Pada 1980-an Inggris dihantui oleh aksi hooliganisme yang bikin takut semua orang. Selain meresahkan karena perilaku yang ugal-ugalan, para hooligan ini juga tak segan untuk melakukan kekerasan. Salah satu yang paling menyebalkan adalah suporter Millwall.
Baca juga: Mengenal Rivalitas Dua Hooligan Paling Menyebalkan di Inggris
Pada 13 Maret 1985, Millwall dijadwalkan bertandang ke Kenilworth Road, kandang Luton Town, dalam ajang babak keenam Piala FA. Kala itu, Millwall diasosiasikan secara negatif sebagai kesebelasan dengan pendukung yang sering rusuh. Kelompok terbesar dan paling terkenal saat itu adalah Millwall’s Bushwackers yang aksinya sudah terkenal ke penjuru Inggris. Ini yang membuat The Den, kandang Millwall, telah menjadi saksi keributan selama tujuh tahun.
Salah satu yang menarik perhatian adalah ketika Millwall menjadmu Ipswich Town di The Den pada 1978. Kala itu, Bushwackers membuat onar yang dampaknya justru terjadi pada suporter Millwall lain. Ini yang membuat manajer Ipswich, Bobby Robson, begitu geram. Dikutip dari buku No One Like Us, We Dont Care, karya Andrew Woods, Robson sampai bilang, “[Polisi] mestinya menyalakan penyembur api ke arah mereka!”
Onar di Kenilworth Road
Pada 1985 ini, Millwall yang berada di Divisi Ketiga, tengah berjuang untuk meraih promosi ke Divisi Kedua. Millwall sempat membuat kejutan dengan menang 2-0 atas tim papan atas, Leicester City. Sementara Luton menang dari rival utama mereka, Watford, tanpa hambatan berarti.
Pertandingan Luton vs Millwall bagaikan David vs Goliath. Pasalnya, Luton ada di Divisi Utama, sementara Millwall di Divisi Ketiga. Akan tetapi, secara psikologis, Luton berada kedua terbawah, sementara Millwall di peringkat ketiga.
Pihak Millwall meminta pertandingan yang dihelat Rabu malam tersebut untuk all-ticket, di mana tiket dijual terpisah sehingga tidak ada yang menjual tiket di stadion. Namun, dilansir dari The Guardian, permintaan ini tidak dipenuhi.
Jumlah fans Millwall yang away amatlah banyak, bahkan disebut-sebut dua kali jumlah rata-rata pertandingan kandang. Menurut The Guardian, ini terjadi karena sejumlah fans rival Luton juga ikut dari London menuju Luton.
Penggemar Millwall sudah berulah sejak tiba di Stasiun Pancras, empat jam sebelum kick-off. Anggota Parlemen Inggris, Roger Stott, menyebut kalau ia melihat setidaknya dua atau tiga ratus suporter Millwall yang berperilaku buruk, dengna gaya hooligan, dan meneror orang-orang di stasiun.
Menurut salah satu saksi mata, pada pukul 3 sore, pusat perbelanjaan Arndale Centre ditutup karena ada keributan di pusat kota. Kabar intelejen juga dikirimkan polisi di St. Pancras agar Kepolisian Bedfordshire menggunakan kuda di pertandingan itu. Sayangnya, Kepolisian Bedfordshire tak punya kuda.
Satu jam sebelum pertandingan, gerbang di tribun Kenilworth Road, yang mestinya digunakan untuk menahan 5000 penggemar Millwall, diserbu dan dijebol. Ratusan orang mulai memanjat pagar. Mereka yang berhasil masuk ke tribun, mulai melempari sekitarnya dengan botol, paku, dan koin, ke penggemar Luton. Kehabisan alat, suporter Millwall pun mencabuti kursi dan menyerang suporter kandang.
Sebanyak dua per tiga suporter Luton di tribu Bobbers, didorong mundur oleh para hooligan ini, dan membuat suporter tuan rumah terkejut. Gara-gara ini, sepertiga pemegang tiket musiman tak lagi datang ke pertandingan kandang.
Hebatnya, pertandingan digelar tepat waktu. Akan tetapi, setelah 14 menit, suporter Millwall mulai berbuat onar dengan masuk ke lapangan. Wasit David Hutchinson, sampai harus meminta para pemain masuk dan menghentikan pertandingan selama 25 menit.
