Steve Nash, Tentang Basket dan Peluang RCD Mallorca di La Liga

Steve Nash sejatinya merupakan pebasket profesional dari Kanada. Berposisi sebagai point guard, ia menghabiskan banyak waktu profesionalnya bersama Phoenix Suns yang sudah ia bela sejak masuk draft pada 1996. Nash kemudian mengakhiri karier basket profesionalnya bersama Los Angeles Lakers. Usai pensiun, bersama dengan bos Suns, ia membeli saham klub Segunda Spanyol, RCD Mallorca. Sempat terdegradasi ke divisi tiga, Mallorca akhirnya bermain di La Liga musim ini.

Meskipun menjadi pebasket profesional, tapi hobi Nash adalah bermain bola. Dalam sebuah wawancara pada 2005, Nash mengakui kalau ia tak jadi pebasket, mungkin ia akan menjadi pesepakbola. Ia pun kerap terlihat tengah menonton pertandingan bola. Nama-nama seperti Alessandro Del Piero, Thierry Henry, Owen Hargreaves, Massimo Ambrosini, dan Steve McManaman, adalah teman-temannya.

Nash lahir di Johannesburg, Afrika Selatan. Ibunya dari Wales, ayahnya dari London. Ia adalah fans Tottenham Hotspur. Ia pun bermimpi bisa memiliki sebagian kecil saham Spurs suatu saat nanti. Kini, jalannya di sepakbola mulai terbuka dengan memiliki Mallorca. Dalam wawancara dengan La Liga, ia menjelaskan semuanya.

“Saya sebenarnya besar di Kanada, dan saya beruntung bisa bermain selama 18 tahun lebih di NBA. Meskipun saya berkarier di basket, tapi kata pertama saya adalah ‘gol’. Orang tua saya berasal dari London dan kami besar di keluarga yang gila bola,” kata Nash.

Pria kelahiran 7 Februari 1974 ini mengakui kalau rasa kecintaan terhadap sepakbola telah menjadi bagian dari dalam dirinya. Orang-orang di sekelilingnya tahu kalau ia gila bola. Setelah pensiun, ia justru menekuni sepakbola sebagai analis dan jurnalis. Bahkan, ia sudah tak bermain basket setelah pensiun.

“Saya menonton sepakbola 90 persen lebih banyak ketimbang basket,” jelas Nash.

Nash bukanlah pemilik tunggal RCD Mallorca, melainkan bersama pemilik Suns, Robert Sarver, wakil pemilik Suns, Andy Kohlberg, dan mantan pemain timnas Amerika Serikat, Stuart Holden dan Kyle Martino. Soal kepemilikan Mallorca, Nash menyebut kalau dirinya beruntung. Ia menunjuk kesuksesan kariernya di basket-lah yang membuatnya lebih mudah memilih akan ke mana ia setelah pensiun.

“Saya memiliki kesempatan tentunya untuk terlibat dengan RCD Mallorca, yang merupakan mimpi menjadi kenyataan,” ucap Nash.

Nash mengakui kalau Mallorca merupakan kesebelasan ketiga yang ia pantau di Spanyol. Alasannya akhirnya memutuskan memilih Mallorca adalah tempatnya yang fantastis serta sejarah panjang yang mereka torehkan.

“Mereka pernah menang sebelumnya. Mereka pernah memenangi Copa del Rey, pernah menjadi pesaing di La Liga, juga sempat menjadi tim peserta Liga Champions, jadi kami pikir ini merupakan kesempatan menjadi bagian dari kisah yang dahsyat,” tutur Nash.

Mengangkat Mallorca dari Segunda B

Saat Mallorca terdegradasi ke divisi tiga Spanyol, Segunda B, pada akhir musim 2016/2017, tidak ada target tertentu yang dibuat Nash. Ia hanya berpikir untuk mengembalikan klub yang bermarkas di Estadi de Son Moix ini ke Segunda. Ia menjadikan ini sebagai kesempatan untuk terus membangun budaya serta memaksimalkan akademi.

