Sejarah Panjang “El Clasico” (1): Pengaruh Jenderal Franco

Laga antara Barcelona dan Real Madrid dikenal dengan tajuk “El Clasico”. Ini adalah laga legendaris yang membuat tajuk serupa diterapkan di negara lain. Contohnya, saat Persib Bandung dengan Persija Jakarta bertemu, laga ini kerap disebut sebagai “El Clasico-nya Indonesia”.

Ada sejarah panjang yang membuat Barca vs Madrid begitu diliputi kebencian. Rivalitas ini yang bertahan hingga hampir satu abad lamanya.

Kebencian dari Lama

Konflik antara Real Madrid dan Barcelona telah melampaui sendi-sendi sepakbola itu sendiri. Lebih dari itu, bahkan pemilihan presiden klub terasa betul politisasinya. Phil Ball dalam tulisannya di The Guardian menyatakan bahwa mereka saling membenci dengan intensitas yang benar-benar dapat mengejutkan orang luar.

Pada awal 1930-an, Barcelona telah menjadi simbol dari identitas Catalan. Barcelona menjadi antitesis dari Spanyol yang saat itu berpusat pada Madrid.

Puncaknya hadir pada 1936 ketika Jenderal Francisco Franco melakukan kudeta. Setelahnya, Presiden Barcelona, Josep Sunyol, ditahan dan dieksekusi tanpa pengadilan oleh bala tentara Jenderal Franco.

Di era kediktatoran Miguel Primo de Rivera dan Jenderal Franco, semua bahasa dan identitas lokal di Spanyol dibekukan dan dibatasi. Hal ini yang memicu kebencian warga Barcelona terhadap rezim fasis ini. Pada periode ini pula, Barcelona mendapatkan moto mereka yang terkenal Mes que un club alias “Lebih dari sekadar klub”.

Pengaruh Jenderal Franco dan Santiago Bernabeu

Saat Jenderal Franco menguasai Spanyol, ia sebenarnya tidak terlau suka sepakbola. Franco disebut tak memiliki klub kesukaan. Akan tetapi menurut nasionalis Spanyol, Franco dekat dengan Atletico Aviacion dan Madrid FC. Meski demikian, ia juga ingin agar Barcelona sukses.

Hingga 1951, Madrid tidak bisa dibilang sukses. Sejak 1939, mereka tak pernah merebut gelar liga. Bandingkan dengan Atletico Aviacion (yang kemudian menjadi Altetico Madrid) dengan meraih empat gelar liga. Ini yang menghadirkan anggapan kalau Franco dekat dengan Atletico.

Pada 1943, Santiago Bernabeu ditunjuk sebagai Presiden Real Madrid. Ia adalah mantan pemain Real Madrid dan Atletico Madrid. Saat Perang Sipil pecah pada 1936, ia bergabung bersama tentara nasionalis yang dipimpin Jenderal Franco.

Kehadiran Bernabeu begitu penting buat Real Madrid. Lewat gagasannya, ia merestrukturisasi klub di segala hal. Ia menjadikan Madrid sebagai klub profesional termasuk merekrut para profesional di bidangnya, seperti Raimundo Saporta.

Satu strategi ambisiusnya adalah membangun stadion dengan kapasitas terbesar di Eropa. Ia juga membangun Ciudad Deportiva, tempat latihan Madrid. Puncaknya adalah ketika ia mendatangkan Alfredo Di Stefano.

Mendatangkan pemain top seperti Luis Molowny, Miguel Munoz, Francisco Gento, Hector Rial, Jose Santamaria, Raymond Kopa, sampai Ferenc Puskas, adalah praktik yang wajar. Mereka didatangkan untuk memudahkan jalan menuju kejayaan. Namun, Di Stefano berbeda karena saat itu, Di Stefano sebenarnya sudah sepakat bergabung dengan Barcelona.

Piala Champions dan Awal Kebangkitan Madrid

Pada 1955, Jurnalis L’Equipe, Gabriel Hanot punya gagasan untuk membuat turnamen yang melibatkan klub dari Eropa. Ia terinspirasi dari turnamen serupa di Amerika Selatan. Jadilah turnamen tersebut  sebagai European Champions Club’s Cup yang awalnya diikuti oleh klub-klub undangan.

Di sini, faktor Bernabeu berperan. Soalnya, Spanyol diwakili oleh timnya, Real Madrid. Sepanjang lima tahun turnamen digelar, Real Madrid selalu menjadi juara alias lima kali secara beruntun.

Menurut sejumlah sejarawan, dari sini Jenderal Franco mulai melirik Real Madrid sebagai bagian dari kekuasaannya. Soalnya, Madrid menjadi representasi kehebatan Spanyol di mata dunia.

Semusim setelah Madrid menjadi juara Eropa, mereka juga mulai menguasai Spanyol. Sejak 1956 hingga 1975, Madrid 12 kali juara La Liga. Di periode yang sama, Barca cuma tiga kali juara La Liga.

Ketimpangan prestasi ini yang kian menambah besar rivalitas keduanya. Karena ada anggapan keberhasilan Madrid pada awalnya tidak murni karena kemampuan mereka, tapi ada pengaruh dari kekuasaan Jenderal Franco.

Menteri Luar Negeri era Franco, Fernando Maria Castiella, bilang kalau Real Madrid adalah kedutaan terbaik yang pernah mereka punya. Sejak saat itu pula, Franco menjadikan Real Madrid sebagai klub pilihannya.