Sebelum musim 2019/2020, prestasi terbaik PSG pada ajang Liga Champions adalah mencapai babak semifinal. Kejadiannya sudah lama sekali yaitu 25 tahun lalu. Waktu itu, skuad asuhan Luis Fernandez tidak kuasa menahan keperkasaan AC Milan yang mengalahkan mereka dengan agregat 3-0.
Setelah itu, prestasi PSG di wakil Eropa cenderung minim. Mereka memang berhasil menjadi juara Piala Winners setahun kemudian dan juga Piala Intertoto, namun mereka tidak pernah lagi mencapai babak final atau semifinal sebuah turnamen Eropa baik itu Liga Champions maupun Liga Europa. Bahkan setelah uang banyak yang didapat dari taipan Qatar, prestasi di Eropa tetap tidak bisa mereka raih.
“Sejak 2011, impian kami adalah menjadi juara Liga Champions dan kami hampir mencapai impian kami. Saya berkata kepada para pemain bahwa mereka menghasilkan pertandingan yang luar biasa tetapi mereka tentu tidak boleh berhenti sampai di sini,” kata presiden mereka, Nasser Al-Khelaifi.
Dari skuad yang berada saat ini, Thiago Silva, Marquinhos, dan Marco Verratti menjadi penggawa yang paling lama memperkuat Les Parisiens. Mereka sudah berpengalaman menjalani masa-masa sulit ketika impian PSG meraih titel Eropa selalu kandas pada fase-fase genting dan ketiban sial karena seharusnya mereka bisa lolos. Mereka tersingkir karena gol tandang melawan Barcelona pada 2013, Chelsea (2014), dan Manchester United (2019).
Yang paling menyedihkan sudah pasti kekalahan 6-1 dari Barcelona yang membuat mereka tersingkir pada 2016/2017. Saat itu, tidak ada tim yang tersingkir setelah unggul empat gol pada leg pertama. Namun PSG mematahkan rekor tersebut. Gol Cavani yang membuat PSG sempat merasa lega saat itu pupus akibat tiga gol yang terjadi lima menit sebelum pertandingan kelar.
“Kami melewatkan kesempatan emas. Kami tidak menekan mereka dengan baik. Kami juga bertahan sudah sangat dalam. Namun mereka punya banyak kesempatan mencetak gol. Kami menciptakan kesalahan untuk dua gol pada babak pertama,” kata sang pelatih saat itu, Unai Emery yang setahun sebelumnya baru saja angkat piala terakhir bersama Sevilla.
Dengan format laga yang berubah menjadi single match karena pandemi, PSG mungkin tidak lagi was-was karena sudah tidak ada lagi leg kedua. Penentuan siapa yang lolos hanya ditentukan melalui satu pertandingan saja. Inilah yang dimanfaatkan betul oleh anak asuh Thomas Tuchel hingga mereka bisa sampai di partai puncak yang akan diselenggarakan di Da Luz nanti.
Skuad mereka sudah lengkap di semua lini. Mbappe tampak sudah bugar setelah cedera. Begitu pula dengan Neymar yang semakin matang. Peran pemain-pemain pelapis seperti Leandro Paredes dan Ander Herrera juga cukup vital mengisi kekosongan yang ditinggalkan Verratti dan Idrissa Gueye. Permasalahan mereka mungkin penjaga gawang Keylor Navas yang masih akan absen di final nanti.
Piala Keenam Bayern
Langkah PSG akan coba dihentikan oleh Bayern Munich. Klub yang sudah sepuluh kali bermain pada final kejuaraan ini. Selain Real Madrid dan AC Milan, Bayern adalah tim yang paling sering bermain di partai puncak. Hasilnya seimbang. Mereka menang lima kali dan kalah lima kali.
Anak asuh Hansi Flick jelas menginginkan final kali ini menghasilkan piala keenam bagi mereka. Mereka tentu tidak mau seperti Juventus yang lebih sering jadi runner-up ketimbang angkat piala. Mereka ingin menutup musim ini dengan cara yang elegan. Sempat diragukan akibat goyah bersama Niko Kovac, Bayern bangkit dan menjadi menakutkan bersama Hans-Dieter Flick.
“Di Bayern, target itu selalu tinggi. Kami sekarang sudah meraih Bundesliga, lalu DFB Pokal. Setelah itu, kami akan jadi juara Liga Champions. Akan sulit, tapi kami harus memastikan diri dalam kondisi bugar ketika saat itu tiba,” kata bekas asisten Joachim Loew di timnas Jerman ini.
Bayern adalah unggulan terdepan untuk menjadi juara. Hal ini tidak lepas dari kemenangan besar yang mereka raih sepanjang perjalanan mereka menuju final. Mencetak satu gol tidak ada dalam kamus mereka musim ini. Dua gol paling sedikit, delapan adalah yang terbanyak. 39 gol sudah dicetak dan mereka hanya kebobolan delapan.
Padahal, gaya bermain Bayern yang menggunakan garis pertahanan tinggi berisiko besar membuat mereka kebobolan. Tapi Flick merasa kalau itulah gaya Bayern sehingga ia tidak mau mengubah bentuk permainannya tersebut. Padahal, yang dihadapi nanti adalah Mbappe dan Neymar, dua pemain yang speed-nya di atas rata-rata.
“Ciri khas kami adalah bermain menyerang dan bertahan dengan sangat tinggi. Dengan cara ini, kami tidak mau memberi ruang kepada lawan kami. Di belakang empat bek nantinya akan ada ruang kepada pemain lawan, tapi sangat penting bagi kami untuk mendapatkan tekanan pada bola,” kata Flick.
Penonton netral akan senang dengan final ini. Keduanya bisa jadi menunjukkan permainan saling serang karena keduanya punya kualitas pemain yang sama baiknya. Begitu juga dengan sebaran pencetak gol yang merata. Semua striker PSG sudah mencetak gol termasuk Eric Maxim Choupo Moting. Sedangkan Bayern, memiliki lini kedua yang tidak kalah tajam dari Robert Lewandowski. Serge Gnabry, Ivan Perisic dan Thomas Muller bisa menjadi alternatif untuk memecah kebuntuan.
Tidak hanya titel keenam, Bayern juga ingin meraih treble keduanya sepanjang sejarah. Hingga saat ini, baru Barcelona yang bisa melakukannya lebih dari sekali. Bayern masih punya pemain-pemain yang menyumbang treble pertama pada 2013 lalu dan pengalaman mereka diharapkan bisa menular ke para pemain lainnya.
Lantas, akan menjadi milik siapa Si Kuping Besar ini dan siapa yang nantinya akan meraih treble? Bayern yang akan menyamai raihan Barcelona atau PSG akan sejajar dengan lawannya tersebut? Bahkan PSG bisa menjadi tim kedua Eropa setelah Celtic yang meraih quadruple dalam satu musim mengingat seluruh titel domestik pada musim ini telah diborong oleh mereka.