Sisi Gelap Sepakbola: Menyerang Psikologis Pemain

Feeling blue

Kylian Mbappé resmi diangkut Paris Saint-Germain dari AS Monaco seharga 180 juta Euro. Pemuda yang belum genap berusia 19 tahun ini, menasbihkan diri menjadi pemain termahal kedua di dunia. Dengan usia yang sangat belia dan uang melimpah, ia menjadi daya tarik hampir seluruh pemuda di dunia untuk berkecimpung di sepakbola.

Menjadi pesepakbola profesional memang cukup menggiurkan. Di Inggris, mereka yang sudah menginjak 16 tahun sudah ditawarkan ke akademi sejumlah kesebelasan besar untuk mendapatkan beasiswa penuh. Fasilitas yang didapatkan di antaranya mendapatkan kesempatan berlatih di fasilitas kelas satu hingga belajar dari latihan tim utama.

Sialnya, apabila ingin menekuni sepakbola, mereka harus melakukannya sejak dini. Artinya, mereka tidak mendapatkan ilmu lain selain sepakbola itu sendiri. Di Inggris, anak usia 10 tahun bahkan sudah fokus untuk berkarier sebagai pesepakbola.

Dilansir dari The Telegraph, sebanyak 60 pemain berbakat didaftarkan ke 24 akademi berbeda tiap tahunnya dengan kelompok umur antara 6-18 tahun. Apabila diterima mereka akan ditempa untuk menjadi pemain sepakbola secara profesional hingga umur 18 tahun, di mana mereka secara legal diberikan kontrak oleh sebuah tim.

Pemain yang diterima dalam akademi pun mengalami banyak tekanan. Pasalnya setiap manajer di semua klub berharap hasil yang instan akan transformasi menjadi pemain profesional yang siap bersaing di tim utama.

Para pemain mengetahui ini semua. Mereka punya pemikiran yang sama: “Semakin keras Anda bekerja, kemungkinan menjadi pemain sepakbola profesional akan semakin terbuka.”

Namun, kerja keras saja terkadang menjadi malapetaka. Tak sedikit yang mengalami cedera parah akibat porsi latihan yang cukup berat. Menurut Sally Williams, psikolog yang menangani pemain muda di beberapa akademi, kelelahan yang dialami oleh banyak pemain muda ini akan berdampak buruk di usia tuanya nanti. Ketika karier sepakbola pemain ini mencapai usia senja, biasanya depresi yang mereka rasakan ketika masih menjadi pemain akademi akan meledak dengan melakukan perjudian, obat-obatan, alkohol, dan prostitusi. Argumen ini didukung oleh statistik yang dirangkum dari BBC di mana sebanyak 40% mantan pesepakbola professional berakhir dengan kebangkrutan, 22% menjadi pecandu alkohol, dan 4% menjadi drug dealer.

Sedangkan bagi pemain yang gagal menembus akademi, hasilnya justru lebih buruk. The Professional Footballers’ Association, PFA, merilis data di mana sebanyak 700-an pemain dilepas oleh klub, baik akademi maupun skuat utama. Dari sejumlah pemain tersebut, sebanyak 75% berusia 16-21 tahun, dan dari 55% pemain berusia 16-21 tahun tersebut mengalami depresi berkepanjangan.

Banyaknya harapan dan pertaruhan yang mereka ambil untuk menjadi pemain sepakbola profesional yang berujung kegagalan kemudian berujung fatal: kriminalitas, gangguan kejiwaaan, bahkan berujung kematian.

Dikutip dari The Guardian, kegagalan pemain berusia 21 tahun akan mengakibatkan tingkat stres yang cukup tinggi. Hingga 2015 tercatat 16% pasien gangguan jiwa di usia muda disebabkan oleh pemain yang dilepas oleh akademi klubnya. Beberapa yang bisa survive bahkan benar-benar tidak mau membicarakan, atau menonton sepakbola sama sekali.

Selain gangguan jiwa, sebanyak 12% tingkat kriminalitas di Inggris oleh pemuda berusia 21 tahun dilakukan oleh pemuda yang dilepas oleh sebuah klub. Kriminalitas yang dilakukan kebanyakan adalah pelecehan seksual, pencurian kecil-kecilan, atau mabuk dan melakukan hal yang merugikan.

Selain kejahatan tersebut, narkotika juga menjadi pelarian bagi sebagian besar pemain yang dilepas oleh klub, baik menjadi pemakai maupun pengedar. Bahkan pada 2009 seorang mantan pemain Nottingham Forest, Reece Staples (saat itu berusia 19 tahun) mencoba menemukan kembali karir sepakbolanya di antara kegagalan tersebut.

Reece Staples mencoba menjadi pengedar narkotika secara amatir, dan menelan 19 paket kokain dari Kosta Rika untuk dibawa ke UK. Reece Staples meninggal pasca salah satu paket tersebut bocor di dalam tubuh dan mengakibatkan keracunan. Reece meninggal di dalam sel tahanan polisi setelah ditemukan sedikit kokain di kantong kopernya.

Alex Stephens pada 2014 kemarin, meninggal setelah mengalami kecelakaan mobil. Menurut keluarganya, dilansir dari The Guardian, Alex sendiri mencoba bangkit dari keterpurukan pasca dilepas oleh akademi sepakbola di bagian barat London. Butuh waktu 3 tahun bagi Alex untuk menyebuhkan diri dari depresi yang menimpa, sebelum kecelakaan yang menimpanya, Alex mencoba berkarir menajdi DJ.

Kegagalan dari akademi tidak selamanya berdampak buruk, Demba-Ba, dilepas oleh akademi Watford, ditolak oleh akademi Swansea dan Gillingham, sukses mencatatkan lebih dari 100 gol di Bundesliga dan Premiere League.

Contoh lainnya adalah Joey Barton yang dilepas akademi Everton di usia 14 tahun, sebelum akhirnya dianggap cukup sukses dengan 300 penampilan bersama Manchester City, Newcastle United, Queens Park Rangers, dan Marsille.

Contoh positif lain adalah pemain yang berkarir secara akdemis di luar bidang sepakbola, Sebut saja Shaka Hislop, mantan kiper West Ham United yang sukses menjadi dosen Teknik Mesin di negara asalnya, Trinidad&Tobago, atau mantan pemain Tottenham dan Bolton, Gudni Bergsson, yang meniti karir di bidang hukum.