Piala Dunia 1998: Sepakbola Kalahkan Politik, Sensasi Kroasia, dan Misteri Ronaldo

Setelah 60 tahun, Piala Dunia kembali ke tanah kelahirannya, Prancis. Kali ini FIFA kembali membuat beberapa kebijakan baru. Yang pertama, FIFA menambah jumlah peserta dari 24 menjadi 32. Hal ini membuat hadirnya beberapa negara debutan seperti Jamaika, Kroasia, dan Jepang.

FIFA juga memberlakukan sistem golden goal pada fase gugur. Jika dalam waktu normal skor berakhir imbang, maka kesebelasan yang mencetak gol pada perpanjangan waktu akan menjadi pemenang. Kebijakan ini sebelumnya sudah mereka gunakan pada pegelaran Euro 1996.

Sepakbola Mengalahkan Politik

Piala Dunia 1998 menyajikan cerita menarik sejak babak penyisihan. Brasil kalah dari Norwegia, begitu juga Inggris tiba-tiba tumbang dari Rumania, di sisi lain kepakan sayap Elang Afrika milik Nigeria sukses mengejutkan Spanyol. Akan tetapi, semua cerita itu tidak terlalu menarik ketika melihat apa yang terjadi di Stade de Gerland, Lyon.

Undian grup D mempertemukan Amerika Serikat melawan Iran. Sekilas, kedua negara tersebut tidak terlalu menarik untuk disaksikan. Akan tetapi, kondisi politik diantara mengubah pertandingan yang sebenarnya biasa saja tersebut menjadi penuh arti.

Pada 1979, revolusi Iran berhasil menumbangkan rezim Shah Pahlevi yang pro terhadap Amerika Serikat. Hal ini yang membuat hubungan diplomatis keduanya menjadi memburuk. Hal ini diperparah dengan ucapan pemimpin baru mereka, Ayatullah Khomaeni yang melarang Iran untuk melakukan kontak apapun dengan Amerika bahkan meski sebatas berjabat tangan.

Keamanan ekstra dipersiapkan. Panitia menambah polisi anti huru-hara jauh lebih banyak dari biasanya takut-takut kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Akan tetapi, apa yang mereka takutkan tidak terbukti. Pertandingan berjalan kondusif seperti biasanya.

Iran tidak masalah menjadi tim yang disebut kedua yang otomatis membuat mereka harus berjabat tangan dengan Amerika. Mereka justru bersalaman sambil membawa sebuket mawar putih yang merupakan simbol perdamaian Iran. Hal ini dibalas Amerika dengan memberi cindera mata. Kedua negara pun memilih melakukan foto bersama sambil berangkulan.

Pertandingan berjalan keras namun masih dalam koridor fair play. Iran mencetak gol pertama melalui Hamid Estili. Mehdi Mahdavikia menggandakan keunggulan pada menit ke-83. Amerika Serikat berhasil memperkecil satu gol dari Brian McBride.

Hasil ini membuat Iran berhasil memperpanjang napas meski pada pertandingan terakhir kalah dari Jerman. Sementara Amerika Serikat tersingkir karena menderita dua kekalahan. Meski perjalanan Piala Dunia mereka berakhir oleh Iran yang notabene adalah musuh politik mereka, namun mereka tidak terlalu memusingkan hal tersebut.

“90 menit yang kami lakukan jauh lebih baik ketimbang apa yang dilakukan para politikus kami selama 20 tahun,” tutur penggawa USA Jeff Agoos.

Sensasi Kroasia

Kroasia hanya butuh lima tahun untuk bisa merasakan turnamen internasional pertama mereka yaitu Piala Eropa 1996. Di usianya yang ketujuh, mereka secara mengejutkan lolos ke Piala Dunia. Menyingkirkan Ukraina di babak play off, Hrvatska berada di grup H bersama Argentina, Jepang, dan Korea Selatan.

Meski negara mereka terbilang baru di sepakbola, tapi tidak dengan komposisi pemain mereka. Dalam skuat yang diasuh Miroslav Blazevic tersebut berisi lima pemain yang 11 tahun sebelumnya masih memegang panji Yugoslavia pada Piala Dunia U-17. Lima pemain tersebut terdiri dari Robert Jarni, Zvonimir Boban, Igor Stimac, Davor Suker, dan Robert Prosinecki. Mereka bersinergi dengan bakat lain macam Slaven Bilic, Dario Simic, dan Goran Vlaovic.

