Liverpool dan Kenangan Buruk Piala Dunia Antarklub 2005

Kemenangan 2-0 melawan Watford membuat Liverpool nyaman pada posisi pertama klasemen Liga Inggris. Mereka bahkan berhasil memperlebar jarak menjadi sepuluh poin setelah pesaing mereka Leicester City ditahan imbang 1-1 oleh Norwich. Hasil ini membuat mereka bisa sedikit melupakan kerasnya persaingan Premier League dan memindahkan fokus mereka di Qatar untuk mengikuti Piala Dunia Antarklub.

Liverpool akan bermain pada babak semifinal yang berlangsung Kamis (19/12) dini hari waktu Indonesia. Lawannya adalah wakil dari Concacaf yaitu Monterrey. Kesebelasan asal Meksiko tersebut berhasil mengalahkan tuan rumah Al-Sadd dengan skor 3-2. Pemenang dari laga ini akan bertemu dengan pemenang antara wakil Conmebol yaitu Flamengo yang berhadapan dengan pemenang Liga Champions Asia, Al-Hilal yang bermain sehari sebelum laga Liverpool.

Sempat diwarnai berbagai masalah, mulai dari isu tidak adanya turnamen tahun 2019 dan jadwal yang bertabrakan dengan pertandingan Piala Liga, namun Liverpool nampaknya sudah siap untuk mengikuti turnamen ini. Mereka sudah membagi skuad mereka untuk dua ajang tersebut dengan mayoritas pemain inti akan bermain di Qatar.

Beberapa media memberitakan kalau Jurgen Klopp nampak santai menghadapi ajang ini. Bahkan mereka memberikan kesan kalau The Reds tidak serius. Namun melihat komentar yang dikeluarkan klub pada November lalu, juara enam kali Liga Champions ini nampak serius untuk mengincar gelar ini.

“Saya bukan seseorang yang harus memenangkan Piala Dunia antar klub bersama Liverpool. Tapi ketika kami berada di sana, kami akan berjuang dengan semua yang kami miliki,” tuturnya kala itu.

Liverpool perlu untuk mengincar gelar ini. Pasalnya, inilah satu-satunya gelar yang belum pernah mereka dapatkan untuk ajang antar benua. Bahkan ketika turnamen ini masih bernama Intercontinental Cup, mereka juga selalu gagal. Pada 1981, mereka takluk dari Flamengo dengan skor 3-0. Tiga tahun kemudian, giliran Independiente dengan skor 1-0.

“Ajang ini sangat spesial karena Anda bermain melawan kesebelasan dari negara-negara berbeda. Jadi ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Anda tidak selalu mendapatkan pengalaman seperti ini. Butuh perjalanan panjang untuk bisa sampai ke sini dan ini adalah trofi yang besar, trofi yang sangat penting. Ini adalah kesempatan untuk membawa trofi ini ke Liverpool,” kata Xherdan Shaqiri yang sudah pernah menjadi juara bersama Bayern Munich.

Kilas Balik 2005

Turnamen Piala Dunia Antarklub 2019 merupakan partisipasi kedua Liverpool sepanjang sejarah. Yang pertama terjadi pada tahun 2005 atau ketika turnamen ini menggelar edisi pertamanya di Jepang. Saat itu, FIFA memutuskan untuk melebur kompetisi Club World Championship yang hanya digelar pada tahun 2000 dan Piala Interkontinental dengan mengubah namanya menjadi Piala Dunia Antarklub.

Liverpool lolos ke ajang tersebut setelah menjadi juara pada Liga Champions 2004/05. Mereka berhasil mengalahkan AC Milan dalam final paling dramatis sepanjang sejarah Liga Champions. Edisi pertama diikuti oleh enam tim. Selain Liverpool, ada Al-Ittihad, Al Ahly, Deportivo Saprissa, Sydney FC, dan Sao Paulo.

Anak-anak asuh Rafael Benitez tersebut mengawali turnamen dengan langsung masuk semifinal dan menantang Deportivo Saprissa. Wakil Kosta Rika tersebut berhasil mengalahkan Sydney FC. Bermain di International Stadium di kota Yokohama, Rafa menurunkan beberapa pemain terbaiknya seperti Pepe Reina, John Arne Riise, Xabi Alonso, dan Steven Gerrard.

