Quini, Sebuah Cerita tentang Penculikan, Tebusan, dan Pengampunan

Diterjemahkan dari tulisan Sid Lowe di laman The Guardian (dengan berbagai penyesuaian).

Tribute untuk Quini, salah satu legenda sepakbola Spanyol yang baru saja meninggal dunia pada hari Selasa (27/02/2018) karena serangan jantung di umurnya yang ke-68 beberapa waktu lalu.

***

Enrique Castro, ‘Quini’, meninggalkan Camp Nou, pulang ke rumah untuk memutar ulang video cuplikan laga semalam, kembali ke mobil dan menuju ke bandara. Saat itu, 1 Maret 1981, ia baru saja mencetak dua gol dalam sebuah laga dan akan berkumpul bersama istri dan anak-anaknya, yang terbang kembali ke Barcelona dari Asturia.

Namun, apa yang terjadi saat itu mungkin merupakan potret Quini yang paling banyak dari kisah perjalanan hidupnya. Dalam perjalanan ke bandara malam itu, Quini masuk ke sebuah pom bensin di Plaça de Comas; sebuah van DKW, plat nomornya M9955AX dan ia diikuti oleh dua orang tak dikenal. Kedua orang tersebut adalah Eduardo dan Fernando berjalan perlahan ke arah Quini, mereka mengancam Quini dan menggiringnya menuju mobil Colt 45 yang berkarat dan berbisik: “Jangan banyak bicara: masuk!”

Mereka berdua pun masuk di samping Quini sembari menodongkan senapan yang ditekankan ke lehernya. Keesokan harinya, polisi menemukan mobil Quini ditinggalkan dengan pintu masih terbuka. Pada saat itu Quini yang kepalanya ditutup dengan tudung, dipenjarakan di ruangan bawah tanah kawasan Zaragoza. Kabarnya, ruangan sempit tersebut hanya berukuran satu setengah meter.

Penculikan tersebut berlangsung 25 hari. Para penculik yang membawa Quini berada di ambang batas dan putus asa. Mereka memang tidur nyenyak di daerah Montjuic saat mereka menjalankan rencana penculikan tersebut. Namun, perencanaannya jauh dari sempurna. Mereka menuntut uang tebusan untuk mengembalikan Quini, tapi tidak pernah menentukan berapa besar uang yang seharusnya mereka dapatkan, sampai akhirnya ditentukan sebesar 100 juta pesetas untuk harga tebusan tersebut.

Saking bingungnya, dalam salah satu percakapan telepon sang penculik, mereka mulai mengajukan tuntutan mengenai bagaimana seharusnya uang 10 juta dibayar -dalam tagihan biasa. Pihak Quini pun kebingungan dan sampai bertanya seperti ini: “Permisi? Bukankah Anda meminta 100 juta sebelumnya?”

“Oh,” jawab sang pencuri. “Ya, 100 juta, itu benar. Eh, sudah berapa banyak yang sudah kamu siapkan untuk kita? ”

“100 juta.”

“Benar, 100 juta. Itulah yang saya maksudkan. ”

Para penculik tersebut sejatinya tidak tahu menahu bagaimana mengatur agar uang tebusan dikirimkan. Tidak ada akun bank yang disiapkan dan pihak Barcelona harus melakukan itu untuk mereka, tentu saja agar Quini bisa lolos dengan selamat. Mereka (sang penculik) tidak memiliki nomor telepon klub, presiden, direktur, atau pemain manapun. Malahan, Quini-lah yang menyarankan agar mereka menelepon istrinya di rumah dan orang rumah nantinya yang memberi mereka nomor pihak klub tersebut.

Setiap kali ada telepon ancaman masuk, pihak klub kerap panik dan terus berubah pikiran tentang siapa yang harus memberikan uang tebusan tersebut, sampai akhirnya keputusan berada di tangan sang kapten Barca, Alexanko. Namun, itu juga tidak sesuai rencana.

Dengan diikuti oleh polisi, Alexanko dikirim dalam perjalanan panjang dari kota Barcelona melewati daerah Girona menuju perbatasan Prancis dan akhirnya sia-sia. Perjalanan tersebut dibatalkan ketika tiba di perbatasan, dan kepolisian Spanyol enggan untuk menerobos wilayah perbatasan negara bagian selatan Perancis dan utara Spanyol tersebut.

Salah satu penyerang Barca, Bernd Schuster, menolak untuk memainkan pertandingan pertama (vs. Atlético Madrid) pasca tragedi penculikan tersebut, dengan mengatakan, “Meski bermain bola dengan (menggunakan) kaki, namun saya masih memiliki hati.”

Para direktur Barcelona sampai harus berbohong kepada Schuster, mengatakan kepadanya bahwa mereka memiliki kabar baik tentang Quini untuk mencoba meyakinkannya untuk bermain. Sayangnya, Barca kalah 0-1 dari Atleti saat itu. Mereka tercatat kalah tiga kali dan imbang sekali saat Quini berada dalam masa penculikan.

“Selama 25 hari kami tidak memenangkan pertandingan,” kenang rekan setimnya, Charly Rexach. “Tidak mungkin berkonsentrasi pada sepakbola (setelah kejadian tersebut). Kesempatan juara Liga hilang dari tangan kami sendiri.”

Akhirnya, polisi diberi tahu tentang mobil van si penculik yang terparkir di kawasan Zaragoza, tempat Quini ditahan. Tim khusus Kepolisisan diturunkan untuk masuk, dengan dipersenjatai revolver Magnum. Saat itu, salah satu penculiknya sedang memasak telur di atas kompor kecil. Pistol langsung ditodongkan kepada wajah penculik tersebut, dan ia diperintahkan untuk menyerah saat itu. Pintu perangkap dibuka, seorang polisi lainnya menggeliat masuk ke dalam ruang kecil yang lembab di bawahnya. Quini, tidak bercukur, kotor dan terlihat dekil, mendengar suara tersebut dan bersembunyi di bawah kasurnya dengan gemetar.

“Quini, saya seorang polisi. Aku di sini untuk menyelamatkanmu. ”

Setelah aksi penyelamatan tersebut, Barca memainkan pertandingannya empat hari kemudian. “Saya ingin bermain pada laga El Clasico di hari Minggu nanti,” kata Quini kepada pihak klub, tapi dia tidak diizinkan. hasilnya, Barca takluk 0-3 dari Madrid.

Para penculik tersebut akhirnya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan diperintahkan untuk membayar denda sebesar 5 juta pesetas. Namun Quini menolak uang tersebut bahkan menolak mengajukan tuntutan balik terhadap penculik tersebut.

“Jika diingat, rasanya sangat tidak nyaman” ungkap Quini. “Pernah suatu hari mereka membawakan saya koran Marca, sehingga saya bisa melihat hasil pertandingan dan pada akhirnya mereka memberi saya sebuah televisi dan segalanya. Bahkan satu set catur yang saya mainkan sendiri.”

“Penculik saya adalah orang baik yang tidak membahayakan nyawa saya; Saya sudah memaafkan mereka” kenang Quini.