Indonesia di Piala AFF 1998: Terkenal Karena Skandal

Foto: Thaifootball.com

Kegagalan di Piala AFF 1996 coba dilunasi oleh tim nasional Indonesia ketika berkiprah di turnamen serupa dua tahun kemudian. Sayangnya, pada pegelaran Piala AFF (Piala Tiger) edisi kedua, skuad Garuda lebih dikenang karena skandalnya. Skandal yang mencoreng nama besar Indonesia di mata Internasional.

Baca juga: Indonesia di Piala AFF 1996: Dikalahkan Tetangga Gara-Gara Mata

***

Tahun 1998 adalah periode yang sulit bagi Indonesia. Kerusuhan atas krisis moneter yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air merembet ke kompetisi sepakbola kita. Liga Indonesia saat itu dihentikan karena kondisi negara yang tidak kondusif. Meski begitu, Indonesia tetap memutuskan untuk ambil bagian dalam turnamen Piala AFF kedua.

Setelah gagal bersama Henk Wullems, Indonesia ditangani oleh Rusdy Bahalwan. Pelatih yang akrab disapa uztad ini, tetap mempertahankan beberapa nama yang setahun sebelumnya bermain dalam ajang Sea Games seperti Bima Sakti, Kurniawan, dan Aji Santoso. Akan tetapi, sosok Rusdy bukannya tanpa kontroversi.

Dalam skuat yang dibawa ke Vietnam (tuan rumah saat itu), Rusdy memanggil 11 pemain yang berasal dari Persebaya. Mereka adalah Anang Ma’ruf, Aji Santoso, Hartono, Bejo Sugiantoro, Mursyid Effendi, Eri irianto, Uston Nawawi, Yusuf Ekodono, Khairil Anwar, Jatmiko, dan Hendro Kartiko.

Dilansir dari Bola.com, keputusan Rusdy ini membuat Laskar Garuda saat itu disebut “Indonesia rasa Persebaya”. Namun melihat status Bajul Ijo yang sebelumnya adalah juara bertahan Liga Indonesia dan pemimpin klasemen wilayah barat saat Liga Indonesia 1998 dihentikan, maka keputusan Rusdy memanggil mayoritas pemain Persebaya terbilang sangat wajar.

Pada Piala AFF 1998, peserta yang ambil bagian hanya delapan negara saja. Hal ini disebabkan dengan adanya babak kualifikasi yang diikuti oleh enam negara di luar semifinalis pada turnamen sebelumnya.

Indonesia sendiri berada di grup A bersama Thailand, Myanmar, dan Filipina. Bima Sakti cs mengawali kompetisi dengan kemenangan 3-0 atas Filipina dan 6-2 melawan Myanmar. Dengan dua kemenangan, Indonesia memimpin klasemen dengan enam poin yang diikuti Thailand di posisi kedua dengan empat poin. Kedua kesebelasan akan bertemu di partai terakhir yang menentukan siapa juara grup.

Insiden yang Dikenang Selamanya

Sayangnya, laga yang seharusnya berjalan menarik, justru menunjukkan keanehan yang diperagakan kedua kesebelasan. Baik Indonesia dan Thailand bermain dengan tempo lambat dan tidak ada keinginan untuk meraih kemenangan. Babak pertama sendiri berakhir 0-0 karena kedua kesebelasan malas untuk menyerang.

Mereka sama-sama menghindari Vietnam yang di grup B memastikan diri sebagai runner-up. Dengan situasi seperti ini, Thailand hanya butuh hasil imbang sementara Indonesia harus kalah. Status tuan rumah dan takut terhadap tekanan pendukung menjadi alasan mereka tidak mau bertemu Vietnam.

Tensi laga sempat meninggi pada babak kedua. Miro Baldo Bento membuka keunggulan pada menit ke-52. Akan tetapi, Krisada Piandit menyamakan kedudukan 10 menit berselang. Tujuh menit jelang usai laga, Aji Santoso mencetak gol, sebelum disamakan oleh Therdsak Chaiman tiga menit kemudian.

