Robert Skov dan Reputasi Sepakbola Denmark di Bahunya

Foto: Sports Joe.

Pada era 1980-an, publik sepakbola dunia dikejutkan oleh performa tim nasional Denmark di kualifikasi Piala Eropa 1984. Berada satu grup dengan Inggris dan Hungaria, tim asuhan Sepp Piontek lolos ke turnamen final sebagai pemuncak klasemen. Denmark menyingkirkan Trevor Francis dan kawan-kawan dengan keunggulan satu poin.

Keberhasilan itu meloloskan Denmark ke turnamen internasional untuk pertama kalinya sejak 1964. Sebelumnya mereka absen di empat gelaran Piala Eropa dan tak pernah lolos ke Piala Dunia. Tidak ada yang menyangka bahwa mereka bisa menyulitkan Bobby Robson di kualifikasi.

Robson ditunjuk sebagai nahkoda Inggris setelah membawa gelar Piala FA dan UEFA untuk Ipswich Town. Sedangkan Sepp Piontek tidak memiliki koleksi piala sebagai kepala pelatih. Namun keputusannya untuk membentuk tim lewat pemain-pemain berpengalaman dari liga domestik dan talenta-talenta muda yang bermain di Italia dan Belanda membuahkan hasil.

Pada Piala Eropa 1984, performa Michael Laudrup, Jesper Olsen, dan Jan Molby semakin membuat publik terkesima. Mereka memberikan perlawanan kepada Prancis, membantai Yugoslavia, sebelum akhirnya disingkirkan Spanyol lewat adu penalti di semi-final. “Danish Dynamite”, begitu publik menyebut tim nasional Denmark arahan Piontek.

Sejak saat itu, talenta Denmark mulai diperhitungkan di dunia sepakbola. Michael Laudrup masuk ke dalam tim impian Johan Cruyff di Barcelona. John Dahl Tomasson mendapatkan reputasi sebagai salah satu penyerang terganas di dunia. Hingga Christian Eriksen menjadi motor utama Tottenham Hotspur di Liga Premier.

Sayangnya, sebagai tim nasional, Denmark tidak pernah lagi mencapai kesuksesan seperti era Piontek. Satu-satunya yang bisa melewati Piontek hanyalah asistennya, Richard Moller Nielsen di Piala Eropa 1992. Setelah itu prestasi Denmark menurun.

Talenta mereka tidak pernah habis. Tapi selalu saja gagal memperlihatkan kualitas, justru terkena berbagai masalah yang merusak reputasi baik negara.

Terancam Jadi Amatir

Foto: Extra

Dari sekian banyak talenta yang dimiliki oleh Denmark, satu nama lebih populer dibanding lainnya: Nicklas Bendtner. Pria kelahiran 16 Januari 1988 itu sebenarnya sosok penyerang handal. Namun kehebatannya tertutup oleh berbagai hal ‘unik’ yang ia lakukan.

Bendtner lebih dikenal lewat aksinya melakukan kekerasan pada polisi. Berkelahi dengan Emmanuel Adebayor, hingga meletakan kostum VfL Wolfsburg di lantai ketika konfrensi pers. Raihannya sebagai pencetak gol terbanyak Liga Norwegia (2016/2017), pemain terbaik Denmark dan Arsenal (2009) tidak dipandang karena ulah-ulah tersebut.

Sekalinya Age Hareide ingin melepaskan citra Bendtner dari tim nasional Denmark, pihak asosiasi mengalami masalah dengan para pemain. Eriksen dan kawan-kawan merasa tak perlu membela tim nasional mereka karena tidak mendapatkan bayaran dari asosiasi.

Asosiasi sebenarnya bisa membayar mereka karena tawaran dari sponsor sudah ada di atas meja. Namun angka yang ditawarkan kurang memuaskan mereka, sehingga nasib pemain jadi nomor dua saat itu. Masalah ini sempat membuat Denmark terancam didiskualifikasi dari UEFA Nations League.

