Piala Dunia 2010 seharusnya menjadi Piala Dunia yang bersejarah bagi Ghana. Mereka tampil cukup baik sepanjang turnamen dan punya kesempatan untuk melangkah hingga babak semifinal. Akan tetapi, harapan mereka musnah akibat kelakuan Luis Suarez.
Ketika itu, Ghana menjadi harapan satu Afrika karena menjadi satu-satunya wakil Afrika yang melaju ke fase gugur. Lima negara lainnya mentok di fase grup termasuk Afrika Selatan sang tuan rumah. Bafana-Bafana saat itu menjadi tuan rumah pertama yang tidak lolos ke fase gugur Piala Dunia.
Ghana jelas tidak mau mengecewakan rakyat dan benuanya. Pada 16 besar, mereka mengalahkan Amerika Serikat 2-1. Untuk pertama kalinya, Ghana lolos ke delapan besar dan akan melawan Uruguay pada 2 Juli 2010. Seandainya lolos, maka Ghana akan membuat prestasi tertinggi melangkahi Kamerun (1990) dan Senegal (2002) dengan melaju ke semifinal. Peluang itu cukup besar karena mereka mendapat dukungan satu Afrika.
Segalanya berjalan lancar. Pada menit terakhir babak pertama, mereka unggul melalui tendangan Sulley Muntari. Namun pada babak kedua, Uruguay bangkit dan menyamakan kedudukan melalui tendangan bebas Diego Forlan. Skor 1-1 membuat pertandingan harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Perpanjangan waktu berjalan sengit. Pada menit ke-120, Ghana mendapat tendangan bebas sekaligus menjadi peluang terakhir pada pertandingan tersebut. Di sinilah terjadi sebuah tragedi yang menghancurkan hati Ghana dan satu Afrika. Bola tendangan John Paintsil disambut oleh Prince Boateng yang diteruskan oleh Jonathan Mensah kepada Stephen Appiah. Tendangan Appiah diblok oleh Luis Suarez tepat di garis gawang yang kemudian disambar oleh sundulan Dominic Adiyiah. Penjaga gawang Uruguay tidak bisa menghalau bola, akan tetapi bola yang sudah siap meluncur ke jaring gawang dihentikan oleh Suarez menggunakan tangannya.
Sontak, wasit Olegario Benquerenca meniup peluit dan menunjuk titik penalti sekaligus memberi kartu merah kepada pemain Ajax tersebut. Sebuah keputusan yang tepat karena Suarez menggagalkan terjadinya gol. Keputusan ini disambut gembira oleh pemain Ghana. John Mensah begitu senang karena memiliki peluang emas menuju semifinal melalui penalti. Begitu pun Aidiyah yang meminta pendukung yang berada di Soccer City memberikan semangat.
Kegembiraan di kubu Ghana berbanding terbalik dengan Luis Suarez. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke luar lapangan. Sebelum ia benar-benar menuju ruang ganti, ia berhenti untuk melihat tendangan penalti Ghana. Ia ingin melihat nasib negaranya dulu apakah masih punya peluang atau benar-benar tersingkir pada perempat final.
Gyan Asamoah bersiap untuk menendang. Akan tetapi, tendangan Gyan justru membentur mistar. Skor 2-1 tidak terjadi. Sebaliknya, drama adu penalti harus dilakukan untuk menentukan pemenang. Situasi kini berbalik. Uruguay yang sebelumnya nyaris tersingkir, justru mendapat momentum.
Reaksi berbeda ditunjukkan Suarez. Dia yang sebelumnya menangis, mendadak gembira dan mengepalkan kedua tangannya sebagai bentuk perayaan. Suarez kegirangan karena Uruguay selamat karena dirinya, eh karena tangannya.
“Saya mula-mula menangis, patah hati. Namun ketika bola melambung melampaui tiang atas gawang, saya lari untuk merayakan. Mungkin saya sudah mengambil tindakan yang tepat untuk melakukan handball,” kata Suarez dalam buku autobiografinya.
Kegembiraan Suarez berlanjut mengingat pada drama adu penalti Ghana tumbang dengan skor 4-2. Dua penendang Ghana yaitu John Mensah dan Dominic Aidiyah gagal mengalahkan Muslera. Uruguay lolos ke semifinal untuk pertama kalinya sejak 1970.
“Orang-orang berkata kalau saya curang menyentuh bola dengan tangan, tapi awal mulanya adalah pemain Ghana melakukan diving yang mendapatkan tendangan bebas. Kemudian, Ghana juga sudah offside pada sundulan pertama. Seharusnya, saya tidak berada di dekat garis gawang. Namun, ketika bola lewat, reaksi natural saya adalah mundur dan melindungi gawang” tuturnya.
Tidak hanya Ghana yang berduka, melainkan Afrika juga. Kegagalan ini membuat rekor terbaik wakil mereka di Piala Dunia hanya perempat final. Alih-alih lebih baik, Ghana hanya bisa menyamai apa yang dilakukan Kamerun dan Senegal.
Semua bisa saja tidak terjadi andaikan Suarez tidak menahan bola dengan tangannya. Mungkin itu yang berada di pikiran publik Ghana dan Afrika. Sayangnya, sepakbola tidak mengenal pengandaian. Sejarah sudah terjadi. Uruguay diselamatkan oleh tangan Suarez yang dengan congkak menganggap insiden tersebut sebagai tangan Tuhan.
“Tangan Tuhan jadi milik saya. Tangan Tuhan yang asli. Saya membuat penyelamatan terbaik sepanjang turnamen. Ketika mereka gagal menendang penalti, saya berpikir kalau ini semua adalah keajaiban,” ujarnya.
Bagi Uruguay, tangan Suarez adalah Tangan Tuhan. Namun, Milovan Rajevac, pelatih Ghana saat itu, jelas tidak bisa menerima ucapan tersebut. Ia menyebut tangan Suarez sebagai tangan Setan.
“Orang bilang dia pahlawan, dan dia berjalan dengan bangga. Sadar kawan, dia bukan pahlawan. Dia curang. Dan kenapa kalian menyebut insiden itu sebagai Tangan Tuhan? Itu namanya Tangan Setan,” katanya.
Sayangnya, ucapan Rajevac tersebut tidak mengubah hasil pertandingan. Uruguay tetap menjadi pemenang sedangkan Ghana harus pulang dengan cara yang menyedihkan. Akibat kelakuannya tersebut, Suarez sudah pasti menjadi musuh Ghana. Namun, sebesar apapun kebencian masyarakat Ghana atau Afrika kepadanya, Suarez tentu tidak mau ambil pusing.
Yang pasti, Suarez saat itu hanya menjalankan tugasnya untuk membela negara yaitu mencegah gawangnya agar tidak kebobolan. Meski mendapat anggapan kalau Suarez melakukan penyelamatan dengan cara curang, dia jelas tidak mau ambil pusing karena dalam pikirannya saat itu ia hanya ingin Uruguay keluar sebagai pemenang.
“Terlalu kasar kalau menyebut kami bermain curang. Kami sudah menerima apa yang diinginkan wasit. Suarez melakukan kesalahan, tapi dia tidak curang. Itu hanya naluri instintif dari seorang pemain. Suarez sudah mendapat kartu merah, ia juga sudah tidak bisa bermain pada laga selanjutnya. Terus, kalian mau apa lagi?” kata Oscar Tabarez.