Mengubah Sepakbola Menjadi Sumber Energi Terbarukan

Pertandingan sepakbola biasanya memakan energi listrik yang amat besar, terutama yang dimainkan pada malam hari. Berdasarkan The Wallstreet Journal, untuk sebuah pertandingan yang dihelat di AT&T Stadium, Dallas, listrik yang dihabiskan mencapai 10 megawatt atau bahkan melebihi kekuatan pembangkit listrik negara Afrika Barat, Liberia!

Selain lampu dan scoring board digital, besarnya penggunaan listrik ini juga disebabkan oleh pemakaian pendingin ruangan. Ini wajar karena AT&T Stadium disebut sebagai salah satu pengguna pendingin ruangan terbanyak di Amerika Serikat.

Besarnya penggunaan energi membuat sepakbola secara tidak langsung dianggap sebagai pertunjukan yang boros. Razorback Stadium, misalnya, yang menyelenggarakan enam pertandingan kandang, mesti membayar tagihan listrik senilai 562 ribu USD atau sekitar 7,4 miliar rupiah.

Hal ini membuat sejumlah pihak berupaya agar sepakbola tak perlu mengeluarkan energi yang kelewat besar. Malah, kalau bisa di pertandingan sepakbola itulah energi dihasilkan.

Fluke misalnya. Perusahaan yang bergerak di bidang elektronik ini mendukung upaya bahwa stadion sepakbola mestinya bisa menghasilkan energi sendiri. Salah satunya adalah Stadion Lincoln Financial Field yang menerapkan perpaduan dari angin, biodisel, dan solar, untuk mengaliri kebutuhan listrik mereka.

Lincoln memiliki 2000 panel surya, 80 turbin angin, dan generator yang menampung gas alam serta biodiesel. Hal ini menjadikan Lincoln sebagai stadion profesional pertama di Amerika Serikat yang memiliki energi sendiri.

Selain Lincoln, ada pula Metlife Stadium, kandang New York Jets dan New York Giants. Metlife Stadium yang dibangun pada 2010 menandatangani nota kesepahaman bersama Environmental Protection Agency (EPA) untuk mengurangi energi hingga 30 persen. Beberapa inisiatifnya adalah efisiensi penggunaan air di toilet, kontrol listrik secara otomatis, dan penggunaan jendela khusus yang mengurangi panas hingga 24% dibanding Giants Stadium.

Pembangkit Listrik Tenaga Kinetik

Di Brasil, terobosan dibuat oleh Pavegen. Mereka membuat lapangan sepakbola yang semua energinya dihasilkan dari para pemain. Energi ini kemudian dialirkan ke lampu yang menerangi sekeliling lapangan.

Lapangan ini dibuat di permukiman kumuh di Rio de Janiero. Sekelompok pemain usia muda bergabung bersama bintang dan legenda Brasil, Pele, yang meresmikan lapangan tersebut. “Semoga lapangan ini bisa membantu pesepakbola lokal bersinar. Bukan cuma dalam hal sepakbola tapi juga ilmu pengetahuan,” kata Pele.

Rahasia dari lapangan tersebut ada di lantainya. Di bawah rumput buatan, tertanan ubin yang menyerap pergerakan kinetik pemain yang disalurkan menjadi energi listrik.

Sebanyak 200 ubin yang terpasang dikembangkan oleh perusahaan start-up Britania, Pavegen. Sementara itu lapangan kumuh berdebu pun dipoles ulang oleh sebuah perusahaan minyak.

Kepala Pavegen, Ir. Laurence Kemball-Cook, tidak menjabarkan secara detail bagaimana ubin tersebut bekerja. Namun, ia menyatakan bahwa ubin itu bekerja sebagaimana roda gigi.

Saat ini, harga satu buah ubin mencapai 500 USD atau 6,6 juta rupiah. Selain di lapangan sepakbola, ubin ini juga rencananya dipasang di sejumlah stasiun di Eropa, pusat perbelanjaan di Australia, dan Terminal 3 Bandara Heathrow, London.

“Kami telah secara efektif mengubah komunitas ini menjadi tempat eksperimen ilmu pengetahuan yang nyata. Aku percaya teknologi ini bisa menjadi salah satu upaya kita di masa depan untuk menerangi kota,” tegas Kemball-Cook.

Selain di Brasil, Nigeria pun punya teknologi serupa. Hal ini menjadi titik terang buat negara di Afrika tersebut karena dalam beberapa bulan terakhir pada 2016, mereka mengalami kelangkaan bahan bakar. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya, permintaan atas listrik terus bertambah.

“Negara berkembang itu tengah menanjak dalam hal permintaan kelistrikan,” kata pakar ekonomi dan kebijakan iklim, Rachel Cleetus.

Kehadiran energi yang bisa diperbarui akan menjadi jawaban utama buat negara-negara berkembang seperti saat ini. Apalagi energi yang bisa diperbarui tersebut lebih bersih dan tidak mengancam lingkungan.

Berdasarkan BBC, setengah dari populasi di Nigeria sulit mengakses kelistrikan. Di Lagos, 80 persen masyarakat mengandalkan generator bertenaga diesel untuk membuat listrik menyala. Di sisi lain, menurut Rachel, diesel bukanlah jawaban yang ideal.

“Mereka bisa rusak, harga bensin juga mahal,” kata Rachel.

Energi terbarukan bisa membuat konsumsi listrik lebih meluas dengan harga di bawah generator diesel. Energi terbarukan juga bisa bertahan dalam kondisi perubahan iklim yang ekstrem.

Nigeria merupakan negara yang masyarakatnya amat tergila-gila pada sepakbola. Hal ini yang dilihat oleh Pavegen untuk kembali mengembangkan pembangkit tenaga kinetik di Nigeria. Bahkan mereka berharap energi ini bisa menjadi salah satu pembangkit listrik utama di Nigeria.

“Saya percaya bahwa kami akan mengubah cara masyarakat memandang energi dengan mulai mengindustrialisasi teknologi Pavegen,” kata CEO Pavegen, Laurence Kemball-Cook. “Kami berharap bisa menanamkan teknologi kami di seluruh Afrika pada suatu hari nanti.”

Satu hal yang masih mengganjal adalah harga dari setiap ubin yang diproduksi masih terbilang tinggi sehingga menjadi tidak efektif. Namun, hal ini bisa diatasi kalau sudah diproduksi secara massal.

“Kami telah mengurangi harga lebih dari 500 persen ke 20 persen lebih mahal dari harga ubin normal di mal-mal di Afrika,” kata Kemball-Cook.

***

Sepakbola mungkin dianggap sebagai olahraga yang memakan banyak energi. Namun, dengan kehadiran sejumlah inovasi, seperti menjadikan stadion sebagai pembangkit listrik sendiri, bisa mengubah citra negatif tersebut.

Sepakbola, di masa mendatang, bisa saja menjadi sumber energi terbarukan seperti yang dilakukan Pavegen di Brasil dan di Nigeria. Sepakbola akan menjadi bukan sekadar hobi yang menyenangkan tapi juga dibutuhkan.