Jamaika serta Jepang berhasil dilewati pada babak grup. Hanya Argentina yang memberikan sedikit sandungan. Penampilan apik Boban dkk., kemudian berlanjut di fase gugur. Sepakan penalti Suker sukses menyingkirkan Rumania pada babak perempat final.

Babak delapan besar mempertemukan mereka dengan Jerman. Namun, Jurgen Klinsmann cs bukan halangan bagi mereka. Juara tahun 1990 tersebut dikalahkan 3-0. Perjalanan mereka baru terhenti oleh Prancis di babak semifinal. Itupun butuh dua gol dari Lilian Thuram. Mereka mendapat hadiah hiburan berupa tempat ketiga setelah mengalahkan Belanda 2-1.

Kroasia disebut-sebut sebagai underdog terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia. Striker mereka, Davor Suker mengakhiri turnamen sebagai top skor dengan enam gol. Mereka bahkan meraih kemenangan lebih banyak ketimbang Brasil yang meraih posisi kedua.

Misteri Ronaldo

Di usia yang baru 22 tahun, Ronaldo Luiz Nazario De Lima sudah mengantungi dua gelar pemain terbaik dunia dan satu gelar Ballon d’Or. Prestasinya diprediksi akan lengkap jika pada Piala Dunia 1998, ia membawa Brasil menjadi juara kelima kalinya.

Empat tahun sebelumnya, Ronaldo sebenarnya sudah merasakan trofi Piala Dunia. Namun ia tidak bermain semenit pun. Barulah pada 1998 ia menjadi pilihan utama di lini depan skuad asuhan Mario Zagallo.

Ronaldo hanya mencetak satu gol pada fase grup. Daya ledaknya baru muncul pada fase gugur. Dua gol ia sumbang saat mengalahkan Cile 4-1. Dua asisnya menyingkirkan Denmark pada perempat final. Meski mengalahkan Belanda lewat babak adu penalti, namun satu golnya pada waktu normal dan saat adu penalti berperan besar membawa selecao ke partai puncak.

Akan tetapi, sehari sebelum menghadapi Prancis di babak final kondisi Ronaldo berubah dari semula ceria menjadi pemurung. Ia lebih banyak diam di kamar. Wajahnya pucat dan terlihat seperti orang yang ketakutan. Roberto Carlos menceritakan kalau Ronaldo mengalami kejang yang membuat seluruh pemain khawatir.

“Saya melihat tubuhnya bergetar kencang dan mulutnya sempat mengeluarkan busa. Aku melihat ia memukul kepalanya dan beberapa kali saya melihat lidahnya hampir tertelan,” tutur rekan setimnya Edmundo.

Mantan striker Fiorentina itu kemudian berlari untuk membangunkan rekan setimnya yang sudah tidur untuk memanggil dokter. Ia bahkan sempat dibawa ke klinik oleh dokter tim, Lidio Toledo untuk melakukan perawatan.

Hal ini langsung mengganggu kondisi psikologis skuat Brasil keesokan harinya. Sesampainya di Stade De France, Mario Zagallo tidak melakukan pemanasan di lapangan dan hanya melakukan peregangan di ruang ganti. Mereka takut mengecewakan pendukung Brasil jika menyadari ketiadaan Ronaldo di sesi pemanasan.

Zagallo sempat memilih untuk tidak memainkan Ronaldo. Tetapi setelah berkoordinasi dengan panitia, ia mengubah keputusannya. Meski bermain, namun permainan Ronaldo jauh dari harapan. Tidak bertenaga, tidak mampu berlari, dan kehilangan gerak tipu yang menjadi andalannya. Brasil kalah 0-3 dari tuan rumah.

Banyak yang menyebut kalau Ronaldo terkena pengaruh sihir yang jahat. Namun menurut Toledo, apa yang terjadi kepada Ronaldo dikarenakan tekanan yang tidak bisa ia emban di usianya yang masih muda.

“Telepon genggamnya tidak berhenti berdering. Di sisi lain ada orang yang memerasnya jika tidak ingin perselingkuhannya terbongkar,” tuturnya. Sementara itu, setiap Ronaldo ditanyakan apa yang terjadi pada 1998, dia hanya menjawab, “Kami kehilangan gelar juara tapi saya mendapatkan hidup saya kembali.”