Awalnya, tak terbersit keinginan di benak saya mengunjungi Stadion Mini Cibinong, Bogor. Namun, partai final cabang sepakbola Porda Jabar 2018 pada Minggu, 10 Oktober 2018, membawa kaki saya ke sana, membangkitkan kenangan yang sempat tertidur.
Cibinong, seingat saya, bukanlah daerah yang spesial. Selain menjadi pusat dari Kabupaten Bogor, Cibinong dalam ingatan saya hanya ada dua: tempat saya pernah menyaksikan Son Heung-min secara langsung, serta tempat ketika Timnas Indonesia secara perkasa menaklukkan Vietnam dan Thailand di ajang Piala AFF 2016.
Namun, pada Minggu sore itu, ada dua hal yang mengejutkan saya. Pertama, saya baru tahu ternyata saudara saya, Hadi Ramdhan Isnanto, masuk menjadi salah satu pemain tim sepakbola Kota Bandung. Tak ayal kehadiran saya ke sana menjadi sebuah ajang reuni kecil, karena bibi dan paman saya dari Bandung, beserta para keponakan saya, hadir menonton Hadi berlaga.
Yang kedua, ternyata, saya baru tahu Stadion Mini Cibinong ini adalah wajah baru dari Stadion Persikabo, markas Persikabo Kabupaten Bogor. Hal ini saya tahu dari seorang pegawai pemerintahan Kab. Bogor yang kebetulan saat itu menyaksikan laga.
“Betul, mas. Ini adalah hasil dari renovasi Stadion Persikabo,” ujar sang pegawai yang enggan menyebutkan namanya tersebut.
Seketika, kenangan menyeruak, dan di dalamnya, ada imaji Zaenal Arief yang muncul.
Persib ke Persikabo
Pada sebuah masa, sekira 2007 silam, Persib yang kala itu diperkuat para pemain apik macam Patricio Jimenez, Salim Alaydrus, Lorenzo Cabanas, Nyeck Nyobe George Clement, Zaenal Arief, Redouane Barkoui, dan Christian Bekamenga, bertandang ke Stadion Persikabo menghadapi Persikabo Kab. Bogor dalam lanjutan Liga Djarum Indonesia XIII/2007.
Persikabo juga saat itu diperkuat oleh nama-nama yang tidak sembarangan. Ada nama Semme Pierre Patrick, Rodrigo Santoni, serta Andrian Mardiansyah di skuat mereka. Di bawah dukungan Kabomania (sebutan untuk suporter Persikabo) yang hadir, mereka siap memberikan sebuah perlawanan sengit untuk Persib yang sedang bagus trennya saat itu.
Pertandingan dimulai di bawah naungan langit hitam yang menyelimuti Stadion Persikabo saat itu. Persib bermain cukup taktis. Di bawah arahan Arcan Iurie Anatolievch, mereka tidak meladeni permainan agresif Persikabo yang ketika itu ditangani Suimin Diharja. Seiring jalannya laga, tampak kualitas pemain jadi pembeda hasil dalam laga ini. Satu pemain muncul kala itu: Zaenal Arief.
Bermain di bawah tekanan suporter yang menganggap dirinya sudah habis, Arief sukses mencetak gol cantik pada menit ke-21. Gol ini menjadi spesial, karena dicetak menggunakan kaki kanan yang notabene bukan kaki terkuat Arief. Sepakan pemain asal Cikajang tersebut gagal dihentikan penjaga gawang Persikabo.
Pesta belum usai. Pada menit ke-30, Arief dengan cerdas memanfaatkan situasi. Usai tendangan bebas Salim Alaydrus gagal dihentikan dengan baik oleh penjaga gawang Persikabo, bola muntah sukses disambar Arief. Tidak langsung menendang, dia memberikan bola kepada Bekamenga yang posisinya lebih bebas. Gol kedua untuk Persib.
Menit 20 sampai 30 babak pertama laga tersebut menjadi panggung tersendiri bagi Zaenal Arief. Meski akhirnya Persikabo mampu memperkecil kedudukan di babak kedua, itu sudah terlambat. Persib menang 2-1, dan hasil itu semakin memantapkan posisi Persib di puncak klasemen Wilayah Barat Liga Indonesia XIII/2007.
