Ramsey, Syarat Sah Ronaldo-Juve Juara Liga Champions?

Foto: Juvefc.com

Bagaimana kiprah musim pertama Cristiano Ronaldo di Juventus dapat direkap? Satu gelar Serie-A jelas hebat, tapi Juve kadung terbiasa melakukannya delapan tahun berurutan. Juventus terbiasa memborong gelar domestik, maka sebetulnya Scudetto memang kewajiban rutin.

Pada akhir musim, Massimiliano Allegri mengakhiri masa bakti lima tahunnya mengomandoi Le Vecchia Signora. Berganti Maurizio Sarri, penantang terkuat Juve selama membesut Napoli. Sosok yang tidak bisa merokok di pinggir lapangan Inggris, tapi cukup sanggup merengkuh trofi Europa League dan finis di posisi ketiga. Pelatih ikonik, kawakan, dan kini ‘pengkhianat’ dari sudut pandang biru muda Naples. Lantas apa?

Kedigdayan era baru Juve sedari tahun 2012 belum kunjung lengkap karena minus trofi Liga Champions. Megabintang Cristiano Ronaldo datang ke Turin untuk menyamakan tujuan menguasai Eropa. Membuat hitam-putih Benua Biru. Tidak ada yang ragu, Ronaldo pemborong lima trofi Liga Champions. Satu saat bersama Manchester United dan empat bersama Real Madrid.

MU, Madrid, dan Juve punya kesamaan. Sama-sama pengoleksi gelar liga di negara mereka. Sungguh agung sosok Ronaldo, karena masih bisa bergabung dengan klub besar seperti Juve meski perlahan kariernya memasuki usia senja. Ambisi Juve dan Ronaldo pun berjalan bergenggaman sepanjang rute perjalan.

Sedih, musim pertama bersama tidak sesuai rute rencana. Anak-anak muda Ajax Amsterdam menutup jalan, membajak harapan, dan melenggang melewati perempat final. Dua gol Ronaldo yang terbagi ke dalam dua laga, tetap gagal membuat Juve melenggang. Akhir kisahnya kita tahu, Liverpool yang setahun sebelumnya menjadi pesakitan di hadapan Real Madrid musim terakhir Ronaldo.

“Tentu saja Ronaldo tidak bisa sendirian menyelesaikan masalah kompetisi Eropa kami. Dia telah memberikan banyak hal sepanjang kompetisi, tapi tatkala sudah menembus semifinal, kamu butuh semua pemain,” kata Allegri saat itu.

Kata ‘Butuh semua pemain’ jelas merujuk skuat Juve musim lalu. Maka, saat sekarang memasuki masa pramusim, Juve bersiap membangun skuat tangguh untuk perjalanan nasional dan kontinental sekali lagi.

Ada satu sosok kunci untuk melengkapi ‘semua’ yang mungkin sanggup mewujudkan impian lama Juve. Dia datang dari Britania.

Keberuntungan Wales?

Aaron Ramsey gagal mencapai kata sepakat soal perpanjangan kontrak dengan Arsenal. Dia telah menyetujui kontrak baru yang disodorkan, tapi entah mengapa The Gunners memilih melepasnya. Secara gratis. Tanpa uang. Cuma-cuma.

Konon, dia tidak masuk rencana jangka panjang Unai Emery. Padahal, Emery paham peran Ramsey sebagai pemain paling lama membela klub dan mengharapkannya sebagai salah satu titik pusat permainan. Namun, persoalan gaji hal yang lain. Ada hitung-hitungan yang sangat dicermati benar kedua belah pihak.

Berakhir 11 tahun pengabdiannya di Stadion Emirates. Penuh bahagia, duka, tawa, sedih, payah, hebat, patah, tumbuh, selayaknya setiap perjumpaan yang pasti dapati perpisahan. Tulang kaki yang patah, bertumbuh lagi bersama dengan kematangan diri. Poni yang menghalangi, terpapas rapi lewat perlahan tajamnya permainan. Ketololan sebagai pemuda, terbilas melalui usaha-usaha genting penentu akhir pertandingan. Ada banyak nasib musim Arsenal ditentukan kaki Ramsey yang rentan seperti kaca.

Dari bocah menjadi laki-laki dewasa. Dari Cardiff ke London, menuju Turin. Dia sempatkan menengok pertandingan kandang terakhir Juve musim lalu. Pada awal Juli ini, seragam putih-hitam yang terbagi presisi seperti pantulan cermin menempel di badannya. Semua mempertegas niat baik yang telah disahkan pada Februari 2019.

Hei, orang Wales yang berseragam warna Zebra ikonik ini selalu bukan orang sembarangan. Ada John Charles begitu legendaris dengan 108 gol dari 155 partai. Pemecah rekor transfer Britania tahun 1957 dan andalan terakhir yang sanggup membawa Wales tembus Piala Dunia.

Ada juga Ian Rush, sosok mahsyur yang lekat dengan kejayaan Liverpool tahun 1980-an. Memang, waktu-waktu bersama Juve begitu sulit, tapi justru sangat menempa dirinya sebagai manusia dan pesepak bola, tidak ada yang perlu disesalkan.

Ramsey sosok yang clutch, mampu mengambil sikap terbaik di momen-momen genting. Final Piala FA 2014 dan 2017 seutuhnya ditentukan kecerdikan The Boxing Man. Gelandang serang eksplosif yang berani menusuk ke depan, cerdik dalam pergerakan tanpa bola, cepat mengelabui selepas memberi operan, dan mampu menuntaskan peluang.

Titik Temu Ambisi Eropa

Di sini, kedatangan Ramsey mendapatkan titik temu soal ambisi menjuarai Liga Champions bersama Ronaldo di Juve. Selama berkesempatan mengangkat piala ‘Si Kuping Besar’, Ronaldo selalu didampingi kolega asal Wales.

Ryan Giggs ada di sisinya saat bersama-sama juara tahun 2008. Sedangkan, Ronaldo tidak kunjung mempersembahkan La Decima sampai Gareth Bale datang tahun 2013. Setelah itu, jangankan La Decima, trofi kesebelas, kedua belas, dan ketiga belas datang lancar seperti air di musim hujan.

Hal remeh nyaris-nyaris okultisme ini tampak sebagai ikhtiar Juve mewujudkan ambisinya. Ronaldo sudah tiba, tapi teman Wales belum ada. Anggaplah, pemain terbaik Wales saat ini memang Bale. Namun, mustahil untuk sebatas memindahkan dua ego terlampau menganga dari ibu kota Spanyol ke Italia Utara.

Pilihan logisnya Ramsey. Sosok yang bertahan sebelas tahun dari kerasnya Premier League era modern. Baik-buruknya tentu telah dipertimbangkan, tapi setidaknya dia tersedia.

Ramsey jelas bersyukur dihadapi tantangan semacam ini. Poin penting lainnya, dia bakal menjadi pesepak bola Britania yang digaji termahal oleh klub. Dalam kontrak empat tahun, dia mengantongi uang 400.000 paun perpekan.

Juventus, Ronaldo, dan Ramsey menaruh fokus ke tempat yang sama. Kejayaan Liga Champions musim depan seutuhnya diburu, karena hanya itu satu yang masih buntu. Terwujudkah?

sumber: bbc/goal/juventus.com