“Sepakbola menyelamatkannya dari kehidupan di tambang batu bara,” tulis Direktur Komunikasi dan Urusan Publik UEFA 2003-2015 William Gaillard. Memang benar, jika bukan karena main sepakbola, mungkin hidup Raymond Kopa sekitar 70-an tahun silam akan dihabiskan hanya di lokasi tambang batu bara di kawasan Prancis utara, tidak jauh dari Lille yang berbatasan langsung dengan Belgia.
Lanskap Pas-de-Calais bagian timur dibentuk oleh area tambang batu bara. Kopa lahir di salah satu kota kecil di wilayah tersebut, Noeux-les-Mines pada 13 Oktober 1931. Tersirat dari namanya, kota itu adalah pusat tambang batu bara; dulu ramai dengan kerucut abu-abu gelap dan menara tambang hitam yang jadi ciri khas, sebelum jadi kota pertanian setelah menurunnya industri pertambangan.
Penambang Batu Bara
Keluarga Kopa berasal dari Polandia, sama seperti keluarga dari puluhan ribu penambang batu bara di kawasan itu. Nama belakangnya yang sebenarnya, Kopaszewski, disingkat jadi Kopa saat sekolah dasar. Kakek-neneknya datang dari Krakow melalui Jerman, tempat orang tuanya lahir, dan mereka pindah ke Prancis setelah Perang Dunia I. Bahasa Polandia digunakan di rumah keluarga Kopaszewski.
Dan seperti kebanyakan pria di kota kelahirannya, Kopa pun mulai bekerja di tambang batu bara saat berusia 14 tahun, mengikuti jejak sang kakek, ayah dan saudara laki-lakinya. Sebagai seorang galibot; istilah penambang batu bara dalam dialek Chtimi, Prancis utara, pekerjaan pertamanya mendorong kereta di jalur sempit. Karena itu pula dia kehilangan jarinya dalam kecelakaan yang berpotensi fatal.
Keluarga Kopa memang harus ‘membayar’ mahal untuk pekerjaan tambang itu; ayahnya meninggal di usia 56 tahun akibat silikosis, dan saudara laki-lakinya di usia 64 tahun karena penyakit yang sama. Makanya, sejak kehilangan jari, Kopa semakin yakin bahwa terowongan tambang bukan tempatnya. Dia pun bertekad melakukan apa pun untuk keluar dari tambang dan sepakbola adalah pilihannya.
Bakat Sepakbola
Kopa muda mulai main sepakbola bersama Noeux-les-Mines FC sejak usia 10 tahun. Saat itu, Prancis utara dan komunitas Polandia merupakan wilayah pemasok utama bagi elit sepakbola di negara itu. “Saya selalu bermain di satu kategori usia di atas kategori usia saya sendiri. Sebagai pemain U-17, saya sudah bermain di Noeux-les-Mines di divisi ketiga Prancis,” ungkap Kopa dilansir laman UEFA.
“Kepala teknisi pit tiga tempat saya bekerja juga merupakan presiden klub, tapi dia sama sekali tidak membantu karier sepakbola saya,” katanya lagi. Meski dengan sedikit bimbang karena meninggalkan pekerjaannya, dia akhirnya memutuskan mengikuti uji coba pemain muda pada 1949. Timnya sukses memenangkan kompetisi di wilayah utara dan lolos ke final nasional, meski akhirnya mereka kalah.
“Saya pikir akan dapat kontrak dari salah satu klub besar di utara; Lille OSC, RC Lens, Valenciennes atau Roubaix (saat itu klub divisi satu). Jadi saya benar-benar kecewa saat klub divisi dua dari Prancis barat, SCO Angers, mengirim satu-satunya tawaran pada saya,” kenang Kopa. Di sanalah dia bertemu wanita yang kemudian menjadi istrinya, Christiane, saudara perempuan salah satu rekan setimnya.
Setelah dua musim, juara Piala Prancis Stade de Reims pun tertarik padanya. Di usia 20 tahun, gaji bulanannya melonjak dari 14,5 paun jadi 180 paun, dan Kopa keluar dari tambang untuk selamanya. Meski bertubuh agak pendek, hanya 1,69 m, tapi dengan kaki yang sangat kuat, dribelnya mampu memukau penonton. Tak hanya itu, juga dalam penguasaan bola, seolah-olah bola terikat di kakinya.
Juara Eropa
Sejak itu, karier Kopa terus berkembang pesat; merebut dua trofi juara divisi satu Prancis, dan Piala Latin 1953 yang menjadi cikal bakal Liga Champions. Dia juga membawa Stade de Reims menembus final edisi perdana Piala Eropa sebelum disebut Liga Champions, hanya saja kalah dari Real Madrid. Setelah kekalahan itu, klub raksasa Spanyol tersebut malah merekrutnya pada musim panas 1956.
Sebelumnya, pada 1952, Kopa menjalani debut internasional bersama Prancis. Sejak itu, dia menjadi andalan di lini serang Les Bleus, termasuk penampilan sensasional dalam laga melawan Spanyol di Madrid pada 1955, yang membuatnya dijuluki ‘Napoleon Kecil’ oleh surat kabar olahraga Spanyol, Marca, sekaligus menjadikan namanya semakin dikenal oleh publik Estadio Santiago Bernabeu.
Kopa bermain di Madrid selama tiga musim; bersama Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. “Itu adalah tiga tahun yang fantastis, kami memenangkan tiga Piala Eropa, dua gelar Liga Spanyol, dan hanya kalah sekali di kandang sendiri selama periode tersebut; sayangnya itu adalah pertandingan yang kami tidak boleh kalah, derby melawan Atletico Madrid, sungguh memalukan,” ungkap Kopa.
Setelah pengabdiannya bersama Los Merengues, pemilik 45 caps dengan 18 gol termasuk di Piala Dunia 1954 dan 1958 itu memilih kembali ke Stade de Reims. Dia sempat bertahan selama delapan musim lagi, ikut memenangkan dua gelar juara divisi satu lagi, dan termasuk saat jatuh ke divisi dua selama dua musim, sebelum akhirnya memutuskan ‘gantung sepatu’ pada akhir musim 1966/1967 di usia 36 tahun. Pada tanggal 3 Maret 2017, Kopa menghembuskan nafas terakhir dalam usia 85 tahun.
Sumber: UEFA