Apa yang Terjadi Saat Klub Terdegradasi?

Sebuah ironi sedang dialami oleh Sunderland. Kesebelasan yang malang melintang di Premier League selama bertahun-tahun, dengan dukungan suporter yang sangat luar biasa, harus mengalami kenyataan pahit. The Black Cats mesti terdegradasi ke League One, atau kompetisi Divisi Ketiga Liga Inggris.

Musim depan, Sunderland harus bertandang ke stadion-stadion kecil milik klub League One, semisal Crown Ground milik Accrington Stanley, Kingsmeadow milik AFC Wimbledon. Sebagai gambaran, Stadium of Light milik Sunderland berkapasitas 49.000 penonton, yang berarti 10 kali lipat lebih besar dibandingkan Crown Ground dan Kingsmeadow yang berkapasitas hanya 6.000 penonton.

Degradasi dan promosi memang merupakan hal yang lumrah bagi mereka yang berkompetisi di sebuah sistem liga dengan banyak divisi. Promosi akan selalu menjadi target sebuah klub selama mereka masih belum bisa menembus kompetisi tertinggi. Sedangkan degradasi akan selalu menjadi momok bagi setiap klub. Lalu apa yang terjadi seandainya klub terdegradasi? Kerugian apa saja yang akan diterima oleh mereka?

Finansial dan Kehilangan Pemain Kunci

Bagi mereka yang terdegradasi jelas kehilangan sponsorship menjadi hal yang paling ditakuti. Middlesbrough misalnya, musim lalu setelah degradasi dari Premier League, mereka kehilangan total 40 juta paun dari pemasukan sponsorship. Kerugian tersebut belum termasuk kehilangan pendapatan dari televisi. Padahal di era sepakbola modern, pemasukan dari televisi bisa melampaui pemasukan dari penjualan tiket pertandingan.

Selain kehilangan pendapatan, klub yang terdegradasi juga berpotensi ditinggal sang pemilik klub. Padahal, pemilik biasanya merupakan financial support nomor satu buat mereka.

Hal ini terjadi pada Leyton Orient, 2017 lalu. Mereka harus menempuh peradilan untuk menyelamatkan klub pasca degradasi ke National League. The O’s mengalami kesulitan membayar para pemain serta jajaran staf setelah ditinggal sang pemilik. Mereka nyaris dinyatakan pailit. Beruntung pengadilan mencabut status pailit mereka setelah dukungan luar biasa dari suporter.

Selain kerugian keuangan, klub yang terdegradasi juga berpotensi ditinggal pemain kunci mereka. Pemain kunci sebuah kesebelasan tentu ingin tetap berkompetisi di liga dengan persaingan tertinggi bagi sang pemain. Banyak pemain yang memutuskan hengkang pasca klubnya degradasi.

Juventus ketika degradasi ke Serie B karena kasus Calciopoli, satu dekade silam menjadi buktinya. Mereka ditinggal nyaris 50 persen pemain inti mereka, termasuk Zlatan Ibrahimovic, Gianluca Zambrotta, Patrick Viera, dan Fabio Cannavaro, yang merupakan pemain inti mereka. Beruntung Juventus masih terlalu tangguh bagi klub Serie-B, hanya butuh satu musim bagi mereka untuk kembali promosi ke Serie A.

Jadwal yang Melelahkan dan Bentuk Permainan Klub

Berbeda dengan beberapa kompetisi tertinggi di negara Eropa yang bermain di weekend, kompetisi divisi kedua hingga di bawahnya, selalu bertanding di midweek. Penyesuaian ini tentu akan menuntut para pemain beradaptasi terutama bagi kebugaran pemain.

Selain faktor kebugaran, suporter yang datang tentu saja tidak akan sebanyak ketika pertandingan di akhir pekan. Penyesuaian bermain di tengah pekan juga harus dilakukan untuk harga tiket.

Bertanding di tengah pekan jelas tidak akan semenarik berlaga di akhir pekan. Untuk menarik minat penonton, tentu saja mereka harus memotong harga tiket. Hal yang dilakukan oleh Wigan Athletic pasca degradasi dari Premier League 2013 lalu. Mereka menurunkan harga tiket sebesar 30% setelah mereka bermain di Championship Division.

Dengan bermain di kompetisi lebih rendah, otomatis mereka akan berkompetisi dengan lebih banyak jadwal. Di Inggris, ketika mereka terdegradasi mereka harus bermain minimal 46 pertandingan semusim. Ini belum termasuk Piala FA atau piala regional yang biasanya diadakan bagi klub League One hingga National League.

Dengan pertandingan sebanyak itu, stamina dan emosi pemain tentu sangat terkuras habis. Dilansir dari Independent Premier League memiliki rataan kertu merah lebih sedikit dibanding Championship Division dengan 1 kartu merah tiap 8,6 pertandingan. Bandingkan dengan Championship Division dengan 1 kartu merah tiap 6,1 pertandingan.

Namun bagi mereka yang terdegradasi tentu saja selalu ingin kembali naik ke kompetisi di atasnya. Inilah yang membuat kompetisi di bawah kompetisi utama selalu menarik. Pasalnya keinginan untuk promosi akan selalu besar.

Ini diungkapkan Tony Wombray pasca membawa Blackburn Rovers naik ke Championship Division. Padahal musim sebelumnya mereka baru saja terdegradasi ke League One.

“Tentu saja ini menggembirakan (promosi). Kami ingin selalu menjadi lebih baik,” ungkap Wombray di BBC.

“Setelah degradasi dari Premier League, kami seolah kesulitan untuk berkomunikasi antar direksi. Kami beruntung memiliki manajer seperti Wombray yang tidak hanya mendapatkan kepercayaan dari suporter tapi juga memberikan kami gairah untuk lebih memperhatikan klub. Kini kami mendapatkan promosi, sebuah hal besar bagi klub. Tentu kami ingin tetap fokus untuk selalu bisa bersaing di kompetisi terbaik,” ungkap Oliver Jones, Vice Chairman Blackburn Rovers, dikutip dari BBC.

Selalu ada hikmah di balik musibah. Hal yang berlaku bagi sebuah klub yang degradasi, mereka bisa memilih dua jalan: bangkit kembali mendapatkan momentum untuk promosi, atau hanya akan menjadi klub medioker dengan performa yang akan terus menurun tiap tahunnya untuk kemudian terus mengalami degradasi.