Chapecoense dan Tragedi yang Membuat Mereka Bangkit

LaMia Flight 2933, melakukan penerbangan pada 28 November 2016 dari Santa Cruz de la Sierra, di Bolivia menuju Medlin, Kolombia. Semua tampak lancar hingga pesawat mengalami gangguan kelistrikan akibat kehabisan bahan bakar. Kecelakaan pun tak terhindarkan. Sebanyak 71  dari 77 penumpang tewas. Dalam pesawat tersebut, ada 21 orang rombongan Chapecoanese, termasuk jurnalis, yang bersiap menghadapi tim Atletico Nacional di final Copa Sudamericana.

Satu tahun berselang, Chapecoense bangkit. Ssetelah mengalami kesulitan di awal kompetisi Campeonato Brasileiro Série A, Chape (nama lain Chapecoense), kini berada di posisi kedelapan klasemen akhir dan meraih kesempatan untuk mengikuti kompetisi Copa Libertadores musim depan.

Hasil ini diraih setelah mengalahkan Cortiba dalam drama lewat gol di Injury time, sekaligus mencatatkan rekor 9 pertandingan beruntun tanpa pernah menelan kekalahan. Namun semudah itukah Chapecoense “pulih” dari tragedi yang menewaskan hampir 90% pemain mereka?

“Tidak mudah melalui semua ini, selama setahun kami mencoba tegar, cukup sulit, namun kami harus terus bangkit,” ungkap Amanda Machado, pasangan dari Dener, bek kiri Chapecoense yang berencana melangsungkan pernikahan setelah pertandingan final.

Setali tiga uang dengan Amanda, Adriana Saroli, yang kehilangan dua orang sekaligus dalam tragedi tersebut, sang suami sekaligus pelatih kepala, Ciao Junior dan keponakannya, Eduardo de Castro yang menjabat sebagai asisten pelatih.

“Ciao selalu menginginkan seorang cucu, dan selalu mengungkit hal tersebut, kini apa yang diinginkan Ciao hadir. Namun tidak dengan sosok Ciao yang telah pergi. Kami berusaha tetap positif dan berharap semangat Ciao tetap hidup dalam keluarga kami,” kata Adriana.

Bagi keluraga yang kehilangan anggota keluarganya, tidak mudah melalui rasa kehilangan tersebut. Beberapa bahkan merasa trauma. Amanda Machado bahkan hingga saat ini tidak pernah berani menonton pertandingan sepakbola.

Anderson Lucas, kitman yang juga meninggal di kecelakaan naas tersebut, meninggalkan seorang Jacqueline Madrid yang telah hidup bersama, selama 3 tahun. Jacqueline mengungkapkan rasa kehilangannya, namun tetap membantu seluruh anggota tim untuk bangkit.

“Kami melalui ini semua dengan cukup sulit, tapi kami harus tetap bangkit”, ungkap Jacqueline yang saat ini menjabat sebagai sekretaris klub dan turut memberikan sumbangsih besar terhadap kebangkitan klub.

Chapecoense di awal musim memperbarui seluruh squat. Gilson Kleina ditunjuk sebagai manajer tim, setelah sukses membawa Associação Atlética Ponte Preta, promosi ke divisi utama Liga Brazil. Beberapa pemain turut didatangkan.

Di sektor penjaga gawang, Artur Moraes, mantan penjaga gawang utama Benfica, didatangkan, sembari mempromosikan kiper muda mereka Luiz Felipe. Di lini belakang, 12 pemain baru didatangkan dengan status pinjaman dan promosi dari akademi mereka. Salah satu korban selamat dari kecelakaan pesawat tersebut, Neto, juga masuk dalam skuat.

Di sektor gelandang tujuh pemain tengah mengisi squad termasuk Moises Ribeiro, pemain Chapecoense musim lalu yang tidak ikut berangkat ke Kolombia karena cedera. Terdapat total 14 penyerang Chapecoense musim ini, termasuk dua nama yang tidak ikut berangkat ke Kolombia: Nenem dan Alejandro Martinuccio karena cedera.

Di barisan penyerang terdapat nama yang memiliki track record bermain di Eropa: Wellington Paulista yang pernah memperkuat West Ham United pada 2013 lalu dan Tulio de Melo yang berkarir di Prancis.

Cukup menjanjikan di awal musim kemudian turun pasca dikalahkan Gremio 3-6 yang menurunkan mental bertanding skuat Chapecoense. Namun perlahan Chapecoense bangki.,

Pada pekan ke 31, mereka merayakan kelolosan mereka dari Zona Degaradasi, target realistis yang memang dicanangkan sang Presiden Klub, Plínio David De Nes pada awal musim. Semua tumpah ruah atas “prestasi” yang diraih.

Tidak cukup sampai di situ, Gilson Kleina mencangkan target setidaknya menembus papan tangah klasemen sekaligus mengincar tiket kualifikasi Copa Libertadores. Sebetulnya jatah tiket untuk Copa Libertadores hanya untuk peringkat 1-7 Liga Brasil. Namun setelah Gremio mampu menjadi juara Copa Libertadores musim ini, jatah kualifikasi Copa Libertadores Brasil ditambah satu tiket.

Persaingan ketat antara Botafogo, Atletico Mineiro, dan Chapecoense, sendiri untuk menempati posisi kedelapan klasemen akhir. Persaingan ini pun harus ditentukan hingga pekan terakhir.

Botafogo sebenarnya memiliki kans lebih besar untuk lolos. Namun mereka justru terpleset di dua pertandingan terakhir. Chapecoense pun menyalip Atletico Mineiro dan Botafogo dengan unggul 1 poin atas Botafogo dan menang head to head dengan Atletico Mineiro dan mengunci posisi kedelapan klasemen akhir sekaligus meraih tiket kualifikasi Copa Libertadores.

Tidak kalah dramatis, Chapecoense bahkan tertinggal lebih dulu, lewat gol Kléber, sebelum disamakan oleh  Elicarlos, semua terbayar lewat gol penentu kemenangan Chapecoense yang dicetak Tulio terjadi di menit 95. Setelah wasit meniup peluit, semua pemain, jajaran staf dan suporter Chapecoense bercampur aduk antara bahagia dan terharu. Tulio sendiri pasca pertandingan usai menunjukkan gestur “berterima kasih” yang dianggap ditunjukkan kepada para mantan pemain Chapecoense yang meninggal di kecelakaan naas lalu.

Neto, salah satu korban selamat tidak bisa menahan rasa haru di ruang ganti. Ia berterima kasih kepada seluruh pemain, sekaligus mempersembahkan kemenangan ini untuk rekan setimnya yang meninggal dulu.

Pencapaian yang luar biasa ini tidak terlepas dari jajaran staf yang bertekad bangkit pasca 1 tahun tragedi kecelakaan tersebut, sekaligus memberikan pelipur lara bagi para korban yang ditinggalkan. “Kami bersyukur atas kebangkitan ini dan pencapaian ini untuk mereka (korban kecelakaan). ini menjadi salah satu kado terindah bagi kami,” tutup Jacqueline.