Kenangan di Stadion Mini Cibinong
Kenangan itulah yang lamat-lamat muncul saat saya hadir di Stadion Mini Cibinong, Minggu (14/10/2018) sore. Sesampainya di stadion, saya langsung menuju ke tribune timur stadion. Di sana, kenangan itu bangkit. Benak saya berkata “stadion ini rasanya tidak aneh, kayaknya ini sama dengan stadion yang pernah ku lihat”.
Saya pun langsung beranjak ke bagian teratas tribun timur Stadion Mini, dan di sana, saya bertemu salah seorang pegawai pemerintahan Kab. Bogor. Orang yang tak mau disebutkan namanya tersebut langsung menyambut antusias saat saya mengajaknya berbincang. Dari dialah, saya tahu bahwa Stadion Mini Cibinong ini adalah Stadion Persikabo yang mendapat sentuhan renovasi.
“Gimana mas, jadi bagus ya, sekarang? Ini sudah kami renovasi, mas. Rumput stadionnya juga lebih bagus, lapangan lebih rata. Terus drainasenya juga sudah kami perbaiki. Sekarang, kalau hujan tidak akan ada genangan lagi,” ujarnya dengan mantap.
Saya tersenyum. Melempar ingatan, tergambar dalam benak saya kondisi ketika Persikabo berhadapan dengan Persib pada 2007 silam di sini. Ketika itu, stadion tergenang air. Hujan deras yang akhirnya turun dari awan hitam yang menggelayut membuat stadion tampak seperti kubangan air.
Sore itu, langit hitam pun kembali menggelayuti Stadion Mini. Rasa khawatir tentu ada, dan itu saya tanyakan kepada sang pegawai yang menemani saya menonton. Dia pun menepuk pundak saya, sembari meminjam korek dan menyalakan satu batang rokok Sampoerna Kretek yang sudah dia genggam sedari tadi.
“Tenang aja, mas. Gak akan sama kaya dulu lagi (waktu 2007 silam),” ujarnya mantap.
Sang bapak kemudian izin pamit kepada saya, meninggalkan saya yang masih tenggelam dalam kenangan. Di bawah teriakan kencang dari para pendukung Indramayu, saya terhanyut pada situasi 2007 silam. Di mata saya, tampak ada Zaenal Arief yang sedang membawa bola, lalu dia menendang bola itu dengan kaki kanan melewati Seme Patrick dan penjaga gawang Persikabo.
Samar juga terlihat sosok Bekamenga yang merayakan gol di salah satu sisi stadion usai Persib mencetak gol kedua. Sembari tenggelam dalam kenangan, saya menyalakan rokok, menikmati setiap hembusan asapnya, dan menikmati dunia saya sendiri. Teriakan suporter Indramayu terdengar seperti teriakan para bobotoh di telinga saya, menggema sejalan dengan Arief yang tersenyum bahagia.
Saat saya sadar, guntur menggelegar, bersahutan dengan awan hitam yang menggelayut di langit Cibinong.
***
Sampai akhir laga, ucapannya ini tak terbukti. Bukan, bukan karena hujan yang tiba-tiba turun dan menggenangi stadion, melainkan karena hujan tidak turun sama sekali. Sempat hujan turun sebentar ketika prosesi penyerahan medali berlangsung (oh iya, Kota Bandung kalah adu penalti atas Kab. Indramayu dalam laga ini). Selepasnya, hujan tak lagi turun.
Namun, bukan itu yang penting bagi saya. Selain nasi pecel pemberian bibi saya yang menjadi penunda lapar sampai malam tiba, hari itu kembali sebuah memori tersirat. Memori tentang kegemilangan Zaenal Arief, meski akhirnya pada 2007 silam, Persib gagal menjadi juara. Sriwijaya FC dengan Zah Rahan Krangar dan Keith Kayamba Gumbs-lah yang menjadi juara kala itu.
Tapi tak apa-apa. Setidaknya, kedatangan saya ke Stadion Mini Cibinong sore itu tidak menjadi sesuatu yang hampa. Saya bisa kembali mengenang indahnya sepak bola Indonesia di masa lampau, masa ketika sepak bola belum terlalu jauh disusupi politik. Masa ketika sepak bola, walau diadakan di stadion kecil, tetap menjadi pesta bagi msayarakat sekitar.
Terima kasih, Stadion Mini Cibinong! Sehat selalu dan semoga kelak kita bisa berjumpa lagi
Foto: Stadion Mini Cibinong, Dok. Pribadi