Ronaldo yang Menggila Bersama Luigi Simoni

Ronaldo dan Luigi Simoni. (Foto: Web24News)

“Luigi Simoni bukanlah sosok pelatih biasa di mata saya. Saya selalu melihatnya sebagai sosok yang bijaksana, yang tidak akan memaksakan kehendaknya. Simoni lebih suka menjelaskan arti penting dari berbagai hal.”

Begitulah pesan yang dibuat oleh Ronaldo Luiz Nazario de Lima pada akun Instagram pribadinya sesaat setelah mendapat kabar kalau Luigi Simoni meninggal dunia. Luigi meninggal dunia pada 22 Mei lalu akibat stroke parah yang ia derita sejak 2019 silam. Sempat dirawat di rumah sakit, ia akhirnya meninggal dunia pada usia 81 tahun.

Meninggalnya Simoni menimbulkan duka yang mendalam bagi keluarga besar I Nerazzurri. Dia memang bukan pelatih yang sukses seperti Jose Mourinho, namun satu gelar berupa Piala UEFA 1997/1998 meninggalkan kesan tersendiri bagi seluruh tifosi Inter. Gelar itu membuat Inter meraih gelar Piala UEFA ketiganya hanya dalam tempo tujuh tahun.

Terutama untuk Ronaldo. Di matanya, sosok Simoni bukan hanya sekadar seorang pelatih sepakbola. Ia juga menganggapnya sebagai seorang guru. Foto yang ia unggah untuk mengenang sang pelatih adalah foto ketika Simoni sedang menjadi seorang konduktor orkestra yang memandu para pemainnya untuk membuat sebuah orkestra yang merdu.

“Saya juga menganggap Simoni sebagai seorang guru. Seperti pada foto ini ketika kami sedang merayakan Natal. Simoni seperti seorang konduktor orkestra, sementara kami semua merupakan pemain orkestra,” ujarnya menambahkan.

Ronaldo adalah salah satu pemain dalam orkestra milik Simoni yang mampu memainkan bola dengan indah dan sedap dipandang. Liukan, kecepatan, dan akselerasi sang fenomena muncul di era kepelatihan Simoni. Keberhasilan dia meraih gelar Piala UEFA 1998 juga tidak lepas dari andil Ronaldo yang sepanjang musim tampil begitu luar biasa di kota Milan.

Saat itu, Ronaldo sudah dikenal sebagai pencetak gol yang ulung. Bersama Barcelona, ia mampu membuat 47 gol dari 49 pertandingan dengan 34 diantaranya terjadi di La Liga musim 1996/1997. Pada usia yang baru 20 tahun, Ronaldo langsung menjadi pemain terbaik dunia versi FIFA. Inilah yang membuat Inter Milan berminat kepada Ronaldo dan langsung membawanya ke kota Milan dengan memecahkan rekor transfer dunia.

Datang ke tempat baru jelas bukan hal yang mudah. Apalagi yang datang adalah pemain berusia muda dengan label sebagai pemain termahal dunia. Namun, hal itu tidak terjadi kepada Ronaldo. Bersama Simoni, adaptasinya berjalan dengan lancar. Bahkan, ia menjadi sosok penyerang yang komplet sekaligus menakutkan bagi para lawannya.

Jika dipikir-pikir, Ronaldo terlalu cepat untuk meninggalkan Barcelona. Pasalnya, ia juga baru menjalani musim pertamanya sejak pindah dari PSV Eindhoven. Ada peluang kalau torehan golnya akan langsung menurun drastis karena memutuskan untuk kembali beradaptasi dengan kompetisi yang baru pertama ia datangi.

Namun, hal itu tidak terbukti. Ronaldo mencetak 25 gol di Serie A. Total ada 34 gol dari 47 pertandingan yang ia buat di semua kompetisi. Jumlahnya sedikit lebih kecil dibanding ketika menjalani musim singkat bersama Barcelona. Namun, hal itu membuktikan kalau Ronaldo tidak punya masalah untuk bermain di kompetisi yang levelnya jauh lebih berat lagi dibanding La Liga.