Indonesia yang harus kalah jika ingin menghindari Vietnam kemudian melakukan tindakan yang memalukan. Mereka memainkan bola di kotak penaltinya sendiri dengan maksud untuk mencetak gol bunuh diri. Sebaliknya, penyerang Thailand berusaha menggagalkan upaya tersebut yang sayangnya sia-sia. Sementara di tribun, para penonton perlahan-lahan meninggalkan lapangan karena disuguhi Gajah alih-alih manusia yang bermain bola.

Pada menit ke-90, Mursyid Effendi, pemain belakang Indonesia menendang bola ke gawang Hendro Kartiko. Mirisnya, gol ini disambut dengan tepuk tangan dari Yusuf Ekodono. Usaha pemain Thailand untuk memulai kembali laga gagal karena wasit Lu Jun dari Cina telah meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. Indonesia sukses dengan misinya menghindari Vietnam.

Seolah terkena karma, dua kesebelasan ini sama-sama tersingkir di fase empat besar. Thailand kalah 3-0 sementara Singapura mengalahkan Indonesia 2-1. Ketika bertemu lagi di perebutan tempat ketiga, Indonesia menang 5-4 lewat drama adu penalti.

Lepas Tangan dan Mursyid yang Menjadi Terpidana

Dilansir dari FourFourTwo, hotel tempat tim Indonesia menginap mendapat demonstrasi dari para penduduk Ho Chi Minh yang daerahnya dijadikan tempat untuk melakukan sesuatu yang memalukan. Bahkan Tabloid Bola mendapat beberapa pesan berupa kecaman atas tindakan yang dilakukan para pemain Indonesia.

Seperti biasa, jika ada sebuah kejadian yang tidak masuk akal, maka banyak dari mereka yang lepas tangan alias tidak ada yang mau untuk bertanggung jawab. Kesalahan kemudian ditimpakan kepada satu orang saja yaitu Mursyid sebagai eksekutor.

Manajer timnas saat itu, Andrie Amin menolak dituduh sebagai pihak yang menyuruh Mursyid. Begitu juga Rusdy Bahalwan yang mengatakan kalau kejadian itu di luar kontrolnya. Bahkan Ketua Umum PSSI saat itu, Azwar Anas, terkesan membela tindakan tersebut meski kemudian ia tidak tahan dengan tekanan dan memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya tersebut.

Oleh AFC, Mursyid dihukum seumur hidup tidak boleh bermain sepakbola di semua level. Mursyid kemudian mendapat keringanan dengan hanya tidak boleh bermain di ajang internasional. Hingga usia kejadian tersebut menginjak 20 tahun, belum jelas siapa dalang dari kejadian ini.

“Tak lama setelah kejadian (bunuh diri), mereka masih memberikan dukungan dan siap bertanggung jawab. Tapi jarak sebulan, semuanya cuci tangan sementara pelaku menanggung ini semua seumur hidup. Pedih rasanya mengingat hukuman itu karena saya tidak pernah mendapat surat kalau saya benar-benar terhukum. Entah kepada siapa PSSI dan FIFA menyerahkan suraat tersebut. Bahkan anak saya masih sering ditanya mengenai gol bunuh diri bapaknya,” tutur Mursyid.

Firasat Fakhri Husaini

Kejadian yang dialami Mursyid seolah sudah diprediksi oleh Fakhri Husaini. Pria kelahiran Lhokseumawe ini sudah memprediksi kalau ada yang janggal dari persiapan mereka jelang Piala AFF. Fakhri sendiri memilih untuk tidak memperkuat timnas karena menemani istrinya yang harus melahirkan anak kedua.

“Situasi timnas di Piala Tiger 1998 berbeda dibanding 1996. Saya sudah merasakan suasana yang kurang kondusif sejak persiapan. Istri saya kebetulan sedang melahirkan anak kedua. Saya sadar membela negara adalah hal yang penting dibanding keluarga, tapi saya merasa hati saya tidak ingin membela timnas,” tuturnya dilansir dari CNN Indonesia.