Di babak 16 besar Piala Dunia 2010, Frank Lampard melepaskan tendangan langsung yang menghujam ke gawan Jerman yang dijaga Manuel Neuer. Bola sempat membentur mistar sebelum melewati garis gawang dan memantul keluar.
Bola yang memantul kemudian ditangkap Neuer yang dibuangnya jauh-jauh. Hal berbeda ditunjukkan Lampard. Ia mengangkat tangan sebagai awalan merayakan gol karena bola memang sudah lewat garis. Namun, Jorge Larrionda yang memimpin pertandingan, tidak setuju. Ia bergeming dan menganggap bola belum melewati garis. Pertandingan kembali dilanjutkan dan Inggris sukses dihajar Jerman 1-4.
Tekanan pun langsung dihadapi FIFA untuk segera mengesahkan goal-line technology sebagai solusi untuk menekan kesalahan utamanya dalam pertandingan akbar sekelas Piala Dunia.
Goal-line technology atau teknologi garis gawang terdiri dari lima teknologi yang diakui FIFA: GoalControl, Hawk-Eye, Cairos GLT system, Goalminder, dan Goalref. Tujuannya untuk memastikan apakah bola telah melewati garis gawang atau tidak.
Setelah diterapkan, teknologi ini jelas mengurangi perdebatan dan kontroversi seperti gol Zlatan Ibrahimovic kala menghadapi Everton musim lalu, Inter vs Juventus, atau Feyenoord vs PSV. Teknologi ini telah digunakan di antaranya oleh Premier League, Bundesliga, Serie-A, La Liga, hingga Eredivisie.
Kekurangan dari teknologi garis gawang adalah investasi infrastruktur yang terbilang tinggi. GoalControl memerlukan biaya 260 ribu USD perstadion atau sekitar 3,5 miliar rupiah. Angka ini belum termasuk biaya operasional sekitar 3,9 ribu USD atau sekitar 45-an juta rupiah.
Di Bundesliga, setiap kesebelasan diwajibkan membayar 250 ribu euro untuk investasi penanaman chip di dalam bola sertia 500 ribu euro untuk pemasangan hawk-eye. Sementara itu, kesebelasan Premier League harus membayar 250 ribu paun perstadion serta 15 ribu paun untuk sertifikasi “FIFA Quality Seal” untuk teknologi hawk-eye.
Karena teknologi ini, elemen manusia kian tersingkir dalam penetapan keputusan di sepakbola. Ini pula yang jadi alasan utama Sepp Blatter kurang setuju dengan teknologi ini.
“Beberapa olahraga mengubah peraturannya mengikuti teknologi. Dalam sepakbola kami tidak ingin hal itu terjadi”, ungkap Blatter saat masih menjabat sebagai Presiden FIFA pada 2010 lalu.
Karena itu, Blatter lebih memilih menggunakan wasit keempat atau bahasa teknisnya additional assistant referee yang ditempatkan di dekat gawang. Tugasnya adalah mengawasi segala kejadian dan membantu keputusan wasit di dalam kotak penalti. Tingkat kesalahan memang dapat dikurangi, tapi bukan berarti absen.
AAR sudah diujicoba sejak 2008 di turnamen Euro U-19 di Slovenia juga di Europa League 2009/2010. International Football Association Board (IFAB) sebagai badan pembuat regulasi di sepakbola menyetujui penggunaan AAR di kompetisi resmi UEFA, termasuk Liga Champions dan Europa League.
Hal ini juga didukung Pierluigi Collina sebagai Kepala Wasit UEFA. “Tujuannya untuk mempermudah pengambilan keputusan bagi wasit di tengah pertandingan. Asisten wasit tambahan ini akan bisa melihat semuanya lebih dekat dan itu membantu para wasit. Kami juga melihat mereka (wasit utama), lebih mudah mengontrol permainan,” kata Collina.
Collina merasa kalau AAR akan lebih efektif dan tidak terlalu mengganggu jalannya pertandingan karena yang didiskusikan hanya kejadian krusial di dalam kotak penalti. Di sisi lain, The League Managers Association (LMA) lebih condong ke teknologi garis gawang.
“Kami mendukung semua eksperimen untuk mengembangkan teknologi dalam sepakbola. Kami juga memahami tugas wasit yang semakin sulit dari tahun ke tahun. Tapi kami rasa asisten tambahan tidak akan efektif dalam sepakbola, karena tetap harus berdiskusi dengan wasit utama, bukan pengambil keputusan secara mandiri,” ungkap CEO LMA, Richard Bevan.
Namun, Collina merasa kalau teknologi belum perlu masuk ke sepakbola. Menurutnya, teknologi tak membantu dalam menemukan solusi. Contoh kasusnya adalah handball-nya Thierry Henry kala Prancis menghadapi Irlandia di babak kualifikasi menuju Piala Dunia 2010. Menurut Collina, teknologi garis gawang tak akan membantu apa-apa.
Kini, untuk mengatasi masalah yang diungkapkan Collina, teknologi Video Assistant Refree (VAR) diperkenalkan. Pro dan kontra terus berdatangan terutama karena mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan. Selain itu, tempo permainan yang menurun akan mengganggu jalannya pertandingan itu sendiri. Meskipun begitu, VAR disukai karena tak akan ada yang dirugikan dari keputusan krusial wasit.
Lantas, apakah di masa depan teknologi akan mengambil alih semua tugas wasit?