Bomber jangkung, Peter Crouch, langsung membuka keunggulan pada menit ke-3 melalui sepakan vol yang mengarah ke pojok gawang Porras. Setengah jam kemudian, giliran Steven Gerrard yang mencetak gol. Prosesnya sama seperti Crouch yaitu sepakan voli. Dua gol ini juga tidak lepas dari andil John Arne Riise yang bermain baik saat itu.

Crouch menutup kemenangan Liverpool pada babak kedua. Kesalahan lini belakang Saprissa dimanfaatkan mantan pemain Southampton tersebut untuk menutup kemenangan menjadi 3-0 dan membawa mereka melangkah ke final.

Lawan Liverpool di final adalah Sao Paulo yang sukses mengalahkan Al-Ittihad dengan skor 2-3. Beberapa rotasi dilakukan Rafa pada pertandingan tersebut seperti tidak memainkan John Arne Riise dan Peter Crouch, bintang mereka pada laga semifinal. Lini depan diberikan kepada Fernando Morientes yang didukung oleh Harry Kewell dan Luis Garcia.

Akan tetapi, justru wakil Brasil tersebut yang membuka keunggulan. Mineiro berhasil memanfaatkan lemahnya penjagaan Sami Hyppia untuk menerima bola dari Marcio Amoroso. Ia dengan tenang mengecoh Pepe Reina.

Setelah gol tersebut, Liverpool terus melepaskan ancaman ke gawang Rogerio Ceni. Sayangnya, mereka tidak beruntung. Mereka punya dua peluang yang membentur mistar. Parahnya lagi, ada tiga gol yang dianulir oleh wasit Benito Archundia asal Meksiko.

Situs LFCHistory bahkan menulis kalau Luis Garcia seharusnya bisa mencetak empat sampai lima gol pada pertandingan ini seakan-akan menegaskan kalau mereka benar-benar tidak beruntung pada pertandingan tersebut. Skor 1-0 bertahan dan Liverpool meneruskan tren negatif mereka yang selalu kalah di Jepang.

Rafa Benitez menyimpan kekesalan yang mendalam atas pertandingan ini. Bahkan ia menyindir lawannya yang seolah-olah tidak mencerminkan kualitas sepakbola Brasil. Namun protes tidak ada gunanya karena Liverpool tetap menjadi pihak yang kalah.

“Saya hanya bisa mengatakan selamat kepada pemain yang seharusnya pantas memenangi laga ini. Ada 21 tembakan, 17 sepak pojok, dua kali peluang membentur tiang, dan tiga gol dianulir. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menang,” katanya.

“Kami pantas menang. Bisa lihat kalau Lugano seharusnya terkena kartu merah. Selain itu, mengapa tambahan waktunya hanya tiga menit disaat saya merasa kami pantas mendapatkan lima menit. Gol Sinama-Pongolle itu bersih. Kami pantas menang dan Anda biasanya tidak melihat tim dari Brasil bermain bertahan seperti hari ini.

***

Bayang-bayang kekalahan seniornya pada 2005 bukan tidak mungkin masih mempengaruhi Sadio Mane dan kawan-kawan jelang laga menghadapi Moterrey. Namun jika membandingkan kualitas tim 2005 dengan 2019, maka mereka nampaknya akan menutup 2019 dengan gelar ini. Tim 2005 bermasalah dengan konsistensi. Berbeda dengan skuat Jurgen Klopp sekarang yang seolah sulit sekali untuk dihentikan siapa pun lawannya.

Jika semifinal ini bisa dilalui, maka peluang mereka untuk mendapat trofi ini untuk pertama kalinya semakin terbuka. Jordan Henderson jelas berambisi untuk menjadi kapten pertama yang bisa mengangkat empat gelar prestisius secara beruntun. Dimulai dari Liga Champions, Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, dan ditutup oleh gelar Premier League pada bulan Mei mendatang.