Memiliki status sebagai salah satu kesebelasan terbaik dunia merupakan kutukan. Apabila melihat satu sisi, mereka punya keuntungan untuk merekrut pemain-pemain terbaik dunia. Sementara di sisi lainnya, mereka juga sering kali menilai talenta terlalu cepat. Membuang mereka sebelum menginginkannya kembali.
Banyak contoh bisa diambil dari kasus ini. Misalnya Harry Kane dan Arsenal. Albert Rusnak dan Manchester City. Hingga Barcelona, Real Madrid, dan Chelsea yang memulangkan Jordi Alba, Mariano Diaz, dan Nemanja Matic dalam beberapa tahun terakhir.
Menengok ke Jerman, tidak ada kesebelasan yang lebih besar dibanding Bayern Munchen. Selalu menjuarai 1.Bundesliga dalam tujuh tahun terakhir, Die Roten dibela pemain-pemain kelas dunia seperti Robert Lewandowski, Manuel Neuer, dan Leon Goretzka. Namun dalam beberapa tahun terakhir, hanya David Alaba, Toni Kroos, dan Thomas Muller yang berhasil menembus tim utama Bayern.
Padahal akademi mereka juga bertanggung jawab atas kelahiran pemain lain seperti Emre Can, Roberto Soriano, dan Sebastian Langkamp. Ketiganya mungkin tidak selevel dengan Javi Martinez, Thiago Alcantara, dan Goretzka. Tapi mereka semua tergolong pemain yang berkualitas.
Sayangnya, Bayern terlalu cepat melepas mereka dan melepas ketiga dengan total dana 5,5 juta euro. Langkamp bahkan dilepas ke Hamburg secara cuma-cuma pada 2007.
Mats Hummels yang menjadi salah satu bek terbaik Jerman bersam Borussia Dortmund bahkan hanya dilepas seharga empat juta euro sebelum dipulangkan ke Allianz Arena pada 2016. Ketika itu Bayern harus menebus Hummels dengan dana 32 juta euro alias delapan kali lipat dari saat dijual ke Dortmund.
Foto: Kicker
Sekitar tiga tahun setelah Hummels dipulangkan, Bayern kembali dikaitkan dengan mantan pemain akademi mereka, Philipp Max. Bek kelahiran 30 September 1993 tergabung dalam akademi Die Roten selama tiga tahun (2007-2010). Baru juga menembus tim U17, Bayern sudah melepasnya ke Schalke secara cuma-cuma. Padahal jasa Max didapat Bayern dari rival sekota mereka, TSV 1860 Munich.
Philipp Max adalah anak dari mantan penyerang Schalke, Martin. Max junior aslinya ingin mengikuti jejak ayahnya sebagai penyerang. Ia juga mulai belajar sepakbola sebagai ujung tombak. Termasuk saat masih membela akademi Bayern.
Hidup di bawah bayangan Sang Ayah yang merupakan topskorer 1.Bundesliga 1999/2000 dan 2001/2002, Philipp Max tertekan di Munchen. “Saya tidak bisa menikmati sepakbola di sana. Selalu saja dibandingkan dengan ayah,” aku Max.
“Saya mulai melakukan introspeksi diri dan meminta keluarga untuk kembali ke Nordrhein-Westfalen. Beruntung keluarga ikut mendukung,” lanjutnya.
Dihidupkan Schalke
Foto: Schalke
Bergabung dengan Schalke U19, Max seangkatan dengan Julian Draxler dan Sead Kolasinac di Die Knappen. Ia tetap memulai perjalanannya di Schalke sebagai penyerang. Catatannya di lini depan juga bagus. Mencetak 15 gol dan arsiteki lima lainnya dari 24 pertandingan di Bundesliga U19 wilayah barat.
Namun di sini jugalah ia bertemu dengan Norbert Elgert yang mengubah posisinya sebagai bek. “Elgert adalah pelatih yang bagus. Dia memberikan tempat yang tepat. Dirinya telah membuat saya menjadi percaya diri,” aku Max.
Tampil impresif di Schalke II dan U19, Max akhirnya diberi kesempatan untuk debut di tim senior Die Knappen. Masuk menggantikan Draxler di pekan ke-27 musim 2013/2014. Tapi Jens Keller yang saat itu menangani Schalke mengembalikan Max ke lini serang. Padahal ia sudah nyaman bermain di belakang.
Max pun memilih untuk hengkang ke divisi dua dibandingkan harus bermain di luar posisi terbaiknya. “Saat muda saya mungkin bisa bermain di semua posisi. Tapi bek kiri adalah pos terbaik saya. Saya sangat senang bermain dalam bagian empat bek,” kata Max.
Karlsruher memaksimalkan Max di posisi terbaiknya. Dirinya pun membayar kepercayaan itu dengan mengantar KSC ke peringkat tiga klasemen akhir 2.Bundesliga 2014/2015. KSC gagal mengunci promosi setelah dikalahkan Hamburg. Namun, penampilan Max sepanjang musim cukup untuk membantunya kembali ke 1.Bundesliga sebagai bek.
Bukan Baba Rahman
Foto: Twitter / @FCA_World
Augsburg mendatangkan Max sebagai pengganti Baba Rahman. Bek asal Ghana itu telah menarik perhatian Chelsea setelah mengarsiteki lima gol Augsburg selama 2014/2015. Tapi Max langsung menolak perbandingan tersebut.
Menyebut dirinya tidak memiliki kemiripan dengan Baba. “Saya lebih mirip dengan Sascha Molder. Saya ingin memberi kontribusi dan jadi bagian dari Augsburg,” kata Max.
Max dan Molder memang memiliki kemiripan. Mereka sama-sama berjuang mendapatkan tempat utama di divisi dua sebelum mendapat tempat di 1.Bundesliga bersama Augsburg. Bedanya, Molder tetap mengisi area penyerangan, sementara Max berhasil menunjukkan kualitasnya di lini belakang.
Meski demikian, kontribusi Max untuk penyerangan Augsburg tetaplah krusial. Ia bahkan mengakhiri musim 2018/2019 sebagai pemain dengan operan kunci terbanyak untuk klub berjuluk Fuggerstadter itu (60). Melebihi catatan Kevin Kampl (48), Leon Bailey, dan Robert Lewandowski (47).
Raihan tersebut membuat ia diminati berbagai kesebelasan top Eropa. Chelsea, Manchester City, United, Dortmund, Everton, semua dikaitkan dengan Max. Namun Augsburg tak akan melepasnya dengan murah. Fuggerstadter disebut menginginkan 39,5 juta euro untuk jasa Max. Dengan dana tersebut, Max akan jadi pemain termahal yang pernah dijual Augsburg. Melebihi Baba Rahman yang kabarnya ditebus Chelsea seharga 25 juta euro.
Dari buangan Bayern yang terlalu dibebankan oleh bayang-bayang ayahnya, jadi calon pemain termahal Augsburg. Bahkan berpeluang lebih mahal dari uang didapatkan Bayern dari penjualan Toni Kroos ke Real Madrid. Philipp Max menunjukkan bahwa Die Roten telah kehilangan talenta besar dari akademi mereka.