggi untuknya.