Pernahkah kita membayangkan menyaksikan pertandingan sepakbola tanpa dua buah gawang yang berada di kedua sisi lapangan? Apakah nyaman ketika melihat pilar-pilar yang memiliki panjang 7,32 m dan tinggi 2,44 m tersebut digantikan dengan objek lain? Lantas apakah sepakbola bisa menjadi sedemikian menarik seperti sekarang ini apabila tidak ada objek bernama jaring yang mampu menahan bola dari kerasnya tendangan para pemain? Lantas, bagaimana sejarah gawang di sepakbola?
Pada hakikatnya sepakbola telah hadir sejak era sebelum masehi. Jauh sebelum adanya gawang itu sendiri. Pada saat itu sepakbola hanyalah aktivitas menendang-nendang bola (berbahan kulit ataupun kandung kemih hewan) dengan tujuan yang berbeda-beda di masing-masing tempatnya.
Di Cina, disebutkan pada 2500 sebelum masehi, anak-anak muda disana suka menendang bola ke arah lubang yang berada di kain yang dibentangkan di dua sisi tiang. Lalu pada abad pertama, targetnya berubah menjadi sebuah kain berukuran sembilan meter yang dibentangkan di atas tanah sebelum kemudian berubah menjadi enam buah papan berbentuk bulan sabit yang digantung di sebuah tiang.
Bergeser ke Jepang, pada zaman dahulu mereka lebih senang menimang bola ketimbang menendang bola ke suatu target tertentu. Lain halnya dengan Zaman Romawi yang menendang bola ke arah lonceng-lonceng gladiator. Suku Aztec diketahui memilih lubang di dinding sebagai target. Bahkan orang-orang di wilayah Shrovetide (wilayah Derbyshire) memilih gereja kota tim lawan sebagai sebuah target.
Penulis John Norden dan Richard Carew pada awal abad ke-17 menjadi sosok pertama yang menyebut istilah “mulut gawang” atau yang sekarang dikenal sebagai istilah Goal. Kejadian ini terjadi ketika mereka berdua melihat permainan Hurling Cornwall (seperti Quidditch dalam film Harry Potter). Carew mendeskripsikan dua semak-semak yang berada di tanah sebagai goal atau target. Setengah abad kemudian kata tersebut masuk ke dalam kosakata olahraga Inggris hingga pada akhir abad ke-17 kata goal sudah menjadi kata yang umum digunakan.
Pada 1848 guru-guru dari kota Eton, Harrow, Shrewsbury, Marlborough, Wetsminster, dan Rugby, mengadakan pertemuan di Universitas Cambridge untuk membahas peraturan mengenai konsep gawang. Pertemuan itu sendiri menghasilkan peraturan mengenai adanya gawang berupa dua buah tiang dalam pertandingan sepakbola. Selain itu, peraturan lain adalah pemberian kata gol kepada tim yang bisa memasukkan bola di sela-sela kedua tiang tersebut dengan tali sebagai mistar. Sayangnya pada saat itu belum ada peraturan baku mengenai ukuran gawang tersebut baik tinggi maupun jarak antar kedua tiang.
Pada tahun 1863, FA yang saat itu baru saja lahir membuat regulasi berupa jarak antar tiang mestilah 24 kaki (yang sekarang menjadi ukuran resmi gawang). Namun pada saat itu belum ada juga aturan mengenai tinggi tiang. Belum adanya aturan tersebut membuat seorang pemain bisa mencetak gol hingga 9 meter tingginya.
Mistar gawang barulah hadir pada 1882 dengan jarak delapan kaki di atas tanah. Akan tetapi kualitas kontruksi masih menjadi masalah. Pada salah satu pertandingan Piala FA 1896 diketahui salah satu penjaga gawang Sheffield United yaitu William Foulkes mematahkan mistar gawang ketika bergelantungan.
Meskipun masalah tiang dan mistar gawang sudah selesai, tapi tidak dengan bagaimana kesepakatan bola tersebut dikatakan masuk atau tidak. Pada saat itu belum adanya jaring gawang sebagai penentu bola masuk atau tidak membuat beberapa pertandingan sepakbola pada zaman itu memancing sebuah pertengkaran.
Seorang insinyur bernama John Brodie membuat sebuah kantung besar yang terinspirasi dari celananya sendiri. Kantung besar tersebut kemudian diujicobakan pada 1891. Pemain pertama yang menggetarkan jala tersebut diketahui adalah Fred Geary. Inovasinya ini kemudian dimasukkan ke dalam aturan resmi dengan final Piala FA 1892 sebagai pertandingan pertama yang menggunakan jala gawang.
Gawang yang saat itu sudah memiliki beberapa bagian pentingnya tersebut pun masih belum luput dari perhatian. Bentuk tiang dan mistar gawang yang masih berupa kotak sempat mengecewakan beberapa pihak. Legenda Saint Ettiene, Jacques Santini, mengatakan bahwa apabila mistar gawang Hamden Park tersebut berbentuk bundar maka sundulannya bisa saja masuk ke gawang dan Saint Ettiene lah juara liga Champions 1976.
Pendapat dari Santini ini kemudian didengar oleh FIFA yang pada tahun 1987 mengubah bentuk struktur tiang dan mistar gawang menjadi versi bundar sebelum akhirnya bekerja sama dengan Standard Goals Company untuk merubahnya menjadi sedikit lebih elips. Perubahan ini bertujuan untuk menetralkan gravitasi. Selain itu, bahan kayu yang sebelumnya digunakan pun diubah menjadi alumunium hingga sekarang.
Pada era sepakbola modern ini, bentuk gawang pun sudah semakin berkembang. Dari bentuk lekukan dalam ala Wembley 1930-an, Maracana dengan bentuk L pada gawangnya, hingga jaring terdalam ala kandang La Romareda (kandang Real Zaragoza) semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membuat jalannya pertandingan sepakbola menjadi lebih enak untuk disaksikan. Selain itu munculnya teknologi garis gawang pun semakin membantu kinerja wasit dalam menentukan apakah bola dapat dikatakan gol atau tidak.
Meskipun sebuah gawang terkadang tidak semenarik proses gol yang dibuat, tapimengutip perkataan penyerang Italia Paolo Di Canio bahwa peran gawang sangatlah vital dalam suatu pertandingan sepakbola. Mantan penyerang West Ham tersebut mengatakan bahwa gawang merupakan sebuah surga dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Sumber: Four Four Two, Who ate all the pies.