Melihat Stadion Benteng Kini, Artefak Sepakbola Tangerang

“Perhatian, kereta api akan tiba di pemberhentian terakhir, Stasiun Tangerang. Stasiun, Tangerang”

Mendengar kalimat itu diucapkan, saya langsung terkesiap. Setelah menempuh perjalanan hampir sekitar satu setengah jam dari Pasar Minggu, akhirnya saya tiba di tempat yang ingin saya tuju, yaitu kota Tangerang. Sengaja saya pinjam kartu KRL teman saya, sehingga saya tak perlu repot-repot naik motor jauh ke kota ini.

Tangerang, meski masih berada dalam lingkup Jabodetabek, bagi sebagian orang bukanlah kota yang menarik untuk dikunjungi. Namun, bagi saya, kota ini tetaplah salah satu destinasi yang harus dijejak, apalagi sekarang ini saya sedang berdomisili di wilayah Jakarta, tak begitu jauh dari kota Tangerang. Setidaknya, saya harus hafal dan pernah merasakan atmosfer kota yang punya slogan Akhlakul Karimah ini.

Toh, saya juga punya tujuan pribadi menjejakkan kaki di kota ini. Saya ingin melihat salah satu artefak yang sempat menjadi kebanggaan warga Tangerang di masa lampau, yaitu Stadion Benteng. Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang seolah tanpa henti, saya memilih menyepi sejenak di stadion sarat sejarah ini.

Senjakala Stadion Benteng Tangerang

Stadion Benteng bukanlah stadion kemarin sore. Dia diresmikan pada 11 Januari 1989 silam, merespons kondisi perkembangan sepakbola Tangerang yang semakin apik setelah kehadiran Persita di kompetisi sepakbola Indonesia mulai 1953. Saat itu, Persita yang sempat memakai lapangan LPK dan Achmad Yani kerepotan dengan hadirnya penonton yang membludak.

Berkapasitas 25.000 penonton, sejalan dengan berkembangnya zaman, stadion ini tidak hanya digunakan oleh Persita saja. Klub asal Tangerang lain, yakni Persikota, juga mulai menggunakan stadion ini sebagai markas mereka pada kisaran 1996-an, saat mereka diterima sebagai salah satu anggota PSSI.

Digunakan oleh dua tim sekaligus, membuat stadion ini selalu ramai. Baik ketika Persita yang bermain ataupun Persikota yang bermain, Stadion Benteng selalu riuh oleh para suporter. La Viola dengan warna ungunya mendominasi stadion kala Persita berlaga. Benteng Mania dengan warna kuningnya gantian mewarnai stadion kala Persikota bertanding.

Suasana Stadion Benteng semakin ramai memasuki 2000-an. Saat itu, Persita dan Persikota sudah berada dalam satu divisi liga yang sama. Lahirlah sebuah derbi yang acap disebut Derbi Tangerang, mempertemukan Persita dan Persikota di Stadion Benteng. Warna di stadion terbelah dua, dengan satu sisi didominasi warna kuning, sedangkan sisi yg lain dikuasai warna ungu.

Namun, dari sinilah petaka itu datang. Kala Persikota dan Persita bertemu, tak jarang keributan antar keduanya terjadi. Beberapa keributan bahkan menimbulkan korban jiwa. Para pengguna jalan yang melintas dekat Stadion Benteng pun kerap dibikin takut karenanya.

Atas dasar ini, pada 2012 silam, MUI Tangerang mengeluarkan fatwa haram sepakbola di Tangerang. Fatwa ini diamini pihak kepolisian Tangerang, karena mungkin mereka juga lelah melihat keributan demi keributan yang terjadi di Stadion Benteng saat Persita dan Persikota berlaga di situ. Mulai 2012, tak ada lagi gema sepakbola di Tangerang. Persita memilih jadi musafir, sedangkan Persikota tak jelas juntrungannya ke mana.

Sejalan dengan matinya Persikota dan Persita yang memilih jadi musafir, senjakala Stadion Benteng dimulai.

Stadion Benteng Saat Ini

Sore itu, tepatnya pada 18 Agustus 2018, saya berkesempatan menjejakkan kaki di Stadion Benteng ini. Sebelumnya, saya sudah banyak membaca dan mendengar tentang keadaan Stadion Benteng kini dari berbagai sumber. Namun, rasa penasaran tetap saja ada. Melihat sendiri biasanya lebih mengasyikkan dari sekadar mendengar cerita orang.

Dengan tekad seperti itu, akhirnya saya melangkahkan kaki menuju Benteng. Sesaat saya sampai sore itu di Benteng, saya langsung terperangah. Benteng yang dahulu saya ingat sebagai tempat Redouane Barkoui melakukan tendangan gunting sekaligus gagal mengkonversi peluang yang harusnya 100% menjadi gol, kondisinya sekarang sudah tak karuan.

Menginjak halaman parkir Stadion Benteng, saya disuguhi pemandangan yang memilukan. Lahan parkir begitu tak terawat. Banyak rumput ilalang tumbuh di sana-sini. Bahkan, ketika saya datang, banyak mobil diparkir secara sembarangan. Ada juga sepasang ayah dan anak sedang belajar menaiki motor sore itu.

Disuguhi pemandangan pembuka seperti itu, saya langsung terenyuh. Di luarnya sudah begini, apalagi di dalam stadionnya nanti? Begitu pikir saya.

