Real Mallorca kembali ke La Liga setelah mengalahkan Deportivo La Coruna melalui jalur playoff. Sebelum tertutup oleh sinar Villarreal dan Sevilla, Els Barralets dikenal sebagai salah satu kuda hitam sepakbola Spanyol. Kuda hitam paling sial. Tapi tetap saja kuda hitam, dan puncak kejayaan mereka adalah menjuarai Copa del Rey 2002/2003 dengan Samuel Eto’o sebagai penyerang utamanya.
Eto’o dikenal sebagai salah satu penyerang terbaik di La Liga. Dengan catatan 162 gol, Transfermarkt mencatat Eto’o di 10 besar pemain paling produktif yang pernah mewarnai divisi tertinggi sepakbola Spanyol.
Unggul dari Ferenc Puskas, Julio Salinas, ataupun Ivan Zamorano. Lebih dari 100 gol yang dilesahkan Eto’o di La Liga tercipta saat ia berseragam FC Barcelona. Tapi tanpa Mallorca, Barcelona tidak akan mendapatkan Eto’o.
Didatangkan dari Real Madrid dengan dana sekitar 4,5 juta Euro pada musim dingin 2000, Eto’o langsung membuat Los Blancos menyesal. Cerita bagaimana Eto’o dibuang dari Ibu kota Spanyol adalah legenda tersendiri. Kisah yang membuat dirinya disandingkan dengan legenda Barcelona Laszlo Kubala ketika pemain asal Kamerun itu bersinar di Camp Nou.
Namun, tidak butuh waktu lama untuk membuat Real Madrid menyesal. Datang pada paruh kedua musim, Eto’o berhasil mencetak enam gol dari 13 penampilannya bersama Mallorca. Termasuk dua gol melawan rival abadi Los Blancos, Barcelona.
Merasakan Amarah Aragones
Foto: Ultima Hora
Dari pemain buangan yang merasa tidak mendapatkan kesempatan bermain di Bernabeu karena warna kulitnya, Eto’o langsung menemukan rumah di Kepulauan Balears. Memasuki musim penuh pertamanya berseragam Els Barralets, Eto’o semakin ganas.
Diasuh Luis Aragones, Eto’o belajar menjadi pemain yang lebih baik. Lebih peduli kepada teman-teman seperjuangannya. Meski hal itu harus dipelajari di tengah pertandingan dan dengan Aragones menarik seragamnya di bagian leher.
Awalnya, Eto’o kesal karena dirinya diganti oleh Aragones. Ia melempar botol minum ke tanah sebagai tanda protes. Aragones akhirnya ikut naik darah. “Kamu tak bisa melakukan hal seperti itu kepada saya. Tatap mata saya,” kata Aragones, marah. Bukan ‘tatap mata saya’ seperti pesulap, marah!
Eto’o pun menyadari kesalahannya. Mengaku hal seperti itu wajar dilakukan Aragones. “Hubungan kami seperti ayah dan anak,” kata Eto’o. “Sekarang dia [Eto’o] sudah tahu harus berbuat apa,” tambah Aragones menjelaskan insiden tersebut.
Hasilnya, Aragones terbukti jadi salah satu pelatih yang paling berhasil memaksimalkan potensi Eto’o. Mantan pemain Chelsea itu berhasil mencetak 30 gol dalam 60 pertandingan di bawah asuhan Aragones. Hanya Pep Guardiola (36) dan Frank Rijkaard (94) yang diberi sumbangan gol lebih banyak oleh Eto’o.
Jalan Menuju Barcelona
Foto: Squawka
Total 30 gol itu dilesahkan Eto’o dalam dua periode kepelatihan Aragones (2000/2001 dan 2003/2004). Setelah itu ia hengkang ke Barcelona. Tapi sebelumnya, Eto’o menyumbang piala Copa del Rey untuk Mallorca. Diasuh Gregorio Manzano yang menyebut ‘Little Milla’ -panggilan Eto’o- sebagai pengatur suasana tim di atas lapangan.
“Sebenarnya saya bisa menempatkan Eto’o di mana saja. Posisi bukanlah masalah, yang penting adalah hasil akhir. Eto’o dengan permainan agresifnya membuat pemain-pemain lain melakukan hal yang sama. Sikap dia di atas lapangan menular,” kata Manzano.
Setelah juara Copa del Rey di mana Eto’o mencetak dua gol pada partai final, Manzano tidak ragu menyebut pemain kelahiran 10 Maret 1981 itu sebagai penuntun jalan klub.
“Saya tahu Eto’o sebenarnya bisa bermain lebih baik lagi. Dia sedang diselimuti duka setelah rekannya, Marc-Vivien Foe meninggal dunia. Tapi Eto’o tetaplah cahaya yang membawa kami ke tangga juara,” kata Manzano.
Berada di bawah kepelatihan Manzano selama satu musim, Eto’o mencetak 18 gol untuk Mallorca. Lebih baik dibanding masa kepelatihan pertama Aragones (11). Manzano pergi meninggalkan klub untuk menangani Atletico Madrid setelah menjuarai Copa del Rey. Els Barralets sempat goyah.
Eto’o tetap menakutkan di dua pertandingan pertama, tapi setelah itu ia puasa mencetak gol di La Liga selama empat pekan. Mallorca jatuh ke peringkat 16 La Liga 2003/2004 dan Luis Aragones ditunjuk kembali oleh manajemen klub. Kedatangan Aragones ini kembali mengasah insting Eto’o di depan gawang lawan.
Els Barralets akan terus bertarung di papan bawah sepanjang musim. Tapi Eto’o tidak pernah lagi puasa gol sampai satu bulan. Mallorca mengakhiri musim di peringkat ke-11 klasemen akhir dengan Eto’o mencetak 17 gol. Raihan terbaiknya sepanjang mengarungi La Liga bersama Mallorca.
Aragones kemudian menelpon Direktur Olahraga Barcelona Txiki Begiristain. “Jika kalian ingin menjadi juara, belilah Eto’o,” kata Aragones.
Janji yang Belum Ditepati
Foto: AS
Padahal Eto’o bisa mendarat di mana saja tempat. Rafael Benitez menginginkannya di Valencia. Bahkan kabarnya sempat tercapai kesepakatan antara kedua klub. Manchester United mengincar Eto’o sebagai duet untuk Ruud van Nistelrooy. Tapi telepon itu mengubah sejarah.
Eto’o mengangkat tujuh piala bersama Barcelona. Termasuk tiga gelar La Liga dan dua piala Liga Champions. Tapi rumah terbaiknya akan selalu jadi Mallorca. “Suatu hari nanti saya akan kembali ke Mallorca. Ini rumah saya dan akan selalu dijaga di hati. Saya ingin mengakhiri karier di sini,” kata Eto’o.
Eto’o sempat digoda untuk kembali setelah dirinya dilepas Sampdoria. Namun ia lebih memilih Antalyaspor sebagai pelabuhan berikutnya. Fernando Vazquez, pelatih pertama Eto’o di Mallorca pun mengaku paham dengan keputusan mantan anak asuhnya. “Eto’o mendapat bayaran tiga juta dollar di sana, bersih. Wajar dia tidak kembali,” kata Vazquez.
Tapi sekarang kondisi berubah. Eto’o masih bermain di Qatar. Anaknya, sudah meminta Sang Ayah untuk pulang ke Mallorca sejak 2014. Ketika itu Els Barralets ada di divisi dua. Apakah dengan jaminan bermain di La Liga 2019/2020, Eto’o akan kembali?