Tim Cahill, dari Samoa untuk Everton dan Australia

Asia tidak banyak memiliki pesepakbola untuk menjadi panutan para pesepakbola muda masa kini. Kita bisa menyebut nama Ji Sung Park sebagai pemain Asia pertama yang mengangkat trofi Liga Champions, Hidetoshi Nakata yang menjadi “pionir” di era 1990-an,  serta beberapa pemain top asal Asia yang kini bemain untuk berbagai kesebelasan di liga-liga top Eropa yang kini masih aktif bermain. Dari sekian banyak nama, Tim Cahill adalah sosok yang perlu digarisbawahi.

Salah satu putra terbaik Australia, Timothy Filiga Cahill adalah contoh bahwa pemuda yang berasal dari timur jauh bisa mencatatkan nama harum di jagat sepakbola Inggris. Berbagai pencapaian dan petualangan Cahill patut menjadi inspirasi bahwa kerja keras plus porsi nekat yang pas adalah “bumbu” keberhasilan pesepakbola dari timur jauh.

Berawal Dari Samoa, Menuju Timnas Australia

Seperti layaknya pemain asal negeri Kangguru, Cahill merupakan perpaduan darah blasteran. Ayahnya merupakan pria Inggris keturunan Irlandia dan ibunya adalah keturunan Samoa. Meskipun lahir di Sydney, tidak banyak yang tahu kalau Cahill sempat memperkuat timnas Samoa U20 saat usianya masih 14 tahun.

Federasi Sepakbola Samoa menawarkan Cahill cilik untuk bermain di turnamen OFC U-20 Championship. Mereka meminta kesediaan untuk berpartisipasi walaupun umur saya saat itu masih 14 dan itu adalah turnamen under 20. Saya melihatnya sebagai peuang untuk berlibur, karena nenek saya sedang sakit dan berada di Samoa. Mereka menyanggupi untuk membayar tiket penerbangan, semua akomodasi, dan biaya hidup,” kata Cahill saat diwawancara Standard, pada 2002 silam.

Karena keikutsertaannya di timnas Samoa itulah, proses kepindahan Cahill ke timnas Socceroos menjadi berlarut-larut. Sempat mendapat tawaran memperkuat timnas Irlandia menjelang Piala Dunia 2002, Cahill juga terbentur peraturan FIFA.

Ketika FIFA mengubah peraturan tentang keikutsertaan pemain timnas junior, barulah Cahill bisa memulai petualangannya bersama tim nasional Australia. Ia memulai debut kala laga persahabatan Australia kontra Afrika Selatan, 30 Maret 2004.

Di usia yang belum mengijak 17 tahun, Cahill berambisi memulai kariernya di Inggris. Ternyata keinginannya terbentur maslah dana. Hijrah di usia muda bukanlah hal yang mudah, apalagi untuk seorang pemuda. Saat itu orang tua Cahill memberanikan untuk meminjam uang untuk membiayai anaknya yang hendak menempuh pendidikan sepakbola di Inggris. Menurut Cahill pula, ini juga salah satu yang membuatnya terus ingin membayar pengorbanan kedua orangtuanya dengan kesuksesan.

Cahill yang kala itu masih memperkuat tim junior Sydney United lolos mengikuti trial di akademi Millwall FC.

Memulai karier sepakbola di Millwall ternyata keputusan tepat baginya. Seperti banyak dikatahui, Millwall adalah salah satu klub tradisional Inggris yang kerap mengorbitkan pemain-pemain hebat. Nama seperti Teddy Sheringham dan Chris Smallling juga berasal dari kesebelasan London tenggara ini.

Tim Cahill berubah menjadi senjata mematikan bagi Millwall. Debut profesionalnya dimulai pada 1998, di usianya yang ke-17. Selama 6 musim memperkuat The Lions, Cahill mengantar klub tersebut ke beberapa laga final, termasuk yang paling diingat adalah laga final FA Cup 2004 melawan Manchester United. Peran sentral Cahill selama beberapa musim bersama Millwall-lah yang akhirnya menuntun jalan bermain di Premier League bersama Everton FC.

Keemasan Cahill dan Everton

Everton adalah klub yang tidak bisa dipisahkan ketika menyebut nama Tim Cahill. Mungkin ialah salah satu pembelian tersukses klub Merseyside tersebut. Ditebus dengan nilai transfer 1,5 juta Paun, Cahill dengan cepat bisa membayar kepercayaan Everton.