“Jika kami gagal mencapai kesepakatan, ada ancaman denda yang sangat besar. Itu belum termasuk larangan bermain dari kompetisi internasional dari FIFA. Sepakbola Denmark bisa kembali ke zaman batu,” tutur Kepala Eksekutif Asosiasi Sepakbola Denmark (DBU), Claus Bretton-Meyer.

Alhasil, Denmark harus menurunkan tim amatir yang diisi oleh pemain semi-profesional dan futsal untuk uji coba melawan Slovakia. “Itu harus kami lakukan. Pemain-pemain ini merupakan pahlawan. Jika mereka tidak bermain, kami bisa terkena denda jutaan euro,” kata Direktur DBU Kim Hallberg setelah Denmark dibantai 0-3 oleh Slovakia.

Untungnya, setelah melihat respons suporter yang mengembalikan tiket mereka karena tak ingin menyaksikan tim amatir, pemain-pemain profesional Denmark kembali merumput.

“Sangat disayangkan DBU membuat cerita seakan-akan kami hanya memikirkan dompet. Kami hanya meminta hak kami. Mereka setiap tahun selalu mendapatkan keuntungan dari kami. Ini bentuk solidaritas para pemain. Saya senang kesepakatan bisa dicapai,” ungkap Eriksen setelah masalah tersebut selesai.

Robert Skov Sebagai Poster Denmark

Foto: BT

Masalah upah pemain sudah berhasil diselesaikan oleh DBU. Tim nasional Denmark juga berhasil meraih promosi ke UEFA Nations League A. Mereka meraih delapan poin berkat dua kemenangan dan imbang melawan Wales serta Republik Irlandia. Salah satu dari dua kemenangan itu dicatatkan pada pertandingan pertama setelah masalah mereka selesai.

Menghadapi Kosovo dan Swiss di jeda internasional Maret 2019, Age Hareide memanggil tiga muka baru ke tim nasional Denmark. Salah satunya adalah penyerang Kobenhavn, Robert Skov.

Popularitas Skov mungkin bisa dianggap kalah jika dibandingkan dengan dua debutan lainnya, Joachim Andersen (Sampdoria) dan Philipp Billing (Huddersfield) yang membela kesebelasan dari liga ternama dunia. Namun, Skov bisa menjadi wajah baru Denmark dan awal kebangkitan mereka di kancah internasional.

Penyerang sayap kelahiran 20 Mei 1996 ini tengah menjalani musim terbaik di Kobenhavn. Mencetak 23 gol dari 25 pertandingan, Skov lebih produktif dibandingkan Harry Kane, Luis Suarez, Mo Salah, dan Pierre-Emerick Aubameyang. Padahal empat nama itu memiliki jam terbang yang lebih banyak dari Skov.

https://www.youtube.com/watch?v=ENLiN3h45rE

Kesuksesan Skov membuat dirinya menjadi incaran berbagai klub di luar Denmark. Mulai dari Tottenham hingga Inter Milan disebut menginginkan jasanya. Promosi ke tim senior, nama Skov hanya akan semakin dikenal publik.

Tetapi yang lebih penting lagi, ia adalah pemain yang dikenal rendah hati dan jauh dari kontroversi. “Skov adalah sosok yang memiliki rasa simpati tinggi. Dia menyenangkan dan membumi. Dirinya adalah pria sederhana yang baik,” kata Mathias Hebo, rekan Skov di tim nasional U-21 dan teman satu kamarnya saat Olimpiade 2016.

Ketika Piala Eropa 2020 berpeluang jadi turnamen terakhir Kasper Schmeichel dan Simon Kjaer. Kala Christian Eriksen, Riza Durmisi, dan Thomas Delaney mungkin hanya bertahan hingga Piala Dunia 2022. Denmark butuh wajah baru untuk mengangkat citra sepakbola mereka, dan tidak ada yang lebih pas dibanding pemain yang memiliki sikap 180 derajat dari Nicklas Bendtner.