Piala Dunia 1994: Duka Escobar, Piala Dunia Terakhir Maradona, dan Final Dua Tim Pragmatis

FIFA memilih Amerika Serikat sebagai tuan rumah Piala Dunia ke-15 pada 1994. Pemilihan ini sempat mengundang tanda tanya dari banya pihak. Bagaimana bisa ajang sepakbola terbesar dunia digelar di negara yang sepakbolanya bukan menjadi olahraga utama. Mereka merasa kalau ajang ini nantinya akan sepi penonton.

Nyatanya, prediksi mereka tidak tepat. Stadion hampir terisi penuh. Inilah Piala Dunia dengan jumlah penonton terbesar mencapai lebih dari 3 juta penonton dengan rata-rata satu pertandingan bisa disaksikan 68 ribu pasang mata.

Pada turnamen kali ini, FIFA kembali membuat terobosan baru agar Piala Dunia kali ini berjalan lebih menarik. Yang pertama adalah sistem tiga poin untuk negara yang meraih kemenangan setelah sebelumnya hanya dua poin untuk setiap kemenangan.

Yang paling kentara tentu saja peraturan back pass. Untuk pertama kalinya, umpan langsung ke penjaga gawang tidak boleh ditangkap. Jika tetap melanggar maka akan mendapat hukuman berupa tendangan bebas di dalam kotak penalti.

Tragedi Escobar

Pele pernah menyebut kalau Kolombia akan menjadi juara di Amerika Serikat nanti. Jika melihat penampilan mereka di babak kualifikasi, maka prediksi Pele sebenarnya sah-sah saja. Faustino Asprilla dkk bermain gemilang. Mereka tidak pernah kalah di kualifikasi dengan di antaranya mengalahkan Argentina 5-0 di Buenos Aires.

Akan tetapi, penampilan mereka berubah ketika memasuki putaran final. Tergabung di Grup A bersama Swiss, Rumania, dan Amerika Serikat, mereka hanya meraih satu kemenangan dan tersingkir di fase grup.

Mereka takluk 1-3 di pertandingan pertama melawan Rumania. Pada pertandingan kedua, Los Cafeteros kembali takluk kali ini dari tuan rumah dengan skor 1-2. Kemenangan atas Swiss pun tidak berarti apa-apa. Sepulang dari Amerika, tragedi menimpa salah satu pemainnya yaitu Andres Escobar.

Escobar adalah pemain yang mencetak gol bunuh diri ketika Kolombia kalah dari Amerika Serikat. Saat itu, ia dijadikan kambing hitam karena golnya tersebut menjadi awal dari tersingkirnya Kolombia. 10 hari setelah kejadian tersebut, bek Nacional Medellin itu ditemukan meninggal dunia di dalam sebuah bar.

Menurut kekasihnya yang melihat kejadian tersebut, Escobar didekati tiga orang pemuda dan satu wanita yang kemudian mengolok-ngolok Escobar atas gol bunuh dirinya tersebut. Naas, perundungan tersebut diikuti dengan enam tembakan yang langsung merubuhkan Escobar. Ia dinyatakan meninggal dunia saat perjalanan menuju rumah sakit.

Dua hari kemudian, pihak kepolisian menangkap pelaku yang diketahui bernama Humberto Munoz Castro. Setahun setelah penangkapan, ia dijatuhi hukuman 43 tahun penjara. Sayangnya 11 tahun setelah vonis, Munoz dibebaskan dengan alasan berkelakuan baik. Sebuah keputusan yang menyakitkan hati keluarga Escobar.

Berakhirnya Piala Dunia Maradona

Di usianya yang sudah 33 tahun, Maradona masih diikutsertakan Alfio Basile dalam skuat Albiceleste. Statusnya pun sama yaitu sebagai kapten. Ia bertekad untuk membalaskan kekalahan empat tahun sebelumnya dengan membawa Argentina ke final Piala Dunia untuk ketiga kalinya secara beruntun.

