Hingga 2014, Indonesia memang ditakdirkan untuk selalu gagal ketika berkiprah di Piala AFF. Dari 10 kali gelaran, prestasi terbaik mereka hanyalah empat kali menjadi yang terbaik kedua alias runner-up. Prestasi ini tentu saja harus diubah ketika mereka memasuki turnamen ke-11 pada 2016 lalu.
Akan tetapi, sepakbola Indonesia memasuki era yang kelam dalam rentang dua tahun tersebut. PSSI dibekukan oleh Menpora pada 17 April 2015 yang berujung kepada sanksi FIFA yaitu dibekukannya sepakbola Indonesia dari dunia internasional pada 30 Mei. Hal ini membuat timnas tidak bisa bermain di beberapa ajang seperti kualifikasi Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019. Liga mereka (QNB League) yang baru berlangsung tiga pertandingan, juga dihentikan.
Kompetisi lebih banyak diisi turnamen piala seperti Piala Jenderal Sudirman, Piala Bhayangkara, Piala Gubernur Kaltim, dan lain sebagainya. Sebagian pemain lainnya ada yang memilih main tarkam. Sampai pada akhirnya, PSSI membuat kompetisi tidak resmi bertajuk Indonesia Soccer Championship (ISC) per tanggal 29 April 2016.
Situasi sepakbola Indonesia yang tidak menentu membuat pelatih mereka saat itu, Peter Huistra, memilih kembali ke Belanda. Tidak ada uji coba internasional untuk timnas. Mereka juga terancam tidak bisa bermain di Piala AFF. AFF kemudian memberi tenggat waktu hingga 5 Agustus 2016. Jika pembekuan belum dicabut, maka timnas akan absen dari kejuaraan tersebut.
Kongres FIFA ke-66 pada 13 Mei 2016 menjadi titik balik sepakbola Indonesia. Pembekuan FIFA dicabut tiga bulan sebelum memasuki tenggat waktu. Hal ini membuat timnas Indonesia bisa mengikuti Piala AFF yang akan digelar di Myanmar dan Filipina.
Alfred Riedl dan Tantangan Dua Pemain per Klub
Untuk mempersiapkan diri, PSSI kemudian mencari tiga kandidat untuk mengisi kursi kepelatihan timnas. Nilmaizar, Indra Sjafri, dan Rahmad Darmawan dipanggil untuk mengikuti tes kelayakan mereka sebagai pelatih. Akan tetapi, dari tiga nama tersebut, tidak ada satupun yang terpilih sebagai pelatih anyar timnas. Justru sosok Alfred Riedl yang kembali diumumkan menjadi pelatih timnas di Piala AFF.
Sebelumnya, Alfred menangani PSM Makassar. Akan tetapi, kompetisi yang tidak tuntas dan masalah kesehatan, membuat ia memilih untuk beristirahat dulu sebelum mengambil jabatan yang kosong di timnas untuk keempat kalinya. “Saya masih punya utang dengan penampilan mereka di Piala AFF 2014,” tuturnya
Akan tetapi, Alfred lagi-lagi menemui kendala saat menangani timnas. Kompetisi ISC yang masih berjalan, membuat ia kesulitan memanggil para pemain-pemain terbaiknya. AFF sendiri digelar pada 19 November yang bertepatan dengan pekan ke-29 kompetisi ISC. Mengakhiri ISC tentu menjadi sebuah kerugian mengingat kesebelasan sudah mengeluarkan banyak uang dan sudah mendekati akhir kompetisi.
Kesepakatan akhirnya dibuat. Alfred hanya diperkenankan memanggil dua pemain saja per masing-masing klub. Keputusan ini menuntut mantan pelatih Vietnam ini untuk cermat mencari pemain yang tepat. Pembatasan dua pemain per klub membuat Alfred terpaksa meninggalkan pemain-pemain yang sebenarnya layak dipanggil tim nasional saat itu seperti Adam Alis, Rasyid Bakrie, Kim Kurniawan, dan Samsul Arif.
Target pun mengalami revisi. Alfred, yang sebelumnya menargetkan juara, justru mengubah targetnya menjadi sekedar mencapai semifinal.
“Kekuatan kami hanya 80 persen karena kami tidak bisa mendapatkan pemain-pemain terbaik tiap posisinya. Kami mencari alternatif di antara yang terbaik. Sulit memang ketika mengetahui pemain lebih senang membela klub daripada negaranya,” ujarnya.
