Tentang Emile Heskey dan Serangkaian Kisah Sepakbolanya

Foto: Mirror.co.uk

Mantan striker Inggris, Emile Heskey, muncul ke publik dan mulai berbicara tentang kisah hidup sepakbolanya. Mulai dari kerinduannya bermain di Liverpool, hingga mengenang sekaligus memilih pemain favoritnya dari ‘generasi emas’ timnas Inggris.

Nama Emile Heskey lama tidak terdengar setelah ia memutuskan pensiun dari sepakbola pada 2016. Ia seolah memancarkan ketenangan dan mulai menjauhi sisi asam manis sepakbola sejak saat itu. Mantan striker Liverpool dan Inggris ini sekarang sedang dalam rangka menulis buku barunya yang berjudul Even Heskey Scored. Judul ini dipilih karena isi dari bukunya adalah tentang “apa yang dikatakan semua orang” kepadanya.

Namun, terlepas dari itu, banyak yang mengira perjalanan karier Heskey sebagai pesepakbola lebih rendah dari pemain lain yang memainkan sebagian besar kariernya sebagai pemain No. 9. Padahal, tujuh gol dari 62 caps bersama Inggris, dan 110 gol serta 53 asis dalam 516 pertandingan Premier League adalah bukti bahwa Heskey tidak serendah itu. Catatan yang ia raih tersebut juga bahkan hampir sebanding dengan Paul Scholes.

Selain itu, tujuh klub tempat Heskey berlabuh merupakan bukti lain dari grafik penampilannya selama 21 tahun. Kariernya di tujuh klub tersebut berlangsung dari 1995 hingga 2016, dengan Leicester City sebagai klub awalnya, lalu pindah ke Liverpool, Birmingham City, Wigan Athletic, Aston Villa, Newcastle Jets dan yang terakhir Bolton Wanderers. Di sepanjang kariernya ini, terdapat bukti yang mencengangkan mengapa ia bisa dikatakan begitu sukses sebagai seorang striker.

“Saya bermain untuk tim yang dianggap tidak superior, tapi itu bukan apa-apa, dan selama ini, tidak ada persoalan (tentang hal itu) yang benar-benar mengganggu saya. Saya tahu dimana saya harus melihat ke depan. Banyak yang tidak suka dengan apa yang saya jalankan itu. Tapi saya tidak peduli. Saya masih bisa mencapai 1% peningkatan di setiap penampilan,” tutur Emile Heskey dilansir dari The Guardian.

Emile Heskey adalah sosok yang memang sering menantang orang lain untuk mengkritiknya, dan malah ia pernah menawarkan diri untuk direspon dengan sebuah kritik. Maka, ketika ia kembali ke publik untuk membicarakan tentang kehidupan sepakbolanya, ia mulai membuat sebuah pernyataan yang mengundang orang untuk mengritiknya.

“Bayangkan putra Anda berumur delapan tahun. Saya kemudian beri tahu Anda bahwa pada usia 24 tahun dia akan mewakili generasi emas Inggris, dan dia sudah membuat debutnya pada usia 17  tahun, dan pergi ke tiga final piala dalam empat tahun untuk tim kampung halamannya (Leicester), kemudian dijual dengan sebuah rekor ke Liverpool, salah satu klub terbesar di dunia,” tandas Heskey dengan menganalogikan perjalanan kariernya.

“Kemudian dia akan memenangkan treble (Piala FA, Piala Liga, Piala UEFA) pada musim pertama, mewakili Inggris di dua Piala Dunia, di Euro, dan bermain di salah satu pertandingan paling berkesan di Inggris hingga saat ini. Dia memenangkan piala dan Tuhan tahu itu. Enam atau tujuh trofi berhasil dicapainya hanya di usia 24 tahun. Lalu saya tanya pada Anda, bagaimana perasaan Anda?”

Ya, karier Emile Heskey di satu sisi memang penuh dengan momen kehebohan yang fantastis. Salah satu yang paling diingat adalah ketika Inggris meraih kemenangan telak 5-1 atas Jerman di Munich pada September 2001, di mana saat itu Heskey mencetak gol kelima sebelum akhirnya melakukan perayaan gaya DJ tiruan. Sorotan momen ini memiliki kesan yang spesial, dan mantan pemain yang saat ini berusia 41 tahun tersebut menganggapnya sebagai momen yang mengesankan sepanjang kariernya.