Akan tetapi, Maradona tidak mengakhiri Piala Dunianya kali ini hingga tuntas. Setelah membawa Argentina mengalahkan Nigeria, ia diminta melakukan serangkaian tes doping. Sial bagi Maradona ternyata hasil tes tersebut menunjukkan ia positif melakukan doping dengan menggunakan Efedrin, obat penurun berat badan yang ketika itu menjadi masalah bagi si pemain.

Awal mula munculnya tes doping untuk Maradona disinyalir dari selebrasi sang pemain saat mencetak gol melawan Yunani. Ketika itu ia berlari mencari kamera sembari berteriak. Banyak yang melihat kalau ada yang salah dari mantan pemain Napoli ini. Beberapa orang yakin kalau ia saat itu sedang berada dalam pengaruh obat-obatan karena mata bagian bawah terlihat berwarna kuning.

Maradona kemudian harus pulang lebih cepat dan menerima hukuman 15 bulan dari FIFA dan tidak boleh bermain di ajang sepakbola apapun. Albiceleste pun hanya sanggup melangkah hingga perdelapan final setelah takluk 3-2 dari Rumania.

Brasil Juara dengan Taktik Pragmatis

Sudah 24 tahun, Brasil tidak bisa menjadi juara dunia. Setelah 1970, Jogo Bonito mereka tidak bekerja dengan baik meski dalam skuat mereka dipenuhi pemain-pemain hebat. Untuk itu, pelatih mereka di Piala Dunia 1994, Carlos Alberto Parreira mengubah gaya main Brasil dari yang sebelumnya bermain cantik menjadi lebih pragmatis.

Beruntung taktik mereka tidak mendapat kritikan dari warga Brasil. Dilansir dari buku The Saga of Brasil, masyarakat mereka saat itu tidak mau ambil pusing dengan taktik Parreira. Tidak masalah tidak main cantik asalkan jadi juara dunia, begitu pikir mereka.

Pragmatisme mereka berjalan baik. Tergabung di Grup B bersama Swedia, Rusia dan Kamerun, mereka hanya kebobolan satu gol saja. Pada fase gugur, hanya Belanda saja negara yang bisa mencetak gol ke gawang Claudio Taffarel. Hingga partai puncak, mereka hanya kebobolan tiga gol saja.

Pada partai final, taktik pragmatis Brasil diuji oleh Italia si penganut taktik bertahan sesungguhnya. Azurri sendiri melangkah ke final dengan performa yang sebenarnya kurang meyakinkan. Hanya meraih satu kemenangan di fase grup, mereka juga hanya menang dengan selisih satu gol saja pada babak gugur. Beruntung, mereka memiliki Roberto Baggio yang enam bulan sebelumnya meraih Ballon d’Or.

Bertemunya dua taktik bertahan justru membuat final menjadi antiklimaks. Tidak banyak peluang yang muncul sehingga membuat final kali ini menjadi final pertama yang harus ditentukan lewat adu penalti.

Pada babak tos-tosan, Brasil hanya satu kali gagal melalui sepakan Marcio Santos sementara tiga penendang Italia gagal, salah satunya adalah sepakan Baggio yang melambung jauh. Inilah gelar keempat Brasil yang menjadikan mereka sebagai peraih gelar dunia terbanyak. Mereka juara dengan produktivitas gol yang terbilang rendah yaitu hanya 11 gol saja.

***

Selain tiga cerita di atas ada beberapa kisah menarik lainnya sepanjang Piala Dunia 1994. Juara bertahan Jerman tersingkir dari Kuda Hitam Bulgaria. Selain itu, Stanford Stadium menjadi saksi pecahnya dua rekor dalam satu pertandingan.

Pada pertandingan Rusia melawan Kamerun yang berakhir 6-1 untuk Rusia, Roger Milla menjadi pemain tertua yang mencetak gol di putaran final Piala Dunia. Catatan spesial dibuat penyerang Rusia, Oleg Salenko. Ia menjadi satu-satunya pemain yang bisa mencetak lima gol dalam satu laga Piala Dunia. Mantan pemain Dynamo Kiev ini merupakan top skor turnamen dengan enam gol bersama penyerang Bulgaria, Hristo Stoichkov.