Laga antara Arsenal kontra Atletico Madrid di leg pertama babak semi-final Liga Europa, Jumat (27/04/2018) dini hari WIB lalu seharusnya terasa spesial. Tapi memang spesial, mengingat klub asal ibukota Spanyol itu mampu memberikan perlawanan kepada tuan rumah.
Hanya bermodal 10 pemain dan tanpa ditemani Diego Simeone yang diusir wasit karena memaki dan memukul ofisial keempat. Namun bertepatan pada hari itu, untuk waktu setempat, Los Rojiblancos merayakan hari kelahirannya yang ke-115 tahun.
Sejarah Atletico Madrid
Angka 115 bukanlah waktu yang pendek. Bermula dari sekumpulan murid asal Basque yang mencintai Athletic Bilbao, mereka ingin berkontribusi terhadap klub kesayangannya dengan membangun sebuah tim junior. Harapannya adalah sebagai penyalur bibit-bibit bertalenta.
Itu sebabnya Atletico Madrid lebih banyak bermain di Campeonato de Madrid alias kompetisi khusus di Provinsi Madrid sebab tidak bisa bertanding melawan Athletic. Selain karena sama-sama mempergunakan warna kebesaran yang sama, yaitu merah-biru, juga karena saling tukar pemain berdasarkan perjanjian bersama.
Baru pada 1921 kala menjadi jawara provinsi, mereka berhak berlaga di perempat-final Copa del Rey, melawan Barcelona, Real Union de Iruna, Athletic, RC Fortuna, Sporting Gijon, Levante, dan Sevilla, sebagai juara di masing-masing wilayah. Hebatnya mereka mampu tembus ke babak final dan bersua ‘saudara lama’, Athletic, tapi gagal meraih kemenangan di San Mames usai ditekuk 4-1.
Keberhasilan Atletico Madrid di Era Profesional
Kesuksesan Atletico Madrid baru bisa diraih pada 1940 kala didaulat sebagai juara Liga Spanyol dengan raihan 29 poin atau berselisih satu poin saja dari Sevilla. Tentu ini menjadi keberhasilan besar di era profesional. Namun perlu digarisbawahi bahwa kala itu nama pemenang bukanlah Atletico de Madrid, tapi Atletico Aviacion. Klub tersebut merupakan hasil merger dengan Aviacion Nacional de Zaragoza yang terbentuk di 1939 oleh para anggota dari Angkatan Udara Spanyol, plus Athletic Bilbao yang kehilangan delapan pemain tim inti karena Perang Saudara Spanyol.
Awalnya Aviacion Nacional dijanjikan bisa turut serta di Primera Division tapi dimentahkan oleh RFEF selaku operator. Hasilnya Aviacion bersatu dengan Atleti + Athletic dan diperbolehkan bermain di Liga Spanyol, hanya karena Real Ovideo tidak bisa turut serta karena kandangnya rusak parah akibat perang.
Pembentukan Aviacion ini tidak lepas dari upaya propaganda pihak revolusioner sayap kanan untuk menularkan ideologi disiplin dan kesehatan agar menciptakan individu-individu superior sehingga mampu bersaing andai perang terjadi kembali untuk mempertahankan ideologi fasis.
Bukan hanya Los Colchoneros saja yang menjadi ‘korban’. Stadion kebanggaan Real Madrid, Charmatin pun kerap dipergunakan sebagai ajang parade militer dan masyarakat khas negara diktator, seperti yang sering diperlihatkan Uni Soviet atau Korea Utara dan Tiongkok.
Atletico Aviacion
Charmatin pun menjadi kandang sementara Atletico Aviacion, kecuali di laga pamungkas melawan Valencia yang dilangsungkan di Campo de Futbol de Vallecas dan menjadi markas tetap hingga akhir musim 1942/43 karena kondisi Metropolitano yang tidak layak dipergunakan akibat perang.
Jangan berfikiran negatif dulu bahwa Atletico Aviacion mendapatkan perlakuan khusus hanya karena pengurus klub berasal dari militer dan sipil yang turut berperang demi Franco. Yang ada malahan Ricardo Zamora, pelatih pertama pasca Perang Saudara, tahu sulitnya untuk keluar dari propaganda penguasa dan bayang-bayang perang yang mengidam-idamkan aksi heroik.
Lupakan cara bermain indah seperti yang dewasa ini diagung-agungkan atau harmonisasi antar lini. Yang terpenting saat itu adalah bermain penuh keberanian, seperti yang diperlihatkan tim nasional Spanyol era tersebut, yang lantas dikenal dengan julukan La Furia.
“Saya katakan tidak, Ricardo. Saya tidak ingin mendengar alasan atau justifikasi [ketika] tim Anda bermain jelek, dan Anda tahu itu,” ucap seorang perwira loyalis Franco yang tidak diketahui namanya, seperti dikutip dari buku Una Historia de Una Fabula karangan Carlos Morino Benito.
“Ricardo, apa yang kurang dari tim ini adalah ‘cojones’ [keberanian]. Cojones yang sangat banyak. Tim harus berlari lebih dan melemparkan segalanya ke pihak lawan. Zamora, berhenti untuk banyak beralasan.”
“Seorang pelatih harus memiliki sedikit semangat, pemaksaan, disiplin. Sekarang pergunakan cambuk dan pakai kembali lagi nanti.”
Selain dua trofi juara liga pasca Perang Saudara, tidak ada lagi prestasi yang ditorehkan Atletico Aviacion. Artinya tidak ada bukti bantuan dari penguasa, selain akses mempergunakan kendaraan dan fasilitas militer, serta diskon khusus untuk pembelian bahan bakar. Patut diingat bahwa di era tersebut bahan bakar sangat sulit didapat sebab lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan militer, baik di Spanyol atau Eropa yang sedang berkecamuk Perang Dunia II.
Kesuksesan baru bisa diraih kala Atletico Madrid kembali ke nama semula dan dilatih oleh pelatih baru diakui kehebatannya karena memperkenalkan Catenaccio di Inter Milan, Helenio Herrera.
Ada pula nama Larbi Ben Barek ‘La Perla Negra’ atau Si Mutiara Hitam, pesepak bola asal Afrika pertama yang menjadi bagian skuat ‘Delantera de Cristal’, bersama Jose Juncosa, Jose Luis Perez-Paya, Henry Carlsson dan Adrian Escudero di era keemasan Atletico Madrid.