Setelah 23 nama terpilih, masalah belum kunjung reda. Irfan Bachdim mendapat cedera setelah terkena tekel Hansamu Yama dalam sesi latihan. Irfan harus keluar dan digantikan Muchlis Hadi Ning Syaifulloh.
Grup Berat dan Pertandingan Berat
Indonesia berada di grup yang sulit bersama Thailand, Singapura, dan Filipina. Hal ini disebabkan posisi mereka yang ditempatkan pada pot keempat alias terakhir karena baru selesai dari masa pembekuan. Mencapai semifinal tentu menjadi pekerjaan sulit mengingat tiga kesebelasan tersebut memiliki persiapan yang jauh lebih baik.
Benar saja, Indonesia kalah pada pertandingan pertama melawan Thailand dengan skor 4-2. Sempat menyamakan 2-2, lini belakang timnas kemudian tidak bisa membendung ketajaman seorang Teerasil Dangda.
Pada pertandingan kedua, gol Philip Younghusband delapan menit sebelum pertandingan usai, membuyarkan keunggulan 2-1 Indonesia. Hasil ini tentu membuat langkah Indonesia menjadi sulit. Mereka harus menang di laga terakhir melawan Singapura dengan catatan Filipina kalah dari Thailand.
Butuh kemenangan, Indonesia justru tertinggal melalui Khairul Amri. Bayang-bayang hasil 2012 dan 2014 kembali membayangi timnas. Beruntung, Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly membalikkan keadaan dan membawa Indonesia menang 2-1. Hasil tersebut membawa mereka ke semifinal mengingat gol Sarawut Masuk membawa Thailand mengalahkan Filipina.
Target awal berhasil dipenuhi. Tidak ada salahnya untuk mengincar gelar juara karena timnas akan bermain home and away di semifinal. Timnas akan mendapat dukungan dari para pendukungnya. Akan tetapi, mereka terlebih dahulu harus mengalahkan Vietnam yang memiliki rekor sempurna di babak grup.
Stadion Pakansari bergemuruh saat sundulan Hansamu Yama membuka keunggulan. Akan tetapi, Nguyen van Quyet menyamakan kedudukan melalui penalti. Penalti pula yang membawa Indonesia punya modal 2-1 di leg kedua setelah sepakan Boaz meluncur mulus ke gawang Vietnam.
Leg kedua di My Dinh National Stadium berjalan sangat sengit. Indonesia mendapat gempuran sejak peluit awal dibunyikan. Akan tetapi, Indonesia terlebih dulu mendapat gol melalui Stefano Lilipaly melalui kemelut di depan mulut gawang Nguyen Tran Manh. Sang penjaga gawang sendiri kemudian diusir wasit Fu Ming 15 menit sebelum akhir pertandingan karena menendang Bayu Pradana.
Akan tetapi, Indonesia justru lengah. Gol Vu Van Thanh dan Vu Min Tuan dalam kurun tujuh menit memaksa laga dilanjut ke perpanjangan waktu. Perjuangan timnas akhirnya membuahkan hasil setelah penalti Manahati Lestusen membawa agregat menjadi 4-3 sekaligus menggiring Indonesia bertemu Thailand di partai puncak.
Dukungan publik yang memadati Pakansari dimanfaatkan betul oleh tim nasional. Sempat tertinggal melalui sundulan Dangda, sepakan Rizky Pora yang berbelok arah mengubah kedudukan menjadi 1-1. Sundulan Hansamu Yama, yang sebelumnya menjadi musuh publik karena insidennya dengan Irfan Bachdim, membawa Indonesia menang 2-1.
Optimisme melambung cukup tinggi. Sayang, gelar yang diimpikan kembali hanya menjadi angan-angan. Bermain di Rajamangala pada leg kedua, Indonesia takluk 0-2 lewat gol yang semuanya diborong oleh Siroch Chatthong yang membuat agregat 3-2 untuk negeri Gajah Putih.
Untuk kelima kalinya Indonesia kembali hanya menjadi yang kedua. Sebuah rekor yang cukup miris untuk negara yang menjadi penggagas turnamen tersebut. Akan tetapi, kegagalan pada 2016 nampak tidak terlalu menyakitkan mengingat Indonesia saat itu baru saja lepas dari pembekuan dari FIFA.