Akhir pekan lalu, sejarah besar dibuat oleh Watford. Kemenangan 3-2 melawan Wolverhampton Wanderers membawa mereka ke final Piala FA. Inilah kali pertama The Hornets mencapai laga puncak dalam turnamen tertua tersebut setelah musim 1983/1984. Ketika itu, mereka mengalahkan Plymouth Argyle berkat satu gol tunggal George Reilly.
Jika Reilly menjadi inspirator kemenangan Watford 35 tahun lalu, maka pahlawan mereka kali ini adalah si pemain sayap lincah, Gerard Deulofeu. Berkat sepasang gol dari pemain Spanyol tersebut, mereka bisa mengalahkan Wolves yang dikenal sebagai pembunuh raksasa. Kehadirannya benat-benar mengubah peruntungan skuad Javi Gracia yang saat itu tertinggal 2-0 terlebih dahulu.
Empat menit setelah Raul Jimenez mencetak gol untuk Wolves. Javi Gracia memasukkan Deulofeu untuk menggantikan Will Hughes yang kesulitan menembus pertahanan Wolves. Sebelas menit jelang pertandingan usai, ia mencetak gol melalui sepakan lob cantik yang mengecoh Jonn Ruddy. Penalti yang didapat pada menit terakhir juga berasal dari skema yang ia bangun. Akselerasinya pada menit ke-104 menjadi penentu kemenangan.
“Sangat sulit menghadapi pertandingan seperti ini. Kami bekerja kembali setelah melawan Newcastle United, QPR, Crystal Palace, dan sekarang Wolverhampton Wanderers. Pada laga ini, kami mampu menunjukkan karakter kami dan pada saat ini saya sangat bangga dengan para pemain saya,” kata Javi Gracia.
“Anda selalu percaya kalau Anda bisa mencetak satu gol karena di semua pertandingan musim ini kami selalu berjuang sampai akhir. Hal itu yang kami tampilkan pada hari ini. Kami mencoba sampai akhir dan kadang-kadang hal ini bisa terjadi jika kami saling percaya satu sama lain sebagai sebuah tim. Saya sangat bangga.”
Yang menarik, Deulofeu seperti sudah dipersiapkan oleh Javi Gracia sebagai senjata rahasia. Javi tahu kalau mereka bakal tertinggal oleh Wolves sehingga ia membutuhkan sosok game changer dan tugas itu diembang oleh Deulofeu. Buktinya, tujuh menit setelah tambahan waktu kedua berjalan, ia harus kembali ke bangku cadangan karena mengalami cedera. Sebuah isyarat kalau dia sudah melaksanakan tugasnya yaitu membalikkan ketertinggalan.
“Di Inggris, perubahan alur permainan itu sangat cepat, dan saya bahagia bisa membantu tim saya. Sekarang kami sudah berada di final. Kami akan berjuang untuk pertandingan final nanti. Kami tahu final selalu sulit, tetapi kami harus membuktikan kalau kami bisa memberikan piala dan membuat sejarah bagi klub ini,” kata Deulofeu.
Terbuang dari Barcelona
Deulofeu adalah didikan dari sistem akademi terkenal di Barcelona, La Masia. Bermain bersama Barcelona B pada musim 2011/2012, ketika usianya baru menginjak 18 tahun, Deulofeu disebut oleh manajernya saat itu, Eusebio Sacristan sebagai sosok hebat baik sebagai pemain dan murid LA Masia.
Sinar Deulofeu kembali bersinar ketika sukses membawa Spanyol U-19 menjuarai Piala Eropa. Pada turnamen tersebut, ia menyabet gelar pemain terbaik. Hal ini kemudian membuatnya diganjar dengan kontrak profesional yang diberikan kubu Blaugrana pada pertengahan tahun 2013.
Akan tetapi, sejak mendapat kontrak profesional tersebut, nasib Deulofeu justru terkatung-katung. Ia yang sebelumnya dianggap sebagai calon pemain hebat, kini berubah status menjadi pemain buangan. Menjadi pemain pinjaman di berbagai klub sudah ia alami. Kalau sudah mendapat status dipermanenkan, ia justru tidak mendapat tempat di tim utama.
Deulofeu sempat bersinar ketika dipinjam oleh Everton pada musim 2013/14. Hal itu kemudian membuat Barcelona berminat kembali membawanya dan memberikan kesempatan bermain. Akan tetapi, sesaknya pemain depan di kubu Blaugrana membuatnya kembali dipinjamkan ke Sevilla. Pada musim panas 2015, ia direkrut secara permanen oleh Everton.
Kembali ke Merseyside Biru, nasib Deulofeu justru terkatung-katung. Ia kemudian dipinjamkan ke AC Milan pada 2017. Bersama rival sekota Inter tersebut, Deulofeu memainkan banyak peranan dalam skema 4-3-3 milik Vicenzo Montella. Bersama Milan pula ia mendapatkan kesempatan memperkuat timnas Spanyol.
“Jika saya tidak bergabung bersama Milan, maka saya tidak akan bisa memakai baju Spanyol saat ini. Montella mempercayai saya dan saya harus terus memberikan jawaban atas kepercayaan yang sudah dia berikan,” tuturnya.
Barcelona lagi-lagi membawanya pulang setelah mengaktifkan klausul pembelian kembali. Namun mereka juga lagi-lagi mengecewakan Deulofeu. Ia hanya bermain 17 kali saja. Keberadaan sosok Lionel Messi membuatnya tidak bisa berkembang sebagai Gerard Deulofeu seutuhnya.
“Sulit untuk bermain di Barcelona dengan mata yang selalu mengawasi Anda. Mereka semua akan mengira Anda Messi atau pemain dengan segudang pengalaman. Anda harus berhati-hati karena Anda harus bergerak selangkah demi selangkah,” tuturnya kepada Guardian.
Ia pun semakin kecewa ketika namanya tidak ada dalam kaus perayaan gelar juara La Liga Barca. Ketika itu, ia memang sudah menghabiskan setengah musim 2017/18 bersama Watford dengan status pinjaman. Namun, tetap saja ia merasa kecewa karena dirinya sudah memberikan kontribusi meski hanya 10 pertandingan saja. “Juara La Liga, setengah milik saya juga, kan?” katanya dalam akun twitternya.
Bahagia Bersama Watford
Pada akhirnya, Deulofeu menemukan rumah yang membuatnya nyaman. Tempat itu adalah Watford. Dipermanenkan pada Juni 2018, ia menjelma menjadi salah satu pemain terbaik bagi kubu Hornets.
Musim ini, ia sudah membuat sembilan gol di semua kompetisi dan membuat lima asis. Pertandingan melawan Cardiff pada 22 Februari 2019 lalu membuat namanya menjadi pemain pertama Watford yang bisa membuat tiga gol di Premier League. Ia pun semakin nyaman untuk berada di klub yang memuja Elton John ini untuk waktu yang lama.
“Saya tidak berpikir untuk kembali (ke Barcelona). Javi Gracia sudah mengatakan kepada saya untuk tetap bertahan di Watford. Sudah jelas kalau saya tidak akan mau kembali ke Barca. Saya tidak ingin duduk di bangku cadangan sehingga peluang membela timnas menjadi hilang. Sekarang saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk klub,” kata pemain berusia 25 tahun ini.
Ada baiknya Deulofeu tetap bertahan di Vicarage Road. Lebih baik dihargai bersama tim kecil ketimbang hanya menjadi pemain buangan di klub besar. Buktinya, berkat Deulofeu, Watford yang akrab di papan bawah kini masuk dalam jajaran 10 besar di Premier League.