Senegal vs Prancis di Piala Dunia 2002: Tentang Perhiasan dan Hilangnya Tekanan

Di Piala Dunia 2002 Prancis adalah juara bertahan sekaligus negara yang diunggulkan. Usai menjadi juara di rumah sendiri pada 1998, Prancis mengawinkannya dengan raihan Piala Eropa 2000.

Prancis jelas diunggulkan di Piala Dunia 2002, mengingat skuat juara 1998 juga beberapa masih disertakan: Vincent Candela, Bixente Lizarazu, Patrick Vieira, Youri Djorkaeff, Marcel Desailly, Zinedine Zidane, Thierry Henry, Alain Boghossian, Lillian Thuram, Fabien Barthez, Emmanuel Petit, Frank Lebouf, David Trezeguet, dan Christope Dugarry. Skuad ini masih diarsiteki Roger Lemerre yang menjuarai Piala Eropa 2000.

Sebagai juara bertahan, Prancis ditempatkan secara otomatis di Grup A. Henry dan kolega satu grup bersama Senegal, Denmark, dan Uruguay. Kalau melihat peta persaingan, Senegal jelas lawan yang paling mudah. Berdasarkan sejarah, tim Afrika biasanya hanya menjadi penggembira. Ditambah lagi, ini adalah Piala Dunia pertama buat Senegal.

Kisah mulus Prancis mestinya bisa dimulai di pertandingan pembuka yang digelar pada 31 Mei 2002 di Seoul World Cup Stadium. Namun, segalanya berjalan tak mudah. Prediksi terbalik: Senegal menang 0-1 dari sang juara bertahan.

Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas Prancis menjalani Piala Dunia 2002 dengan buruk. Peluang untuk lolos masih ada, tapi hasil yang mereka raih menyatakan hal sebaliknya: Prancis ditahan seri Uruguay tanpa gol, serta menyerah 0-2 dari Denmark.

Kegagalan Prancis ini sesuai dengan angan-angan Pelatih Senegal, Bruno Metsu. Sebelum pertandingan, pelatih berkebangsaan Prancis ini bilang kalau mereka bisa menang, maka dunia akan gempar!

Dunia memang gempar. Akan tetapi bisa lebih gempar lagi kalau mendengar cerita perjalanan Senegal yang di luar nalar.

Pencuri di dalam Tim

Sebagai tim yang tidak diunggulkan, Senegal memang tanpa beban. Akan tetapi perasaan ini berubah menjadi menegangkan lima hari jelang pertandingan pertama mereka.

Ceritanya, Khalilou Fadiga, Salif Diao, dan El Hadji Diouf, sedang berbelanja di toko perhiasan di Kota Daegu. Diouf pun menantang, dengan maksud bercanda, apakah Fadiga berani mencuri sebuah kalung di toko itu. Diouf bukan tanpa alasan. Soalnya, Fadiga tumbuh di Colobane, salah satu distrik paling keras di Dakar. Sehingga Diouf berpikir kalau Fadiga mampu mencuri perhiasan.

Tak disangka Fadiga menganggap tantangan itu secara serius. Di bis dalam perjalanan menuju tempat latihan, ia mengeluarkan kalung berbentuk hati itu dari sakunya. Malam harinya, berita kalung yang dicuri tersebar seantero Korea. Tak lama, pihak dari Kedutaan Senegal mendatangi hotel tim dan Fadiga diinterogasi oleh polisi setempat.

Apa yang terjadi pada Fadiga jelas mengganggu konsentrasi semua orang di tim. Apalagi, citra negara menjadi tercoreng karenanya. Akan tetapi, ini dijadikan Metsu sebagai motivasi buat timnya.

“Satu-satunya cara orang-orang melupakan ini adalah dengan mengalahkan Prancis. Kalau kau tak menang, kisah ini akan terus berlanjut. Tapi kalau kalian ingin menyelamatkan temanmu, kalian harus memenangi pertandingan ini. Orang-orang akan lupa soal pencurian ini. Karena kalau kita memenangi pertandingan ini, maka dunia akan gempar,” kata Metsu.

Kemenangan yang Sudah Dinubuatkan

Langsung menghadapi negara terkuat di Piala Dunia jelas bukan hal yang mudah. Tekanan mestinya dialami tim manapun yang melaluinya.

Akan tetapi, ini tidak terjadi pada tim Senegal. Salah satunya diceritakan Salif Diao, gelandang bertahan yang ketika itu membela Sedan di Ligue 1.

Diao menyebut kalau semua penggawa Senegal percaya pada Tuhan, baik Muslim maupun Kristen. Pada pukul dua pagi, ia masih terjaga. Ibunya, sedang mengepangkan rambutnya.

Mantan pemain Liverpool ini bercerita kalau bukan cuma ia yang tak tidur cepat, tapi juga rekan-rekannya yang lain. Alasannya? Karena mereka tak merasa tertekan. Tim Senegal terasa begitu tenang. Ia bahkan sama sekali tak terpikir untuk kalah dari Prancis.

Biasanya, ruang ganti tim dari Afrika semarak oleh musik dan segala kebisingan yang lain. Akan tetapi, hari itu berbeda. Di pagi harinya, suasana di tim menjadi hening. Sedikit yang berbicara karena mereka semua berkomunikasi lewat mata.

“Kami punya sesuatu yang begitu kuat di antara kami, kami tak perlu berkomunikasi. Kami bersama-sama, hanya bicara lewat mata. Aku akan melihat padamu, tahu apa yang harus kamu lakukan,” kata Diao.

Hal senada juga terjadi ketika tim Senegal tiba di stadion. Mereka tak saling bicara.

“Saat kami pergi ke stadion, semua orang begitu santai. Keheningan sebelum peperangan. Dari makan siang, orang-orang hanya akan bicara dengan mata mereka. Kami punya kepercayaan, kami tahu ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dan kami akan memenangi pertandingan itu,” ungkap Diao.

Salah satu alasan mengapa mereka begitu santai adalah karena kesamaan antara Senegal dengan Prancis. Para pemain Senegal tak tertekan dengan kedigdayaan Thierry Henry bersama Arsenal atau Zidane dengan Madrid. Soalnya, mereka menganggap para pemain Prancis sebagai teman.

“Buat kami, pertandingan itu tidak seperti bermain menghadapi juara dunia. Pertandingan itu seperti kami bermain dengan teman-teman kami,” kata Diao yang pernah satu akademi dengan Henry dan Trezeguet.

Mayoritas pemain Senegal bermain di Liga Prancis. Sehingga mereka tahu detail yang berguna seperti betapa takutnya Henry pada Ferdinand Coly, bek kanan RC Lens, saat keduanya bertemu di liga. Soalnya, Coly adalah tipe pemain yang keras. “Dia bisa mematahkan kakimu,” ucap Diao.

Dari 23 pemain yang dibawa ke Korea Selatan-Jepang, 21 di antaranya bermain di Liga Prancis. Sehingga wajar saja kalau Diao merasa kalau para pemain Prancis adalah teman mereka, apalagi mereka juga menggunakan bahasa persatuan yang sama, yaitu bahasa Prancis.

Sumber: Independent.