Kegagalan Indonesia pada Piala AFF 2007 menjadi akhir dari petualangan seorang Peter Withe sebagai pelatih tim nasional. Tersingkir karena hanya menempati peringkat ketiga grup, dan ruang ganti yang tidak kondusif, membuat PSSI mau tidak mau harus memecat Peter Withe. Sebuah akhir yang tragis karena tiga tahun sebelumnya, ia bisa membawa tim ini sampai ke final.
Bagi publik tanah air, Peter Withe mungkin bukan seorang pahlawan. Namun bagi publik Birmingham, khususnya penggemar Aston Villa, sosok Peter adalah pahlawan sekaligus legenda bagi mereka. Tanpa kakek yang sekarang berusia 68 tahun tersebut, mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya mengangkat trofi sekelas Piala Champions.
Hanya ada lima klub Inggris yang bisa menjadi juara Piala/Liga Champions dan Aston Villa adalah salah satunya. Momen bersejarah ini terjadi pada musim 1981/1982. Ketika itu, mereka mengalahkan raksasa Jerman, Bayern Munich, dengan skor 1-0 dengan Peter sebagai pencetak satu-satunya gol dalam pertandingan tersebut pada menit ke-67.
Tidak banyak yang menyangka kalau Aston Villa bisa meraih piala tersebut. Hal ini tidak lepas dari fakta kalau tujuh tahun sebelumnya mereka masih bermain pada Divisi Dua. Bahkan setelah promosi sekalipun, prestasi tertinggi Villa hanya menempati urutan keempat. Terlalu jauh rasanya untuk berpikir kalau The Villans bisa menjadi juara Piala Champions suatu hari nanti.
Layaknya kisah dongeng, hal itu benar-benar terjadi. Semua diawali dari keberhasilan mereka menjadi juara Liga Inggris pada 1980/1981. Bersama Ron Saunders, Villa berhasil memutus puasa gelar liga mereka yang sudah berlangsung 71 tahun. Sebelumnya, Ron juga membawa Villa menjadi juara Piala Liga dua kali yaitu pada 1975 dan 1977.
Keberhasilan mereka menjadi juara liga membawa mereka tampil di Piala Champions untuk pertama kalinya. Sebelumnya, turnamen Eropa yang pernah dijajaki oleh Aston Villa adalah Piala UEFA. Inilah yang membuat pencapaian mereka begitu mencengangkan.
Namun, untuk mencapai itu semua, Villa menghadapi banyak sekali tantangan. Penampilan mereka di liga domestik musim 1981/1982 tidak sebagus musim sebelumnya. Posisi mereka turun sepuluh tingkat dari sebelumnya. Keadaan ini diperparah dengan mundurnya Ron Saunders pada bulan Februari dari kursi kepelatihan akibat konflik dengan petinggi klub soal kontraknya.
“Jika saya bekerja untuk mengelola sebuah klub sepakbola, maka saya bukanlah seorang pekerja kantoran,” kata Saunders seperti dikutip dari Guardian.
Hengkangnya Saunders dikhawatirkan bisa mengganggu perjalanan Villa yang saat itu sudah melangkah hingga babak perempat final Piala Champions (Villa menyingkirkan Valur dan Dyamo Berlin pada babak pertama dan kedua). Asisten Saunders, Tony Barton, kemudian mengambil alih peran sebagai pelatih. Masalah sebenarnya tidak berhenti sampai di situ. Ketika bersiap menghadapi Dynamo Kyiv di Ukraina, tuan rumah memajukan sepak mula dua jam lebih cepat demi siaran TV.
Beruntung hal itu tidak memberikan pengaruh signifikan. Pada leg pertama mereka berhasil menahan imbang Kiev dengan skor tanpa gol. Ketika laga dimainkan di Villa Park, Villa berhasil mengalahkan mereka dengan skor 2-0 melalui gol Gery Shaw dan Ken McNaught.