Padahal, kedatangan Cahill ke Goodison Park tidak mendapatkan garansi dari sang boss, David Moyes dan pemilik klub, Bill Kenwright. Saat itu mereka mengatakan Kami tidak bisa menjamin kamu akan bermain, tapi kami tahu kamu banyak membuat gol, kami tahu kamu berbahaya, dan kami tahu kamu juga punya energi.”

Yang langsung saja segera ia timpali, “Yang Anda-Anda perlukan adalah kesempatan untukku. Setelah itu, saya akan membuktikannya kepadamu.”

Bahkan hanya semusim setelah bergabung ke Everton, Cahill dinominasikan sebagai nominasi Ballon D’Or 2006. Cahill mencatat rekor pemain Everton pertama yang dinominasikan Ballon D’Or di usia 18 dan satu-satunya pemain dari konfederasi AFC.

Kariernya sempat mandeg akibat cedera parah yang dialaminya musim 2006/2007. Cedera lutut membuatnya melewatkan musim tersebut secara penuh. Namun perlahan, performa Cahill mampu mendongkrak Everton yang saat itu diarsiteki David Moyes untuk mempertahankan status sebagai tim “Big Five” Premier League.

Cahll saat itu menjadi bagian sentral Everton kala itu diperkuat nama-nama seperti Yakubu, Victor Anichebe, Louis Saha, Leighton Baines, Joleon Lescott, Phil Neville, Tim Howard, Marouane Fellaini dan Mikel Arteta.

Selama delapan musim memperkuat Everton, pemain yang identik dengan nomor punggung “17” ini mencatatkan 226 laga dan 56 gol bagi The Toffees.

Masa Redup dan Petualangan Cahill

Di usia ke-32, Cahill mengagetkan publik dengan bergabung ke New York Red Bull, salah satu klub MLS. Usia yang sebenarnya belum terlalu uzur untuk kembali memperkuat tim Premier League lainnya. Cahill beralasan bahwa saat itu ia masih berambisi mengamankan tempatnya di timnas Australia. Jauhnya jarak Australia ke Inggris juga salah satu alasan mengapa dirinya bergabung ke kompetisi sepakbola Amerika Serikat tersebut.

Ketika kamu memilih untuk bermain untuk Australia dan Premier Legue, itu adalah resep untuk bencana. Kamu  akan menyelesaikan permainan pada hari Sabtu, terbang Minggu, sampai di sana Senin malam dan berlatih Selasa, bermain pada hari Rabu, lalu terbang kembali saat Anda mendapat peryandingan pada hari Minggu. Saya melakukan itu berkali-kali dengan Everton – itu sebabnya kamu harus membuat keputusan yang lebih baik nanti dalam karier agar bisa terus bermain. Itu alasan besar mengapa saya meninggalkan Everton,” terang Cahill.

Usai bertualang tiga musim ke Amerika Serikat bersama MLS,  Cahill gemar untuk bertualang ke berbagai penjuru dunia.  Cahill sempat mencicipi semusim atmosfer Chinese Super League bersama Shanghai Shenhua dan Hangzhou Greentown.

Sadar usianya tak lagi muda, Cahill akhirnya pulang kampung ke Australia. Kali ini ia bergabung dengan Melbourne City selama semusim. Tak mendapat tempat di City, Cahill lagi-lagi mengagetkan publik dengan kembali bergabung bersama Millwall, klub tempat ia memulai karier profesional.

Bersama Millwall, Cahill yang tak banyak bermain kala itu nyaris mendapat jatah play-off promosi ke Premier League andaikan tidak mendapat 3 kekalahan beruntun di penghujung musim. Akhirnya, karier profesioanl Tim Cahill berakhir di kesebelasan Indian Super League, Jamshedpur.

***

Australia kini memiliki tugas berat untuk mencetak “Cahil-cahill” lainnya. Sumbangsih Cahill terhadap Socceroos akan sult dikejar pesepakbola manapun. Ia kini memegang rekor caps terbanyakbagi outfield player timnas Australia dengan 108 dan juga gol terbanyak dengan 50 gol. Ia juga menjadi pemain dengan keikutsertaan Piala Dunia terbanyak sebanyak 3 kali (2006,2010,2014) dan mencetak gol di ketiga turnamen tersebut.

Tim Cahill adalah salah satu kehilangan terbesar sepakbola Australia dan juga kelahiran panutan baru bagi pemain-pemain muda dari Asia. Salut!