Ronaldo berkembang tidak hanya sebagai sosok pencetak gol ulung. Dia juga mulai rajin membuat asis, menjadi penendang penalti pertama, dan menjadi eksekutor utama bola-bola mati La Beneamata.

Simoni juga mampu membuat rekan setimnya tidak cemburu kepada Ronaldo. Tidak jarang, sebuah kesebelasan akan timbul gesekan jika ada satu pemain yang sangat disayang oleh pelatihnya. Apalagi, jika pemain tersebut memiliki kemampuan yang lebih dibanding pemain lainnya. Namun, Simoni bukanlah pelatih seperti itu.

Ia mampu membuat seluruh pemain lain menekan rasa cemburu mereka kepada Ronaldo. Karakter yang berbeda dalam skuad membuat mereka justru menyatu dengan baik di atas lapangan dan tampil layaknya sebuah orkestra yang manis seperti yang diucapkan oleh Ronaldo.

“Tidak ada kecemburuan antara pemain lain terhadap Ronaldo. Dia juga sangat ramah. Saya tidak pernah melihatnya marah kepada rekan setimnya karena umpan yang buruk. Suasana hatinya selalu positif. Ronaldo bukan primadona, tapi semua orang tahu kalau dia istimewa dan bisa membawa kita ke puncak sehingga semua orang mendukungnya,” ucap Simoni pada 2019 lalu.

“Ronaldo adalah pemimpin kami dan kami memperlakukannya sebagaimana pemain yang layak diperlakukan. Saya tidak pernah berpikir kalau semua pemain harus dikelola dengan cara yang sama jika dia adalah seseorang yang spesial, namun Ronaldo adalah pemain luar biasa,” ujarnya menambahkan.

6 Mei 1998 menjadi puncak dari karier seorang Simoni bersama Inter Milan. Liukan Ronaldo pada menit ke-70 mengecoh Luca Marchegiani dan memperbesar keunggulan Inter menjadi 3-0 atas Lazio pada final Piala Uefa. The Gentleman akhirnya mendapat piala pertama sepanjang 24 tahun kariernya di dunia kepelatihan. Bagi Ronaldo, keberhasilannya tersebut membawa namanya sebagai pemenang Pemain Terbaik Serie A, Ballon d’Or dan FIFA World Player of the Year pada tahun yang sama.

Trofi tersebut juga menjadi pelipur lara setelah kegagalan mereka mendapat scudetto yang disebabkan kekalahan mereka secara kontroversial melawan Juventus beberapa pekan sebelumnya yang disebabkan kepimpinan wasit Piero Ceccarini. Inter sendiri hanya finis pada posisi kedua di belakang Juve dengan poin 69.

Sayangnya, kombinasi apik Ronaldo dengan Simoni tidak berlanjut pada musim berikutnya. Produktivitas sang fenomena merosot drastis. Ia hanya membuat 15 gol di semua kompetisi. Cedera juga mulai menyerang tubuhnya yang membuat magi dari seorang Ronaldo perlahan meredup di kota mode.

Sementara itu, Simoni justru dipecat pada akhir November 1998 atau lima hari setelah Inter menang 3-1 atas Real Madrid di Liga Champions. Hasil buruk di liga menjadi penyebab utama lengsernya Simoni. Sebuah pemecatan yang kemudian disesali oleh sang presiden, Massimo Moratti. Presiden tersukses Inter Milan tersebut merasa kalau Inter bisa meraih Scudetto jika ia lebih sabar kepada Simoni.

Simoni kemudian melanjutkan petualangan melatihnya ke beberapa kesebelasan seperti Piacenza, Torino, CSKA Sofia, Ancona, Napoli, Siena, Lucchese, sebelum mengakhiri kariernya bersama Gubbio pada 2012. Akan tetapi, tidak ada satu piala pun yang bisa ia persembahkan.

38 tahun melatih, Simoni hanya punya satu trofi yang bisa ia banggakan yaitu Piala UEFA 1997/1998. Gelar yang mungkin tidak bisa diraih jika dia tidak memiliki sosok pembeda seperti Ronaldo di atas lapangan.