Mereka sempat menemui kesulitan ketika menghadapi Anderlecht pada babak semifinal. Wakil Belgia tersebut memiliki gaya main defensif yang sangat kuat dan berbahaya dalam serangan balik. Villa hanya mampu menang 1-0 melalui gol Tony Morley pada leg pertama sebelum menahan imbang mereka tanpa gol ketika bertandang ke Belgia.
Melawan Bayern Munich di final, sudah pasti membuat Villa tidak diunggulkan. Bayern asuhan Pal Csernai saat itu berisi pemain-pemain top langganan timnas Jerman seperti Paul Breitner, Hans Wreiner, hingga mesin gol Karl-Heinz Rummenigge. Bahkan Bayern beberapa kali membuat peluang berbahaya yang bisa menghasilkan gol. Sangat disayangkan karena banyak dari penyelesaian akhir mereka yang kurang tenang dan penampilan Nigel Spink di bawah mistar Aston Villa, menggantikan Jimmy Rimmer pada menit kesembilan, juga sangat luar biasa.
Gol Villa hadir melalui skema serangan yang cukup rapi. Dennis Mortimer memberikan bola kepada Gary Shaw yang bergerak ke sisi kiri. Melakukan gerak tipu, ia kemudian memberikan umpan kepada Tony Morley. Winger kiri tersebut mengirimkan umpan kepada Peter Withe yang tidak terkawal. Sebuah tap-in tidak bisa digagalkan oleh Manfred Muller. Gol yang disambut riuh 13 ribu pendukung Aston Villa yang hadir di De Kuip.
“Saya mencetak gol dengan setengah kaki saya menendang bola sementara setengah lainnya menyentuh tulang kering saya,” ucap Peter ketika membahas gol bersejarahnya sepanjang karier bersama Villa.
Kemenangan ini tidak hanya bersejarah bagi Aston Villa, melainkan juga untuk sepakbola Inggris. Aston Villa meneruskan dominasi klub-klub Inggris menjadi juara Piala Champions sejak Liverpool menjadi juara pada 1977, 1978, dan 1981, serta Nottingham Forrest pada 1979 dan 1980. Selain itu, Barton juga menjadi juara Eropa meski baru menjabat selama kurang dari dua bulan.
Sensasi Aston Villa tidak berhenti sampai di situ. Setelah mereka menjadi juara Liga Champions, mereka kembali merebut lambang supremasi Eropa dalam wujud Piala Super Eropa. Bertanding dua leg melawan juara Piala Winners, Barcelona, Villa menang dengan agregat skor 3-1. Akan tetapi, mereka tidak bisa melengkapi dua raihan tersebut dengan menjadi juara Piala Interkontinental setelah kalah 2-0 dari wakil Uruguay, Penarol.
Hanya dalam tiga musim, Villa mendapatkan gelar liga, Piala Champions, dan Piala Super secara beruntun. Akan tetapi, itulah awal sekaligus akhir dari kejayaan Aston Villa di Inggris maupun di Eropa. Tiga tahun kemudian, prestasi mereka melorot drastis. Puncaknya terjadi ketika sang juara Eropa terdegradasi pada 1986/1987. Selepas kesuksesan tersebut, Villa hanya menambah dua gelar dalam bentuk Piala Liga saja.
Dalam perjalanan selanjutnya, Villa tidak bisa lagi membuat kejuta seperti pada 1982. Mereka justru lebih sering menjadi langganan tim papan tengah-bawah dan sempat terdegradasi sebelum kembali promosi pada musim ini.
Masa, kini sudah berganti. Kejayaan Aston Villa menjadi juara Eropa hanya bisa dikenang oleh para pendukungnya. Mereka akan terus mengagumi sosok Peter Withe, Dennis Mortimer, dan Gary Shaw sembari berharap untuk melihat hal serupa akan terjadi lagi suatu saat nanti.
***
Untuk mengenang momen tersebut, pihak klub memasang kutipan komentator pertandingan saat itu, Brian Moore, pada salah satu tribun mereka. Penggalan komentar dari Moore saat itu berbunyi:
“Shaw, Williams, prepared too venture down the left. There’s a good ball in for Tony Morley. O, it must be and it is! It’s Peter Withe.