Ketika Swastika Berkibar di White Hart Lane

Foto: NPR.org

Sepakbola akan selalu dekat dengan politik, bagaimanapun caranya. Sebuah klub bahkan bisa dipaksa kehilangan identitas, ciri, bahkan wujud, apabila politik masuk, dan mengubah klub sesuai dengan kebutuhan politik dan kepentingan kelompok tertentu.

Tottenham Hotspur sangat identik dengan White Hart Lane, rumah Spurs yang terletak di bagian utara London. Selain itu, Spurs memiliki identitas kuat sebagai klub Yahudi, didirikan dan didukung oleh komunitas Yahudi di London Utara dan Barat, Spurs merupakan representasi kaum Yahudi tidak hanya di London, namun juga di Inggris.

Di Perang Dunia II, Yahudi menjadi musuh utama kala Hitler menguasai Jerman, dan melakukan invasi di Eropa. Tujuan menguasai dan nafsu besar menyingkirkan Yahudi adalah ambisi Hitler, Logo Swastika yang dibawa Hitler adalah perwujudan yang masih traumatik bagi sebagian besar penduduk Dunia.

Namun, Desember 1935, Swastika pernah berkibar di atas White Hart Lane dengan gagahnya. Tentu berkibarnya Swastika sangat mengandung muatan politis nan kontroversial, lalu bagaimana dua hal yang kontradiktif bisa menyatu ketika Logo Swastika berkibar gagah di atas markas kesebelasan yang kuat dengan unsur Yahudi?

Benito Mussolini dan kendaraan politik bernama sepakbola

Fasisme menjamur pada 1930-an. Tokoh utamanya? Anak petani miskin dari pinggiran Italia, Benito Mussolini. Ia maju menjadi Perdana Menteri dengan menggunakan partai Fasis Italia.

Cara yang digunakan Mussolini untuk merebut perhatian masyrakat Italia adalah dengan menggunakan propaganda dan disparitas antar kelas yang lebar. Mussolini juga menggunakan kendaraan lain untuk menarik perhatian: klub sepakbola.

Sepakbola selalu menjadi olahraga yang menarik, ditonton ribuan orang di manapun levelnya. Berdirinya AS Roma tidak lepas dari program Mussolini untuk menjalankan propaganda fasisme. Hasilnya, sukses. Mussolini mampu membuat Italia terhipnotis dengan teori yang dikemukakan Mussolini. Alasan lain mengapa sepakbola adalah menunjukkan salah satu program propaganda yang menunjukkan superioritas Italia dibanding bangsa lain.

Fasisme meluas hingga Jerman. Hitler tertarik dengan “inovasi” yang dilakukan oleh Mussolini dan bertekad membawanya ke Jerman. Ambisi Hitler bahkan lebih besar, ia ingin menaklukkan Eropa dan membuat Jerman mendominasi Dunia. Hitler menggunakan propaganda serupa. Superioritas Bangsa Arya dikumandangkan lantang di Jerman. Tidak lupa, ia menyalahkan ras yang dominan akan kekalahan Jerman di Perang Dunia I, dalam hal ini Bangsa Yahudi di Jerman.

Yahudi diperlakukan khusus dan tidak manusiawi. Semua orang Yahudi wajib menggunakan penanda untuk menunjukkan jati diri mereka. Tidak berhenti di sana. Klub-klub Yahudi Jerman dilabeli “Juden Klub” dan hak mereka berkompetisi dikebiri. Beberapa bahkan dibuat bangkrut karena terbatasnya fasilitas untuk Juden Klub.

Jerman dan Italia membentuk sebuah kubu dengan tekad yang sama di Eropa. Aliansi keduanya membuat negara Eropa dalam kondisi siap berperang. Situasi memanas, seolah hanya butuh waktu untuk membuat Perang Dunia kembali pecah.

United Kingdom, dalam posisi netral. Mereka berharap bisa mendinginkan dan mendamaikan situasi di Eropa. Hitler melihat peluang untuk melakukan propaganda. Didukung Aliansi Sosialis di UK, Inggris melakukan pertandingan persahabatan dengan Jerman. Lokasinya? White Hart Lane.

Kontroversi menyeruak. Pro dan kontra muncul, mengingat apa yang dilakukan Hitler di Jerman kepada Yahudi, membuat rakyat Inggris menolak, terkhusus supporter Tottenham Hotspur yang mayoritas Yahudi. Namun pertandingan tetap dilakukan di Whiter Hart Lane pada 4 Desember 1935.

Perdamaian dan gagal, propaganda yang berhasil

Beberapa surat kabar di Inggris sempat menyerukan pandangan yang positif mengenai pertandingan ini. Mereka secara kompak menyebut bahwa Inggris harusnya menikmati pertandingan ini, Jerman adalah negara dengan sepakbola yang berprestasi, “England for England” adalah seruan yang dilakukan surat kabar tersebut.

Protes bermunculan di seluruh London diinisiasi oleh Yahudi di bagian utara dan barat. Mereka menyerbakan selebaran mengenai keburukan Jerman. Pertandingan tetap berjalan dan bahkan direkam. Britsh Pathe kemudian memberikan judul film pertandingan tersebut dengan nama “You can always tell a good Nazi by his cap”.

Inggris menang 3-0 atas Jerman. Saat itu Swastika berkibar di bagian kanan Tribun Timur White Hart Lane. Insiden sempat terjadi ketika Ernie Wolly, seorang tukan kayu dan suporter Spurs, memotong tiang bendera di mana Swastika berkibar. Ernie ditangkap dan tanpa rasa takut ia berujar “Nazi dan Swastika tidak boleh berkibar di negeri ini”.

Meskipun kemenangan didapat Inggris, namun Jerman sukses mendapatkan yang mereka inginkan. Setahun setelahnya, Olimpiade 1936 digelar di Jerman. Yang dikenal dengan Nazi Olympic, pasalnya setiap peserta harus melakukan penghormatan ala Nazi. Banyak peserta yang mundur, namun tidak dengan United Kingdom yang mengirimkan kontingen mereka.

Inggris dan Jerman kembali bertemu pada 14 Mei 1938 dalam laga persahabatan di Stadion Olimpic Berlin, hanya dua bulan pasca Neville Chamberlain selaku Perdana Menetri, menyatakan damai dengan Inggris dan menolak bergabung dengan aliansi yang dibangun Italia-Jerman-Jepang. Dan berselang dua bulan dari invasi tantara Jerman ke Austria. Ironisnya, Inggris harus melakukan Nazi Salute seperti yang dilakukan Jerman.

Gambar Inggris melakukan hormat kepada Swastika menjadi headline di seluruh media massa di UK. Mereka menyebut hal yang memalukan bagi Inggris. Meskipun menang 3-6 atas Jerman, tidak ada satupun media yang membahas kemenangan tersebut. Semua fokus kepada Nazi Salute yang dilakukan pemain Inggris.

Kurang dari 12 bulan usai pertandingan persahabatan tersebut, Inggris dan Jerman berperang di PD II, sebuah perang yang berlangsung hingga 1945. Dan seperti yang diketahui, Jerman kalah dari Sekutu. Hitler dan Mussolini tewas dengan cara mengenaskan.

Jerman dan Italia menggunakan sepakbola sebagai propaganda meraih suara dan dukungan di PD II, namun Inggris pun tidak jauh berbeda, hingga kini sepakbola menjadi alat dan kendaraan politik paling nyaman dan efektif di seluruh dunia.