Antonio Conte berusaha untuk tegar ketika memimpin pasukannya melewati barisan penghormatan yang dibuat oleh Sevilla. Meski begitu, ia tetap tidak bisa menyimpat raut wajah kecewa yang terpancar jelas saat ia berjalan ke podium untuk menerima medali sebagai runner-up.
Conte benar-benar kecewa ketika musim 2019/2020 ia tutup dengan raihan ‘nyaris’. Inter nyaris juara Liga Italia karena tertinggal hanya satu poin, nyaris ke final jika tidak disingkirkan oleh Napoli, dan yang terbaru nyaris menjadi juara Eropa. La Beneamata tidak kuasa menahan kedigdayaan Sevilla yang seolah-olah sulit sekali dikalahkan pada kompetisi ini. Kekalahan yang bahkan membuat Conte mempertanyakan kelayakan dirinya sebagai pelatih Inter Milan.
“Kami akan jumpa dengan klub pekan depan dan memutuskan masa depan saya. Saya tidak yakin kalau saya masih menjadi pelatih Inter Milan mussim depan,” kata Conte.
Inter sebenarnya memulai laga dengan baik. Akselerasi Romelu Lukaku membuatnya dijatuhkan di kotak penalti. Eksekusi striker Belgia tersebut membuat Inter unggul 1-0. Akan tetapi, dua sundulan Luuk de Jong membuat Sevilla berbalik unggul sebelum Diego Godin membawa babak pertama berakhir imbang 2-2. Naas, saat Inter sedang butuh gol, Lukaku justru mengubah arah tendangan Diego Carlos yang membuat Sevilla menang 3-2.
“Kami memiliki peluang yang begitu besar kemudian datanglah gol bunuh diri itu. Akan tetapi, kami hanya memiliki penyesalan sebesar itu, sebab para pemain telah memberikan segalanya. Sevilla beberapa kali memenangkan kompetisi ini dan selalu tampil baik di final. Inilah yang menjadi pembeda,” ujarnya menambahkan.
Inter sebenarnya menjalani musim ini dengan tidak mengecewakan. Setelah satu dekade bergonta-ganti pelatih dan gaya main, baru kali ini mereka punya cara bermain yang jelas sebagai sebuah kesebelasan. Mereka juga mulai kedatangan pemain-pemain berkualitas yang namanya sudah besar di Eropa.
Namun, tetap saja Conte kecewa. Final Europa League beberapa waktu lalu seharusnya bisa menjadi momentum bagi Inter untuk menunjukkan kalau mereka masih cukup tangguh untuk bersaing pada ajang Eropa. Selain itu, final kemarin bisa memupus tabu Conte yang tidak bisa menang di final ajang Eropa dalam empat kesempatan beruntun ketika masih aktif sebagai pemain.
1997
Setelah membawa Juventus menjadi juara Liga Champions 1995/1996, Conte sekali lagi membawa Si Nyonya Besar kembali ke babak final. Kali ini, mereka melawan Borussia Dortmund yang baru pertama kali bisa mencicipi pertandingan puncak. Sayangnya, Conte saat itu tidak dibawa oleh pelatih Marcelo Lippi ke dalam skuad yang bermain di Olympiastadion, Munich.
Meski begitu, skuad Juventus masih terlalu tangguh. Mereka memiliki Zidane, Didier Deschamps,dan Alen Boksic. Sayangnya, hal itu hanya berlaku di atas kertas. Di atas lapangan, justru wakil Jerman yang bermain jauh lebih baik dibanding barisan para bintang milik Juventus.
Mereka unggul dua gol hanya dalam tempo lima menit melalui dwigol Karl-Heinz Riedle. Dua-duanya dicetak melalui skema sepak pojok. Juventus kemudian memperkecil ketertinggalan melalui sepakan tumit Alessandro Del Piero yang masuk menggantikan Sergio Porrini.
Dortmund memastikan kemenangan pada menit ke-71 melalui gol lob Lars Ricken. Gol Ricken saat itu menjadi gol tercepat yang pernah dibuat pemain pengganti dalam final Liga Champions. Gol Ricken tercipta hanya dalam tempo 16 detik setelah dirinya masuk menggantikan Stephane Chapuisat.
1998
Setahun setelah kalah di Munich, Juventus kembali maju ke final Liga Champions. Mereka berhasil mengalahkan AS Monaco saat itu. Sedangkan juara bertahan Dortmund kalah dari Real Madrid yang menjadi lawan Juventus di Amsterdam Arena. Conte kembali tidak bermain sejak awal. Ia hanya menjadi pemain cadangan. Lini tengah saat itu diisi Didier Deschamps dan Edgar Davids.
Juventus berhasil menciptakan beberapa peluang. Akan tetapi, Real Madrid justru berhasil mencuri gol terlebih dahulu melalui penyerang asal Yugoslavia, Predrag Mijatovic. Ia mengecoh penjaga gawang Peruzzi dan Paol Montero.
Conte baru masuk pada menit ke-77 menggantikan Didier Deschamps. Akan tetapi, pergantian tersebut tidak mengubah papan skor yang tetap menunjukkan angka satu milik Madrid dan nol milik Juventus. Untuk kedua kalinya secara beruntun mereka kalah di final, sebaliknya Real Madrid berhasil membuka puasa gelar Liga Champions mereka yang telah berlangsung 32 tahun.
2003
Jelang akhir kariernya, Conte masih mampu membawa Juventus untuk sekali lagi melangkah ke final Liga Champions Eropa. Menyingkirkan Real Madrid, Juve bertemu dengan AC Milan di Old Trafford setelah mengalahkan Inter Milan.
Sama seperti sebelumnya, Conte tidak bermain sejak awal. Kali ini, ia harus berbagi dengan Alessio Tacchinardi yang menemani Edgar Davids di lini tengah. Awal babak kedua, Conte masuk menggantikan Mauro Camoranesi. 90 detik setelah berada di lapangan, Conte langsung mengancam gawang Dida melalui sundulan kepala. Sayang, bola masih membentur mistar.
Laga ini sendiri berakhir imbang tanpa gol dan pemenang harus ditentukan melalui drama adu penalti. Tiga penendang Juve yaitu David Trezeguet, Marcelo Zalayeta, dan Paolo Montero gagal menjalankan tugasnya. Dari kubu Milan sendiri, hanya Clarence Seedorf dan Kakha Kaladze yang gagal mencetak gol.
***
Antonio Conte juga berada di skuad Juventus ketika melaju ke final Piala Uefa setahun sebelum berhasil meraih Liga Champions. Sayangnya, ia tidak bermain dalam dua pertemuan menghadapi sesama wakil Italia, Parma. Juve sendiri kalah dengan agregat 2-1. Sepanjang kariernya, Conte hanya memiliki dua gelar pada ajang Eropa yaitu Piala Uefa 1992/1993 dan Liga Champions 1995/1996.