Tahun 2002 merupakan ulang tahun ke-100 Real Madrid. Presiden klub Florentino Perez yang baru terpilih dua tahun sebelumnya memutuskan perayaan harus jadi sesuatu yang belum pernah ada. Copa del Rey menjadi target. Meski sebagai klub raksasa Eropa mereka selalu mengidentifikasi diri dengan trofi Liga Champions, tapi kali ini piala domestik tersebut menjadi salah satu prioritas klub.
Bahkan, Perez telah melobi federasi Spanyol agar pertandingan final dimainkan tepat pada hari ulang tahun klub yang ke-100, 6 Maret 2002. Padahal, biasanya ini jadi laga terakhir musim di Spanyol. Tapi demi keinginan Madrid, seluruh jadwal turnamen pun dimajukan. Tak hanya itu, El Real juga berhasil mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah, sehingga tugas mereka hanya memastikan lolos ke final.
Menuju Final
Ketika musim dimulai, Direktur Olahraga Jorge Valdano memaksa pelatih Vicente Del Bosque untuk main dengan starter normal di setiap pertandingan Copa del Rey, agar mereka bisa mengamankan tempat di final. Mereka juga punya modal tim penuh bintang Galactico; sejak dimulainya era Perez mereka telah mendatangkan Luis Figo dari Barcelona, disusul Zinedine Zidane, dan lalu Ronaldo.
Entah mungkin nasib yang juga berpihak pada Madrid, turnamen itu pun benar-benar tampak seperti sebuah prosesi bagi mereka, setelah tim-tim besar berjatuhan dalam kondisi yang aneh. Barcelona yang dilanda krisis ditundukkan oleh klub Segunda B, UE Figueres. Lalu, Valencia asuhan Rafa Benitez membuat kesalahan fatal dengan memasukkan pemain ilegal sehingga didiskualifikasi dari turnamen.
Rival Los Merengues di final pada akhirnya adalah Deportivo La Coruna, yang juga mengalami masa-masa sulit. Sang lawan pun bisa melenggang ke final dengan perjalanan yang aneh. Mereka lolos ke perempat final setelah lawan, L’Hospitalet menolak main di lapangan pengganti. Lalu, Real Valladolid disingkirkan lewat extra time, sebelum hanya mengalahkan Figueres dengan tipis di babak semifinal.
Tegangan Tinggi
Meskipun perjalanannya kurang meyakinkan ke final, namun Deportivo tetap punya tawaran yang serius. Mereka belum jauh dari era keemasannya setelah memenangkan La Liga 1999/2000 dan jadi runner-up setelahnya. Brancoazuis juga masih memiliki beberapa talenta, seperti Djalminha, Mauro Silva dan Juan Carlos Valeron hingga Diego Tristan. Mereka pun berangkat ke Santiago Bernabeu.
Ketika pertandingan dimulai, pasukan Javier Irureta langsung membangun tempo tinggi, tanpa henti menyerang gawang tim tuan rumah. Bahkan, mereka langsung melakukan tekel setiap kali pemain Madrid mencoba menguasai bola. Hasilnya, klub Galicia itu sukses mencetak gol cepat saat laga baru berjalan lima menit, lewat tendangan Sergio setelah melakukan kombinasi cerdas dengan Tristan.
Gol itu semakin meningkatkan ketegangan bagi Madrid, yang membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa melawan dominasi Silva di tengah dan imajinasi Fran di samping. Pergerakan Tristan yang selalu berbahaya di depan pun berhasil menggandakan keunggulan Deportivo, berkat umpan matang dari Valeron. Mereka akhirnya bisa memasuki ruang ganti untuk beristirahat dengan skor sementara 0-2.
Sayangnya, babak kedua berjalan berbeda, Deportivo mulai kehilangan kendali. Terutama setelah masuknya Santiago Solari yang memberikan kekuatan baru bagi Madrid. Berselang 13 menit, Raul Gonzales mampu memperkecil ketertinggalan tim dengan golnya yang berawal dari assist Fernando Morientes. Namun, setelah itu tak ada lagi gol tercipta, dan Deportivo mengklaim kemenangan 1-2.
Pesta yang Gagal
Ketika peluit akhir berbunyi, bek kanan Deportivo asal Argentina, Lionel Scaloni mengambil bola dan menendangnya tinggi-tinggi ke tribun. Kemenangan itu menimbulkan dampak besar di media, tidak hanya di Spanyol tetapi di seluruh dunia.
“Saya pikir Anda dapat mengatakan 6 Maret 2002 akan jadi tanggal yang luar biasa dalam sejarah olahraga kota A Coruna,” ucap reporter Xose Pereiro di TVE1.
“Piala ini tak seperti piala lain. Ini adalah piala 100 tahun Madrid,” kata Presiden Deportivo, Augusto Cesar Lendoiro. Efeknya pun berlanjut, hingga starting line-up yang sama berhasil menghancurkan Arsenal lima hari kemudian. Thierry Henry, Robert Pires, Patrick Vieira dan Dennis Bergkamp tak mampu menahan penampilan yang hingga kini dikenang sebagai salah satu puncak Super Depor.
Sementara Madrid juga bangkit, dan trofi Liga Champions jadi obatnya di akhir musim. Tendangan voli ikonik Zidane jadi momen peringatan 100 tahun klub saat itu. Namun, dunia sepakbola tak akan pernah lupa dengan pesta ulang tahun terbesar sepanjang masa yang direbut Deportivo. Itulah gelar Copa del Rey kedua bagi mereka dalam dua kesempatan masuk ke partai final, setelah 1994/1995.
Dua dekade kemudian, kenangan ini pun disebut dengan Centenariazo. Julukan ini diambil dari nama perayaan 100 tahun Real Madrid, Centenario, digabung dengan istilah Maracanazo, yang sebelumnya telah digunakan untuk menjuluki kegagalan timnas Brasil meraih Piala Dunia 1950 di kandang sendiri.
Sumber: Futbol Eslaleche, Deportivo La Coruna, Mundo Deportivo