Selamat Jalan, Pape Diouf: Sang Revolusioner Sepakbola Prancis

Dunia sepakbola khususnya Prancis kini masih dalam situasi berduka. Di tengah terhentinya kompetisi sepakbola di seluruh dunia akibat pandemik Corona, kabar meninggalnya eks presiden klub Marseille, Pape Diouf, semakin menambah kesedihan yang dialami banyak orang.

Diouf turut mengorbitkan nama-nama top di jagad sepakbola. Berkat kejelian dan intuisinya, nama seperti: Jean-Michel Ferri, Grégory Coupet, Sylvain Armand, Laurent Robert, Roger Boli, Abedi Pelé, Marc-Vivien Foé, Frédéric Kanouté, Noureddine Naybet, Didier Drogba, William Gallas, dan Samir Nasri.

Prancis adalah salah satu negara yang terkena dampak terbesar dari pandemic COVID-19. Sampai saat ini, tercatat kurang lebih 3500 orang terinfeksi virus ini.

Mungkin tak banyak yang mengenal sosok Diouf di luar Prancis. Wajar, karena Ligue1 bukanlah liga yang ditonton jutaan si berbagai dunia. Namun jasa serta lika-liku perjalanan Diouf lah yang membuat ia patut mendapat respek.

Dari Calon Tentara, Jurnalis, Hingga Banting Stir Menjadi Agen

Diouf lahir di kota Abeche, Republik Chad. Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di kota Dakar, Senegal. Dengan berlatar belakang keluarga militer, lulus sekolah menengah Diouf hijrah ke Marseille, Prancis untuk menjadi tentara. Cita-citanya tersebut tak pernah tercapai, karena ia memutuskan untuk kuliah jurnalistik di Institute of Political Studies in Aix-en-Provence.

Rupanya takdir terus mengubah cita-citanya. Usai berkarier menjadi jurnalis lepas di koran La Marseillaisse untuk menulis artikel tentang Olympique Marseille, Diouf kemudian menjadi reporter di harian olahraga Le Sport. Di tengah kebingungannya karena kebangkrutan Le Sport, Diouf kemudian mencoba peruntungan menjadi agen sepakbola. Pekerjaan inilah yang pada akhirnya menuntun Diouf menuju salah satu sosok revolusioner di sepakbola Prancis.

Pada 1983, dua klien pertamanya, Basile Boli dan Joseph-Antoine Bell menjadi sosok sentral bagi Marseille untuk memenangkan Piala Champions 1983 dan juara Ligue1 (meski akhirnya dianulir karena kasus suap). Karena kepiawaiannya dalam soal lobi-melobi serta meng-handle klien-kliennya, Marcel Desailly, serta 2 kiper legendaris Prancis kelak, Gregory Coupet dan Bernard Lama memintanya untuk menjadi agen.

Wajar bila pemain-pemain Prancis “berebutan” untuk menjadi klien Diouf. Karisma dan kemampuan Diouf untuk “menjual” para pemainnya ke liga yang lebih top seperti Premier League misalnya, menjadikannya agen dambaan. Bisa dibilang, beserta Arsene Wenger, Pape Diouf adalah “gerbang kesuksesan” bagi para pemain asal Ligue1 untuk menjadi pemain top dunia.

Diouf: Sosok Revolusioner Olympique Marseille & Sepakbola prancis

Sosok Diouf yang kadung terkenal dan memiliki pengaruh di Marseille, membuatnya didapuk menjadi General Manager Olympique Marseille pada 2004, kemudian posisi presiden Marseille pada 2005 silam. Hal itu juga membuatnya menjadi presiden klub sepakbola Eropa pertama yang berkulit hitam.

Marseille pun meraih hasil yang manis karena kebijakan-kebijakan revolusioner Diouf, terutama dalam soal perekrutan pemain. Frank Ribéry, Mamadou Niang, Lorik Cana, Maoulida adalah nama-nama krusial bagi Marseille kala itu yang direkrutnya dengan harga murah dan kemudian memberikan profit besar kelak.

Di masa kepemimpinan Diouf, ia juga yang menjadi aktor dibalik penunjukan 2 pelatih hebat, Eris Gerets dan Didier Deschamps. Meskipun ia tak sempat menyumbangkan gelar juara bagi Marseille, namun ia menjadikan Marseille dari tim yang saat itu berkutat di papan tengah, menjadi tim langganan Liga Champions.

Ia juga dianggap memberikan pondasi yang kokoh bagi tim Marseille yang berhasil meraih trofi ligue1 musim 2010/2011, hanya semusim setelah Diouf meninggalkan posisi presiden klub. Keberhasilan tersebut juga berlanjut kala Marseille mampu melengang ke babak perempat final Liga Champions 2012.

Karena sosoknya yang dikenal sebagai pendobrak, terutama persoalan diskriminasi, Diouf pernah mendatangi markas FIFA di Zurich, Swiss untuk membicarakan persoalan diskriminasi dan rasisme. Saat itu, ia juga menjabat sebagai administrator LFP (Badan Kompetisi Sepakbola Prancis).

Diouf juga dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Cerita ini bermula menjadi berita utama musim itu yang dikenal dengan “Match of the Minots” di Parc des Princes musim 2005/2006.

Marseille dan PSG memiliki salah satu persaingan paling sengit di Perancis dan pada kesempatan itu, Diouf, yang berselisih dengan badan kompetisi Prancis, LFP, perihal keamanan pada pertandingan dan jumlah kursi yang akan disediakan penggemar yang dianggapnya merugikan Marseille.

Diouf lantas mengirim tim reserves dalam pertandingan bertensi tinggi tersebut. Dan secara mengejutkan, Marseille mampu bermain imbang melawan PSG. Karena kejadian tersebut, Diouf menjadi legenda hidup di seantero kota Marseille.

Banyak rumor yang menyebutkan, bahwa turunnya Diouf dari kursi presiden Marseille adalah akibat sikap konfrontatif dan revolusionernya di kancah sepakbola Prancis. Ditambah, ia adalah seorang kulit hitam. Maka bagi banyak pemain yang berasal dari keturunan Afrika atau etnis minoritas, Diouf dianggap sosok bapak.

Pelatih timnas Prancis yang pernah menjabat pelatih Marseille, Didier Deschamps menilai sosok Diouf sebagai sosok populer bagi rakyat Marseille. “Popularitasnya “sangat besar bagi orang-orang Marseille yang hatinya telah dia menangkan,” ujar Deschamps seperti dikutip harian olahraga Prancis L’Equipe.

Hingga akhirnya, hari menyedihkan itu tiba. Tak lama setelah pengumuman Diouf menjadi pasien suspect Corona pertama di Senegal, ia dikabarkan menghembuakan nafas terakhir dalam rencana pengobatannya ke Prancis. Sejumlah “anak asuhnya” seperti Samir Nasri, Djibril Cisse, Mathieu Valbuena, mengungkapkan rasa kesedihan sekaligus rasa terima kasihnya kepada sosok Pape Diouf.

Selamat jalan, Pape Diouf!