Saya langsung melangkahkan kaki saya lebih jauh ke dalam stadion. Keadaan tampak semakin tidak membaik. Di atas lapangan, ada dua tim yang sedang bertanding. Satu tim berasal dari Cilegon, sedangkan tim yang lain berasal dari Jakarta (kelak saya tahu tim itu adalah Tim U-19 Persija). Menghiraukan kondisi stadion yang sudah sedemikian bobrok, kedua tim asyik bertanding di atas lapangan yang rumputnya sudah kering menguning.

Dari tribun yang sudah dipenuhi ilalang, tampak beberapa orang menikmati pertandingan. Sama seperti para pemain yang menghiraukan rumput kuning, orang-orang yang berada di tribun penonton tersebut menghiraukan ilalang yang sudah tumbuh lebat di sekitaran tribun. Mereka juga abai pada kondisi tribun timur Stadion Benteng yang sudah rubuh.

Tapi, saya tidak abai dan hirau. Saya tidak kuat. Saya tidak kuasa melihat pagar pembatas tribun dan atap “bench” pemain dijadikan tempat menjemur pakaian. Saya tidak mampu melihat keadaan ruang ganti, mushola, toilet, dan jalan masuk tribun Stadion Benteng yang sudah kumel dan dipenuhi bau pesing. Saya memilih keluar. Cukup sudah apa yang saya lihat. Ternyata, yang ditulis selama ini di beberapa media yang saya baca memang benar.

Stadion Benteng sudah tidak terawat.

Nasib Stadion Benteng Tangerang

Melangkah keluar, saya melihat ada pedagang bakso di sana. Sadar bahwa sedari siang saya belum makan, saya menghampiri penjual bakso tersebut. Tak berapa lama, semangkuk bakso terhidang di depan saya. Sembari dengan lahap menikmati bakso, saya mengobrol dengan sang pedagang yang saya ketahui namanya Pak Barsah.

Dari obrolan yang terjalin, saya tahu ternyata Pak Barsah ini adalah pedagang yang sudah lama mangkal di Stadion Benteng. Dahulu, ketika stadion ini masih ramai, dia mengais rezeki dari para suporter yang hadir. Sekarang, dengan keadaan stadion yang sudah sepi, dia mengaku kondisi menjadi sulit baginya. Dia pun menyesalkan tindakan beberapa pihak yang dia nilai lalai mengurus Stadion Benteng.

“Dahulu di sini ramai yang main, sayang aja kalo sekarang ga keurus. Toh ini stadion kan rusak karena kita kita juga. Dulu, zaman Bupati Tangerang masih Ismed Iskandar, ini stadion diurus. Sekarang liat aja keadaannya kaya gini. Ini kalo malem udah banyak yang pacaran di sini,” ujar Pak Barsah.

“Sekarang itu (pengurusannya) kayak tarik ulur. Ini stadion punya kabupaten, tapi ada di tanah walikota. Jadi mereka pada ga mau ngurus. Malah bikin stadion baru di daerah Kelapa Dua (stadion itu bernama Stadion Benteng Taruna),” tambahnya.

Tak lama kemudian, seorang warga datang menghampiri Pak Barsah. Dia juga berniat memesan bakso. Dari wajahnya, saya taksir warga ini berjenis kelamin pria dan berusia sekira 40 tahun-an. Mendengarkan saya dan Pak Barsah berbicara soal Stadion Benteng, orang ini tertarik. Dia ikut berbicara. Namanya Zubaedi, dan sore itu dia mengenakan peci.

“Kadang bingung ya pak, ini sama-sama Tangerang kok pada ribut. Harusnya akur ya, jangan ribut. Jadinya begini. Diketawain kita sama yang di Jakarta,” ujarnya.

Maksud dari keributan yang diujarkan Zubaedi ini adalah perkara Viola dan Benteng Mania yang selalu ribut. Padahal, mereka adalah suporter satu kota. Sekretariat mereka di Stadion Benteng pun hanya terpisah gerbang tribun barat saja. Dalam benak saya, terbayang jika Persita dan Persikota berlaga di sini. Mungkin saya tak bisa menikmati baso senyaman ini.

Waktu beranjak petang. Saya pun pamit kepada Pak Barsah dan Zubaedi yang masih asyik mengobrol. Usai membayar, saya langsung bergegas kembali menuju Stasiun Tangerang. Dari kejauhan, tampak saya melihat gedung pemerintahan kota Tangerang yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Stadion Benteng. Melihat pemandangan itu, saya sedikit tertawa.

“Mereka itu buta apa emang pandangannya ketutupan pohon ya?” gumam saya dalam hati. Entahlah. Yang saya tahu, ada kereta yang harus saya kejar sore itu.

***

Waktu sudah menjadi malam kala saya turun di Stasiun Pasar Minggu. Keluar dari peron, saya langsung menghampiri tukang buah. Tenggorokan saya kering, dan buah nanas adalah buah yang cocok untuk membasahi tenggorokan kering saya ini. Dengan lahap saya memakan buah nanas tersebut. Basah dan segar juga tenggorokan saya ini.

Namun, meski tenggorokan saya basah, ada satu bagian dari tubuh saya yang tidak bisa terbasahi oleh nanas malam itu: hati saya. Hati saya yang terenyuh melihat kondisi Stadion Benteng. Hati saya yang merana melihat tak ada kemauan dari pihak manapun untuk mengurus kembali salah satu artefak sepak bola kota Tangerang tersebut.

Jalanan Pasar Minggu malam itu semakin ramai. Pikiran saya terlempar jauh ke Tangerang, membayangkan seperti apa kondisi Stadion Benteng pada malam itu. Ah, paling banyak setannya di sana, sama anak-anak muda yang sedang bercumbu mesra.

Saya bergegas pulang.

Foto Stadion Benteng, dokumentasi pribadi