Akan tetapi, Mallorca memang tak perlu lama bercokol di Segunda. Baru semusim, Mallorca kembali ke La Liga meski hanya menempati peringkat kelima di liga. Mereka lolos lewat jalur play-off, usai mengalahkan Albacete dan Deportivo La Coruna.

“Di paruh kedua musim itu, tim membangun momentum dan kepercayaan diri. Kami mulai memenangi semua pertandingan kandang dan kami ada di posisi play-off. Aku merinding saat memikirkan betapa menariknya itu dan betapa bangganya kami terhadap klub ini,” aku mantan pemain Dallas Mavericks ini.

Di pertandingan play-off pertama menghadai Albacete, Mallorca menang 2-0 di kandang, sebelum kalah 0-1 saat tandang ke Carlos Belmonte. Meski kalah, tentu Mallorca yang melenggang ke final untuk menghadapi tim unggulan saat itu, Deportivo La Coruna. Di semifinal, Super Depor menunjukkan kedigdayaannya dengan menang agregat 5-2 dari Malaga.

Di final yang berlangsung dua leg, Mallorca kalah 0-2 di Abanca Riazor, kandang Deportivo. Namun, mereka membalikkan semua prediksi setelah menang 3-0 di kandang, tiga hari setelahnya, yang memastikan mereka lolos ke La Liga musim 2019/2020.

“Kami memenangi pertandingan play-off pertama melawan Albacete, dan juga di pertandingan play-off terakhir melawan RC Deportivo, klub besar serta bersejarah yang memiliki anggaran besar musim itu.”

“Kami kalah 0-2 di leg pertama di La Coruna. Kami bermain di kandang dengan harapan tipis untuk lolos ke La Liga. Namun, selalu ada perasaan bahwa tim kami pantang menyerah dan kami punya sesuatu yang spesial: para pemain,” ucap Nash.

Di La Liga musim ini, hingga pekan ke-25, Mallorca ada di peringkat ke-18 dengan 22 poin. Peluang untuk bertahan di La Liga jelas masih terbuka lebar. Mereka hanya berjarak 10 poin dari peringkat ke-10, Levante.

Meskipun demikian, agaknya Nash tak berharap lebih. Ia bercerita bahwa ketika Lionel Messi membobol gawang Mallorca sebanyak tiga kali di awal musim ini, ia masih merasa terhibur.

“Ini adalah hadiah luar biasa bagi para pemain kami untuk bermain di stadion megah seperti Camp Nou,  untuk menonton permainan terhebat sepanjang masa. Enam dari starter kami bermain di divisi ketiga. Ini adalah hadial yang adil untuk daya saing mereka, keinginan mereka, gairah mereka, bahwa mereka mendapatkan kesempatan untuk bermain melawan para pemain top dunia di stadion paling bersejarah di dunia,” ucap Nash.

Nash bukannya tanpa alasan. Mallorca merupakan klub dengan anggaran terendah di La Liga. Namun, justru ini yang membuat mereka akan terus berjuang sampai akhir untuk tetap bertahan. Ada motivasi besar dari para pemain menyangkut karier dan bagaimana tim ini bisa berkembang.

“Andai tetap di La Liga, anggaran kami akan meningkat, pengalaman pun tumbuh. Kami dapat berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan staf operasional. Tetap di La Liga itu sangat penting untuk rencana kami, tetapi ketika Anda memiliki anggaran terendah di liga, Anda perlu sesuatu yang ekstra.”

“Anda harus lebih baik daripada tim lain dalam hal budaya, konektivitas, semangat tim. Untungnya, kami kuat di aspek-aspek tersebut, jadi saya percaya pada tim kami. Tapi sepakbola, seperti yang kita pelajari dalam beberapa tahun terakhir, cukuplah gila dan apapun bisa terjadi.”