Nama Rabah Madjer mungkin tak banyak dikenal oleh pecinta sepakbola era modern. Namun, dalam sejarah sepakbola dunia, namanya pernah harum di era 1980-an.
Meski lahir di Aljazair, yang tak punya catatan besar dalam dunia sepakbola, namun Rabah Madjer mampu menjadi salah satu bintang di kawasan Eropa hingga bersinar dalam perhelatan Piala Dunia.
Rabah Madjer lahir di distrik Hussein Dey, Kabyle (Tigzirt), Aljazair, pada 15 Desember 1958. Dia mulai bermain sepakbola di sejumlah klub lokal sejak usia 14 tahun, hingga mendapat kontrak profesional dari NA Hussein Dey pada 1978. Sejak saat itu, penampilan apiknya sebagai penyerang mendatangkan panggilan ke Timnas Aljazair hingga berhasil membawa negaranya lolos ke Piala Dunia 1982 Spanyol.
Lolos ke Piala Dunia 1982
Piala Dunia 1982 menjadi penampilan perdana Aljazair di event sepakbola terbesar itu. Namun, mereka harus bertemu dengan juara bertahan Eropa, Jerman Barat, di Grup 2. Selain itu, ada Austria dan Chile juga di grup itu.
Tetapi di luar dugaan, tim berjuluk “Rubah Gurun” itu malah membuat kejutan. Aljazair sukses menundukkan Jerman Barat dan Chile, meski mengakui keunggulan Austria di laga kedua.
Rabah Madjer dan kawan-kawan pun berpeluang lolos ke babak berikutnya. Aljazair duduk di posisi kedua, di bawah Austria. Namun, masih ada satu pertandingan tersisa, yang mempertemukan Austria dengan Jerman Barat. Dua tetangga Eropa itu mengetahui bahwa kemenangan bagi Jerman Barat dengan satu atau dua gol akan memastikan kedua tim lolos, meski Austria harus menelan kekalahan.
Hasilnya, Austria benar-benar mengala dengan skor 0-1 dari Jerman Barat. Meski sama-sama mengoleksi empat poin (saat itu satu kemenangan masih dinilai dua poin), Aljazair pun harus rela finish di posisi ketiga, karena kalah selisih gol. Alhasil, Rabah Madjer dan kawan-kawan terpaksa pulang lebih dulu, karena skandal persekongkolan yang dikenal dengan istilah “Disgrace of Gijon” tersebut.
Baca juga: Piala Dunia 1982: Kontroversi, Kalahnya Jogo Bonito, dan Gelar Ketiga Italia
Bersinar di FC Porto
Meski gagal melangkah lebih jauh di Piala Dunia 1982, tapi penampilan menawan Rabah Madjer dan satu gol yang dicetaknya di kompetisi itu telah memenangkan perhatian sejumlah klub Eropa.
Setahun kemudian, dia dipinang oleh klub Prancis, Racing Club, yang saat itu berlaga di Ligue 2. Rabah Madjer sukses membuktikan ketajamannya dengan menyarangkan 20 gol dalam 27 laga domestik.
Sang penyerang pun turut mengantarkan Racing Club merebut tiket promosi ke Ligue 1, meski pada musim itu dia kehilangan kesempatan bermain secara reguler. Sebelum menerima tawaran dari FC Porto pada musim berikutnya, Rabah Madjer sempat menjalani masa peminjaman di klub Ligue 1 Prancis lainnya, Tours FC, meskipun juga tidak berakhir dengan hasil yang lebih baik.
Pada musim 1985/1986, dia memulai petualangan baru bersama FC Porto. Bersama klub inilah sinar Rabah Madjer semakin benderang di Eropa. Pada akhir musim itu, dia turut mengangkat trofi juara Liga Portugal dan Piala Super Portugal bersama rekan-rekannya. Total ada tiga trofi juara liga yang dimenangkannya selama enam musim, selain juga berhasil merebut beberapa piala lainnya.
Jadi Juara Eropa
Kesuksesan terbesar Rabah Madjer di Eropa tentu saja ketika membawa FC Porto menjuarai Liga Champions 1986/1987. Di partai final, dia turut menyarangkan satu gol. Rabah Madjer mencetak back-heel goal dengan tumitnya ke gawang Bayern Munich. Gol itu menyamakan kedudukan setelah lawan unggul sejak pertengahan babak pertama. FC Porto pun akhirnya menang dengan skor 2-1.
Gol Rabah Madjer itu pun terus dikenang hingga saat ini. Bahkan, salah seorang legenda besar sepakbola dunia asal Brasil, Pele pernah turut mengomentarinya.
“Itu akan menjadi gol terhebat yang pernah saya lihat, ketika dia tidak melihat ke belakang,” ucap Pele.
Tidak hanya itu, Rabah Madjer juga mencetak gol saat FC Porto memenangkan Piala Intercontinental pada tahun yang sama.
Setelah kesuksesan tahun 1987 itu, Rabah Madjer meraih penghargaan Pemain Terbaik Afrika. Namun, ketika itu dia tidak diizinkan untuk bersaing memperebutkan Bola Emas Eropa, karena tidak lahir di wilayah Eropa. Salah satu dari 100 pemain terbaik dalam sejarah sepakbola menurut IFFHS itu sempat bermain bersama Valencia di Spanyol, sebelum memutuskan pensiun pada 1992.
Sumber: All Africa, Bleacher Report, Wikipedia