Yang hebatnya lagi, Heskey pernah berhasil tampil apik ketika Leicester mengalahkan Crystal Palace di final play-off Divisi Pertama pada 1996, dan saat itu, usianya baru 18 tahun. Heskey pun mengakui bahwa setelah pertandingan ia minum sebotol sampanye penuh sampai habis. Selain itu, ia juga telah melakukan debutnya di musim sebelumnya di bawah asuhan Mark McGhee, sebelum akhirnya dilatih Martin O’Neil di musim selanjutnya, dan pelatih asal Irlandia ini sangat memberikan banyak pengaruh tertentu pada Heskey.

“Saya tidak akan lupa momen di awal karier saya. Saat itu, dia (McGhee) selalu meminta saya; ‘Nak, cepatlah. Dapatkan bola itu dan jalankan apa yang saya perintahkan’. Di musim setelahnya, ada Martin O’Neil, dia mengajari saya tentang sepakbola dan menyuruh saya belajar dari Gerrad Houllier di Liverpool. Saya memberi tahu orang-orang, dan mereka tertawa ketika saya menceritakan kalau saya tertidur saat mendengarkan Gerrard berbicara. Saat itu saya sangat lelah,” ungkap Heskey.

Selain Martin O’Neil, ada Sven-Göran Eriksson, manajer Inggris dari 2001 hingga 2006, yang juga sama-sama memberikan dampak positif bagi awal perjalanan karier Emile Heskey. Baginya, Eriksson adalah sosok yang sangat teliti dan jeli ketika melatih. Tapi, hal inilah yang sebenarnya menjadi penyebab mengapa ia sering lupa dengan apa yang Eriksson katakan di tempat latihan.

“Saya menyukainya. Dia (Eriksson) sangat teliti dan jeli saat latihan. Tapi karena itu, saya selalu tidak dapat mengingat (apa yang dia katakan) saat dia menjadi pelatih. Tetapi, ketika Anda pergi ke lapangan itu, Anda secara langsung bisa tahu segala sesuatu yang dia kemukakan saat latihan. Itu menakjubkan,” pungkas mantan striker Liverpool itu.

Kalau bisa dibilang, Emile Heskey adalah orang yang penuh dengan kesederhanaan. Kejujuran, kesadaran diri dan prinsip “apa adanya” Heskey sangat mencolok dan menunjukkan bahwa ia memang memiliki tipe tersendiri sebagai pesepakbola. Alih-alih menjadi seperti rekan-rekan setimnya yang lain di timnas Inggris seperti Beckham atau Terry, ia justru lebih memilih untuk hidup seperti orang biasa. Maka tak heran, pria bertubuh tinggi dan gempal ini dinilai punya kecerdasan tertentu.

“Saya hanya orang biasa. Saya mengerti mereka (pemain Inggris lainnya) memiliki kemewahan. Tapi, saya juga memiliki kemewahan dalam arti sifat yang menenangkan. Meskipun kadang-kadang saya bisa kehilangan itu kapan saja. Saya pernah diusir sekali dalam pertandingan persahabatan. Sebelumnya, di telepon, saya memiliki argumen penuh di mana saya memberi tahu pelatih bahwa ‘saya datang untuk Anda’. Tapi saya kira itu ada hubungannya dengan saya yang diusir dari lapangan,” tandas Heskey sambil tertawa.

Emile Heskey sendiri, di sepanjang kariernya, pernah bermain dengan sejumlah “generasi emas” Inggris yang mencakup Scholes, David Beckham, Rooney, Ashley Cole, Sol Campbell dan Steven Gerrard. Oleh karena itu, ia mencoba mengenang momen bermain bersama mereka dengan menominasikan “siapa pemain yang paling disaingi dan dikaguminya”, dan ia memilih Sol Campbell sebagai lawan terberatnya, dan kemudian memilih Ashley Cole sebagai pemain terbaik diantara “generasi emas” Inggris lainnya.

Dalam buku yang akan dibuatnya, ada gambaran menarik tentang Ashley Cole, yang ia ceritakan sebagai “perokok berat” yang tak henti-hentinya menghisap di luar pertandingan. Namun yang unik, Cole ternyata masih mampu menghentikan Cristiano Ronaldo di atas lapangan di atas kebiasaan buruknya tersebut. Hal inilah yang juga menjadi alasan mengapa ia memilih mantan bek sayap Arsenal dan Chelsea itu sebagai pemain terbaik di “generasi emas” Inggris.

“Saya tidak tahu bagaimana rasanya merokok, tetapi saya tidak bisa membayangkan bahwa itu ternyata banyak membantu Anda. Saya bisa berbicara seperti ini karena itu dialami oleh Cole, yang selalu bisa ‘menyimpan Cristiano Ronaldo di sakunya’,” ujar Heskey sambil tertawa.

 

Catatan redaksi: kutipan dilansir dari The Guardian