Piala Dunia 1930 di Amerika Latin, 1934 di Eropa, maka sejatinya Piala Dunia 1938 atau edisi ketiga akan digelar di Amerika Selatan. Hal ini membuat beberapa negara seperti Argentina dan Uruguay berambisi untuk menjadi tuan rumah lagi. Akan tetapi, FIFA justru memberikan mandat kepada Prancis. Keputusan ini sontak mengecewakan Argentina yang akhirnya memutuskan menarik diri dari turnamen.
Selain itu, Piala Dunia 1938 juga diwarnai dengan gangguan Perang. Beberapa negara pun menolak tampil seperti Spanyol yang terlibat perang saudara. Sementara Austria mendapat kesialan karena wilayahnya dikuasai Jerman begitu juga para pemain-pemainnya. Sementara Jepang tidak bisa ikut karena persiapan Perang Dunia Kedua.
Format turnamen kali ini pun tidak jauh berbeda dari pegelaran sebelumnya. Pada 1938, tuan rumah dan juara bertahan langsung lolos ke putaran final. Sementara format kompetisi masih menggunakan sistem gugur dan pertandingan ulang apabila hingga 120 menit belum ada yang memenangi pertandingan.
Indonesia di Piala Dunia 1938
Mundurnya beberapa negara memberikan berkah tersendiri bagi mereka yang tidak terlibat konflik. Kuba menjadi satu-satunya wakil tunggal dari Amerika Utara/Tengah karena yang lain mengundurkan diri. Sementara itu, untuk pertama kalinya Asia menyumbangkan satu negara yang saat itu diwakilkan oleh Indonesia.
Indonesia saat itu masih bernama Hindia Belanda karena masih menjadi daerah koloni mereka. Lagu kebangsaan mereka pun masih lagu kebangsaan Belanda Het Wilhelmus. Jadinya dua kali Het Wilhelmus menggema mengingat Belanda juga lolos ke putaran final.
Skuat asuhan Johannes Mastenbroek ketika itu membawa 17 pemain dan berangkat menggunakan kapal MS Johan van Oldenbarnevelt. Mereka berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok menuju Rotterdam sebelum merapat ke Paris. Perjalanan ini membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan. Tan Mo Heng dkk menginap di hotel Duinoord di kota Wassenaar.
Untuk mencegah adanya kecurangan, Jules Rimet saat itu memilih Yves sang cucu untuk mengundi pertandingan yang akan dihadapi para peserta. Tangan Yves saat itu mempertemukan Indonesia melawan Hungaria di perdelapan final. Bermain di Stade Velodrome Municipal De Reims, Indonesia saat itu tumbang dengan skor telak 0-6.
Meski kalah telak dan mengepak koper lebih dulu, namun skuad Indonesia saat itu mengundang perhatian dunia. Hal ini disebabkan beragamnya etnis skuat saat itu. Di sana terdapat dua pemain yang berasal dari Sumatera, dua pemain berasal dari Ambon, empat orang beretnis tionghoa, satu orang berasal dari Jawa, dan sisanya berdarah Belanda.
Laga Keras Piala Dunia 1938
Selain Hungaria melawan Indonesia, pertandingan lain mempertemukan Swiss melawan Jerman, Italia dengan Norwegia, Kuba vs Rumania, Perancis vs Belgia, Brasil vs Polandia, Ceko vs Belanda, dan Swedia melawan Austria. Swiss, Kuba, Perancis, Hungaria, Brasil, Ceko, Italia, dan Swedia saat itu lolos ke perempat final. Perempat final saat itu mempertemukan Brasil melawan Ceko, Swedia vs Kuba, Hongaria vs Swiss, dan Italia vs Perancis.
Laga Brasil melawan Ceko saat itu berlangsung sangat keras. Dua pemain Ceko menderita cedera yang cukup parah dalam pertandingan yang hanya berakhir 1-1. Top skor piala dunia kedua, Oldrich Nejedly mengalami patah kaki, sementara penjaga gawang Frantisek Planicka mengalami patah tangan setelah terkenan tendangan dari striker Samba Peracia. J
ika Nejedly harus keluar lapangan maka lain halnya dengan Planicka. Saat itu ia memutuskan bermain dengan tangan yang patah dan mampu menahan skor imbang tersebut. Laga itu sendiri menghasilkan tiga kartu merah dan dijuluki sebagai battle of Bordeaux. Pada pertandingan ulang dua hari berselang, Brasil menang 2-1.
Leonidas dari Brasil
Sebelum kehadiran Pele, Brasil saat itu memiliki penyerang tajam dalam diri Leonidas. Pemain yang meninggal pada 2004 ini adalah top skor turnamen dengan delapan gol. Ia adalah symbol dari sepakbola di tanah Samba yaitu bermain sambil bersenang-senang. Saking gembiranya bermain bola, tidak jarang ia sering melakukan hal yang nyeleneh.
Saat menang di fase 16 besar melawan Polandia, Leonidas masuk lapangan dengan telanjang kaki sebelum ditegur oleh wasit yang memimpin laga. Memang dasar nyeleneh, Leonidas bahkan sempat menipu wasit dengan mencelupkan kakinya ke lumpur stadion de la Meinau dan mencetak gol yang kemudian disebut sebagai stocking goal.
Leonidas adalah otak dibalik terciptanya istilah Bycycle Kick. Saat turnamen berlangsung, ia sering mengeluarkan trik tersebut untuk mengguncang penonton yang hadir di stadion. Para wasit bahkan menyangka aksi Leonidas tersebut bertentangan dengan aturan FIFA.
Menariknya, Leonidas pula yang menjadi penyebab gagalnya Brasil melangkah ke partai puncak. Ketika di semifinal melawan Italia, pelatih Ademar Pimenta justru tidak memainkannya. Brasil pun kalah 2-1 dan hanya bermain di perebutan juara ketiga.
Tidak diketahui secara jelas mengapa Leonidas diistirahatkan. Ada yang mengungkapkan bahwa ia mengalami cedera. Namun, ada pula yang menyatakan kalau Brasil kadung pede akan ke final sehingga Leonidas tidak perlu dimainkan di semifinal. Ada juga yang menyebut Brasil mendapat tekanan dari pemimpin fasis Italia, Benito Mussollini.
Hilangnya Leonidas memudahkan Italia untuk melangkah ke final. Di final, Giuseppe Meazza mengandaskan Hungaria, tim paling menghibur sepanjang turnamen, dengan skor 4-2. Kemenangan ini membuat Italia menjadi negara pertama yang mampu mempertahankan piala Jules Rimet. Begitu juga sang pelatih Vittorio Pozzo. Hingga saat ini, dia masih memegang status sebagai pelatih yang bisa memenangi dua gelar Piala Dunia.