Pertandingan bisa dilanjutkan setelah manajer Millwall, George Graham, meminta suporter untuk bekerja sama dan menikmati tim mereka bermain. Saat turun minum, Luton unggul 1-0 lewat gol yang dicetak Brian Stein pada menit ke-31.
Saat peluit tanda pertandingan berakhir, para pemain berlarian ke ruang ganti. Namun, para suporter pun demikian. Mereka turut turun ke lapangan, dan yang masih di tribun, mulai melempari kursi.
Kejadian pada Rabu malam ini membuat sebal banyak orang. Salah satunya, John Carlisle, anggota parlemen dari Luton Utara. “Konstituen saya amat marah karena kandang mereka dirusak, toko-toko mereka, kota mereka, dan kesebelasan mereka juga. Satu-satunya jawaban adalah untuk menimbulkan rasa sakit fisik yang begitu mudah mereka timpakan kepada orang lain tadi malam,” kata Carlisle.
Opsi dari Luton
Luton sendiri mencapai babak semifinal Piala FA. Akan tetapi, manajer Luton, David Pleat, merasa kosong. Mereka sendiri kalah 1-2 dari Everton di Villa Park setelah menjalani babak perpanjangan waktu. Namun, penampilan mereka di liga meningkat dengan finis di peringkat ke-13, sementara Millwall promosi ke Divisi Kedua.
FA sendiri memberi sanksi denda 7500 paun untuk Millwall, meskipun ditangguhkan setelah banding. Luton Town diminta untuk membangun pagar di sekeliling stadion. Pemilik Chelsea, Ken Bates, bahkan berencana membangun pagar listrik di Stamford Bridge agar kejadian serupa tak terjadi di Chelsea.
Setelah kejadian tersebut, Luton menganggarkan 1 juta paun untuk memperbaiki Kenilworth Road. 350 ribu di antaranya untuk memasang rumput sintetis, dan 650 ribu lainnya untuk mengubah stadion menjadi all-seater.
Kala itu, Pemilik Luton, David Evans, mengenalkan kartu indetitas dan melarang fans away bertandang ke Kenilworth Road. Keputusan ini ditentang banyak orang, karena hal ini belum dilakukan di masa itu. Banyak yang menyebut keputusan David Evans sebagai cari aman. Namun, tidak sedikit yang menerima dan menginginkan mereka lebih berpikiran terbuka.
Setiap suporter yang mau membuat kartu identitas, mesti menyertakan data pribadi ke klub. Nantinya, kartu suporter ini mesti dibawa apabila ingin menyaksikan pertandingan. Pertandingan pertama di mana kartu identitas ini mulai ditetapkan adalah melawan Southampton pada 26 Agustus 1986.
Namun, ketidakadilan dirasakan Luton ketika FA mendiskualifikasi mereka di Piala Liga. Pasalnya, Evans menolak penggemar Cardiff City untuk tandang ke Kenilworth Road. Awalnya, Luton sudah melakukan kompromi dengan menggelar pertandingan tanpa penonton.
Namun, pada 6 Oktober 1986, kesebelasan di Liga Inggris berkumpul di Villa Park dengan membawa dua opsi. (1) Cuma anggota suporter Luton yang bisa nonton, dan (2) Luton bermain di kandang netral atau mengganti status tandang menjadi tandang. Opsi pertama ditolak dengan 80 klub menolak dan 6 mendukung. Sementara opsi kedua ditolak oleh Luton, yang membuat mereka absen di Piala Liga. Sehingga Cardiff menang WO dan lolos ke babak kedua.
Ironisnya, beberapa hari kemudian, FA mengumumkan kalau Luton boleh untuk melarang penggemar tandang di Piala FA. Akan tetapi mereka juga mesti legowo kalau ada klub lain yang melarang fans Luton untuk datang ke pertandingan tandang. Padahal, apa yang dilakukan Luton, diklaim mendapatkan dukungan dari PM Inggris, Margareth Thatcher.
Setelah aturan tersebut, dimulailah pembahasan untuk menekan hooliganisme di Inggris. Pasalnya, ada sejumlah kejadian memalukan buat Inggris. Salah satunya Tragedi Heysel. Pemerintah Inggris pun membuat proposal dengan solusi seperti peningkatan jumlah CCTV dan penambahan polisi di dalam stadion. Penjualan tiket pun dilakukan di luar area stadion, juga melarang alkohol masuk stadion, yang dilakukan hingga saat ini.