Roberto Baggio Setelah Eksekusi Penalti yang Gagal di Final Piala Dunia 1994

Tendangan penalti yang dieksekusi penyerang Italia Roberto Baggio melambung tinggi di atas mistar gawang Brasil yang dikawal oleh kiper Claudio Taffarel dalam final Piala Dunia 1994 di Rose Bowl, Pasadena, Amerika Serikat, 17 Juli 1994. Kedua tim harus melalui drama adu penalti usai bermain 0-0 sampai perpajangan waktu. Sayangnya, hingga penalti kelima oleh Baggio, hanya dua yang berhasil.

Sementara Brasil hanya sekali gagal pada penalti pertama. Dengan keunggulan 3-2, giliran tendangan kelima untuk mereka pun tak diperlukan lagi, karena tim Samba sudah dipastikan jadi juara. Baggio hanya tertunduk diam usai menyaksikan tendangannya melesat ke angkasa, meski Taffarel sudah salah arah. Sementara skuat Brasil langsung bergembira merayakan gelar Piala Dunia keempatnya.

Penentu

Hingga kini, hampir 30 tahun kemudian, peristiwa itu masih dikenang oleh pecinta sepak bola; yang telah morebak hati fans Italia di seluruh dunia. Tapi, mungkin tak banyak orang yang mengetahui bagaimana seorang Baggio yang ketika itu masih berusia 27 tahun melalui momen pahit tersebut, di tengah puncak kariernya bersama Juventus, sebelum akhirnya pensiun 10 tahun yang akan datang.

Dia datang ke Piala Dunia 1994 sebagai pemain terbaik dunia, peraih Ballon d’Or dan FIFA World Player of the Year 1993. Perannya pun sangat besar untuk mengantarkan Italia ke final, meskipun sempat terseok-seok di fase grup. Dua gol ke gawang Nigeria di 16 besar, satu gol di perempat final lawan Spanyol, dan dua gol lagi untuk mengalahkan Bulgaria di semi final adalah catatannya saat itu.

Setelah 120 menit yang menegangkan dalam cuaca sangat panas di lapangan Rose Bowl, Baggio lalu mengambil penalti terakhir sekaligus penentu bagi timnya. Dengan kaki yang sudah terasa berat, juga karena cedera, dia maju dan melepaskan tendangan, tapi bola malah melayang di atas gawang. “Saya merasa diri saya sekarat di dalam,” kenangnya kemudian, dilansir laman resmi FIFA pada Juli 2022.

Kecewa

Kurang dari tiga minggu setelah final itu, Baggio ditanyai jurnalis tentang insiden yang harus dilihat sebagai momen menentukan sepanjang kompetisi tersebut.

“Pembunuhan pemain Kolombia adalah hal paling mengecewakan saat itu,” katanya tentang pembunuhan Andres Escobar, dikutip Four Four Two. Dia sama sekali tidak menyinggung soal kegagalan penaltinya yang menghancurkan fans Italia.

Dia sendiri setelahnya seperti mencari perlindungan dengan melepaskan hasrat masa kecilnya untuk berburu, menuju peternakan barunya seluas 900 hektar di La Pampa, salah satu provinsi paling sepi di Argentina. Tapi Italia masih terbangun dengan kekecewaan luar biasa setiap pagi, “seolah-olah kita tak pernah berhenti setelah Piala Dunia,” ucap Baggio pada September 1994, dua bulan kemudian.

Dalam otobiografinya, Una Porta Nel Cielo (A Goal In The Sky), dia menggambarkan perjuangannya untuk mengatasi rasa mengasihani diri sendiri. Baggio sering menunjukkan bahwa dengan rekannya, Franco Baresi dan Daniele Massaro juga sama-sama gagal dalam penalti, Brasil masih akan tetap jadi juara setelah penalti terakhirnya berhasil, bahkan jika dia sendiri menyelesaikan penaltinya saat itu.

“Mereka (fans) harus memilih satu gambar dari final dan mereka memilih kesalahan saya,” tulisnya. Kalah di final Piala Dunia melalui adu penalti memang sangat kejam dalam konteks apapun. Tapi, itu terasa sangat keras bagi Baggio, yang mungkin saat itu merasa Italia tak akan pernah punya peluang. ”Itu adalah luka yang tidak pernah menutup,” katanya lagi dalam salah satu film dokumenter FIFA.

Mimpi Buruk

“Saya telah bermimpi bermain di final Piala Dunia sejak kecil, tapi saya tidak pernah berpikir itu bisa berakhir seperti itu. Sampai hari ini, saya masih belum benar-benar menerima bahwa itu terjadi. Itu menghantui saya,” tambah Il Divin Codino (The Divine Ponytail), julukan yang diberikan pada Baggio karena gaya rambut kuncirnya, karena bakatnya, dan karena kepercayaannya terhadap Buddha.

“Saya tahu (Taffarel) selalu melompat. Jadi saya menendang ke tengah sekitar setengah jalan, jadi dia tak bisa mendapatkan dengan kakinya,” kenang Baggio dalam otobiografinya soal tendangan penalti itu. “Taffarel melompat ke kirinya, dan dia tak akan pernah mengira tendangan saya. Sayangnya, dan saya tidak tahu bagaimana, bola melambung tiga meter hingga melewati mistar gawang,” tulisnya.

Setelah bertahun-tahun kemudian, dia diyakinkan bahwa fans Italia sudah memaafkan kesalahan itu dan memahami situasinya. Tetapi, sepertinya Baggio masih belum bisa melupakannya. “Orang-orang selalu menunjukkan cinta dan kasih sayang yang besar kepada saya, mereka memahami penderitaan saya, tetapi saya sangat menuntut pada diri saya sendiri,” katanya dilansir Football Italia pada 2022.

“Juga, saya memikirkan reaksi yang akan dialami rekan senegara saya. Itu telah mempengaruhi saya selama bertahun-tahun. Saya masih memimpikannya. Dan andai saja saya bisa menghapus salah satu momen dari karier saya, maka itu adalah momen (kegagalan penalti) tersebut,” pungkasnya. Setelah final Piala Dunia 1994 itu, Baggio tampak mulai menjauh dari sorotan, tetapi terlihat lebih bahagia, dan masih sering mencetak gol selama penghujung kariernya di Brescia sebelum pensiun pada 2004.

Sumber: Four Four Two, FIFA, Football-Italia