Mempertanyakan Efektivitas Penggunaan VAR di Premier League

Tottenham Hotspur unggul 2-0 dari tuan rumah Leicester City lewat gol tambahan dari  Serge Aurier yang melepaskan sepakan keras yang menghujam gawang dari Kasper Schemeichel. Sebelumnya, Harry Kane membuat tim tamu unggul melalui insting tajamnya di menit ke-14 babak pertama.

Di tengah-tengah perayaan Aurier, suporter tuan rumah yang terdiam, bersorak bak menyambut kedatangan juru selamat. Juru selamat bagi Leicester di pertandingan itu ketika layar besar di stadion bertuliskan “VAR Review” muncul yang kemudian “VAR Decision, No Goal,” usai dalam review yang dilakukan Son Heung-min terjebak dalam posisi offside sebelum melakukan key-pass.

Juru Selamat bagi Leicester tersebut menghentikan momentum dari Tottenham. Spurs kehilangan tidak hanya gol yang menggandakan keunggulan, tapi juga kemenangan, usai Ricardo Barbosa menyamakan kedudukan hanya berselang beberapa menit usai batalnya gol Aurier. Pada akhirnya, Spurs harus menyerah 1-2 dengan James Maddison menciptakan gol spektakuler di menit 86.

Mungkin bagi Anda penggemar Arsenal atau Manchester City, Spurs seolah mendapatkan karma dari apa yang mereka alami sebelumnya, karena Spurs selalu diuntungkan VAR kala bertemu keduanya. Namun efektifkah VAR dibandingkan waktu, momentum dan se-akurat apakah VAR untuk menentukan keputusan melaui video?

Mari melihat bagaimana Video Assistant Referee atau VAR di Premier League berjalan, dimulai dari untuk apa VAR digunakan di Premier League dan cara kerjanya.

VAR digunakan untuk empat hal: mengesahkan gol, penalti, kartu merah untuk pemain, dan memastikan identitas pemain apabila terlibat dalam insiden. Empat hal ini yang akan di review oleh VAR. Cara penggunaan VAR di Premier League, sedikit berbeda dengan apa yang lazimnya dipraktikkan di kompetisi lain.

Pertama wasit sangat tidak disarankan untuk melihat layar yang tersedia di pinggir lapangan. Alasannya? Untuk menghemat waktu. Wasit sebisa mungkin tidak melakukan pengecekan layar dan percaya dengan review yang dilakukan oleh tim VAR.

Kedua, VAR hanya digunakan untuk sesuatu yang bersifat “higher threshold” atau dalam artian, VAR akan melakukan pengecekan suatu insiden yang benar-benar terlewat atau keputusan yang keliru dari wasit. Tetapi aturan ini tidak berlaku untuk offside.

Ketiga, bila di Piala Dunia semua stadion memiliki ruangan untuk VAR, di Premier League, semua review video berasal dari satu ruangan yang sama, VAR HQ di Stockley Park, lokasinya berada di barat daya London. Di sinilah tim VAR dan semua keputusan yang terkait empat poin di atas muncul dalam lapangan.

Momentum yang Hilang

Namun dengan segala pertimbangannya, VAR masih belum efektif, meskipun penggunaan VAR di Inggris memang dibatasi. Namun apa yang dilakukan tidak setimpal dengan momentum yang hilang karena menunggu keputusan VAR.

BBC mencatat rataan waktu yang dibutuhkan oleh VAR dalam mengevaluasi keputusan, di FA Cup musim lalu di mana VAR pertama kali digunakan, setidaknya butuh 83 detik bagi VAR untuk memutuskan sebuah kejadian. Artinya pertandingan akan terhenti selama satu menit lebih. Sedangkan dalam satu menit sebuah pertandingan berjalan, sebuah momentum bisa cepat berubah. Dengan adanya penghentian momentum, maka bisa dipastikan ada salah satu kesebelasan yang kehilangan waktu dalam membangun dan menyusun serangan.

Hal yang harus dicermati adalah wasit kehilangan otoritas untuk mengambil keputusan, seperti yang dijelaskan bahwa wasit sebisa mungkin tidak menyaksikan layar di pinggir dan lebih percaya dengan review yang dilakukan, maka wasit sama sekali tidak punya peran signifikan dalam mengambil keputusan penting. Padahal sesuai yang diutarakan IFAB selaku pembuat aturan di sepakbola modern, VAR hanya akan digunakan untuk hal yang bersifat kesalahan wasit yang jelas dan insiden yang bisa mengubah jalannya pertandingan.

VAR belum juga bisa mengurai bias dalam sepakbola, semua masih berdasarkan analisis video yang dioperasikan oleh manusia, pun dengan alat digital yang digunakan untuk melakukan analsisi masih memiliki kemampuan yang terbatas.

Mengambil kasus yang diterima oleh Son Heung-min, teknologi yang digunakan untuk analisis video tercanggih saat ini memiliki keakuratan maksimal 30 sentimeter, sedangkan Son, terperangkap offside dalam radius millimeter, memungkinkan bahwa terjadi kekeliruan analisis yang dilakukan oleh VAR dalam mengambil keputusan mengenai offsidenya Son.

Selain itu, sesuai analisis Jonathan Wilson, pemain sepakbola berlari dengan kecepatan rata-rata 6,94 meter per detik, sedangkan penggunaan video terkini,mencapai 50 fps, dan dalam 1 fps, video membutuhkan waktu 0,02 detik, dalam 0,02 detik pemain sudah menempuh 13,8 mm, otomatis dalam 50 fps berarti ada kesalahan sebesar 0,276 mm/detik, apakah ini bisa ditangkpa oleh VAR? Tentu tidak mungkin.

Dan pada akhirnya VAR tetap tidak membuat bias dalam sepakbola menghilang, justru kita akan semakin bias dengan apa pengambilan keputusan yang terjadi di lapangan, VAR juga belum bisa menjadi solusi mengenai pelanggaran yang jelas, seperti apa yang terjadi dengan Sebastian Haller di pekan pertama Premier League, saat itu ia dilanggar sangat keras di kotak penalti oleh pemain Norwich, Tom Trybull. Apakah VAR memberikan keputusan, jawabannya adalah tidak.

Bias adalah hal yang manusiawi dalam olahraga sepakbola, kesalahan-kesalahan akan selalu memiliki ruang selama pemain sepakbola tersebut adalah manusia, saat ini VAR belum bisa mengurangi kesalahan-kesalahan yang terjadi di manusia. Bahkan dalam segi aturan pun masih banyak kekurangan yang tidak bisa diselesaikan, tidak pernah ada kebenaran absolut dalam sepakbola, semuanya bias dan abu-abu.

Untuk membuktikannya, VAR memutuskan Son terjebak offside dengan mengambil garis badan dengan batasnya adalah bahu, sedangkan dalam aturan, tangan masih merupakan bagian dimana pemain bisa dinyatakan offside. Sepakbola sebagai bagian dari olahraga adalah hal yang abu-abu dalam aturan dan akan tetap seperti itu.