Final Piala Dunia 2006 yang mempertemukan Prancis melawan Italia seharusnya menjadi final Piala Dunia yang memberikan kesan baik bagi seorang Zinedine Zidane. Itulah kali terakhir dirinya bermain menggunakan seragam tim nasional Prancis. Tidak hanya itu, setelah peluit panjang di Olympiastadion, Zizou juga akan meninggalkan statusnya sebagai pemain sepakbola.
Ia jelas ingin mengakhirinya dengan baik. Trofi Piala Dunia 2006 menjadi target setelah pada 1998 ia sudah memberikan yang pertama untuk negaranya. Sang maestro membuka keunggulan melalui penaltinya pada menit ketujuh. Tendangan Panenka yang ia lakukan sebenarnya nyaris tidak menghasilkan gol. Beruntung, bola telah melewati garis setelah sempat membentur mistar.
12 menit kemudian, Italia membalas melalui sundulan Marco Materazzi memanfaatkan sepak pojok Andrea Pirlo. Skor 1-1 bertahan hingga akhir pertandingan. Perpanjangan waktu 30 menit juga tidak menghasilkan gol sama sekali sehingga pemenang harus ditentukan melalui adu penalti. Italia kemudian menjadi juara setelah menang dengan skor 5-3.
Namun, Piala Dunia 2006 ini kemudian dikenang lebih dari sekadar keberhasilan Italia menjadi juara dunia keempat atau kegagalan Prancis meraih trofi kedua. Turnamen ini juga dikenang sebagai kegagalan seorang Zidane menutup kariernya dengan manis.
Harapan akan adanya perpisahan yang manis justru berakhir tragis. Pada menit ke-110, Zidane berjalan dengan gontai. Sambil melepas aksesoris di lengannya, ia berjalan melewati trofi Piala Dunia yang sebenarnya bisa saja ia raih. Namun apa daya, kartu merah membuat kariernya berakhir 10 menit lebih cepat dari yang seharusnya.
Kamera kemudian mereka aksi yang membuat Zidane mendapat kartu merah. Bersama Materazzi, keduanya sempat terlibat friksi setelah saling mengawal satu sama lain dalam sebuah kejadian. Setelah itu, Zidane berlari kecil mendahului Materazzi untuk mengambil ancang-ancang sebelum kepalanya menanduk dada pemain Inter Milan tersebut.
Ucapan Materazzi disebut menjadi alasan kenapa Zidane bisa naik pitam. Ia dituduh mengeluarkan kalimat yang menghina ibu dan saudara perempuannya. Bahkan ada kalimat yang menyebut kalau dia adalah anak teroris. Pahlawan Real Madrid pada final Liga Champions 2002 ini kemudian meminta maaf atas kejadian tersebut meski ia tidak menyesal telah menanduk Materazzi.
“Ia menarik kausku dan saya memintanya untuk berhenti. Jika ia mau kausku, ia bisa mendapatkannya setelah pertandingan. Kemudian ia mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan. Kata-kata soal pribadi, ibu, dan adik perempuanku. Kamu mendengarnya sekali, lalu kamu pergi. Ketika mendengar yang kedua dan ketiga maka kamu harus bergerak,” katanya.
“Saya minta maaf karena banyak anak-anak yang menyaksikan pertandingan itu. Meski begitu, saya tidak menyesali tandukkan saya kepada Materazzi karena jika saya menyesali perbuatan saya maka saya membenarkan apa yang ia katakan,” katanya menambahkan.
Materazzi tentu saja menolak anggapan tersebut. Ia berkilah kalau tidak pernah mengucapkan apapun yang menyakiti ibunya karena ibu Materazzi sendiri sudah meninggal saat ia masih remaja. Apalagi menghinanya dengan sebutan teroris. Namun soal perkataan tentang adiknya, Materazzi mengakui kalau ia mengeluarkan kalimat hinaan tersebut dan ia juga sudah menyesalinya.
“Tidak ada yang memanggilnya teroris. Saya bukan orang yang tidak berbudaya dan sama sekali menyebut sesuatu yang berbau politik, ras, atau agama. Saya tidak pernah menghina ibunya. Saya kehilangan ibu sejak usia 15 tahun,” kata Materazzi.
“Bukankah dia juga melakukan provokasi dengan mengeluarkan kalimat ‘nanti saja setelah pertandingan’ setelah saya memegang bajunya? Betul kalau saya menyinggung saudara perempuan dengan mengucapkan kalau saya lebih suka pelacur itu adiknya, tapi saya tidak tahu kalau dia punya saudara perempuan,” ujarnya menambahkan.
Kejadian tersebut terjadi begitu cepat. Wasit Horacio Elizondo berada di tengah lapangan sedangkan kejadian itu terjadi di dekat kotak penalti Italia. Ketika Prancis membangun serangan, Materazzi sudah terjatuh sehingga Elizondo mau tidak mau harus menghentikan permainan.
“Saya melihat Materazzi berbaring di lapangan, sekitar 30 sampai 40 meter. Karena itu saya menghentikan permainan. Dengan cepat saya bertanya kepada dua asisten saya apa yang terjadi. Lucunya, saya mendapat jawaban yang sama kalau keduanya tidak melihat apa-apa,” kata Elizondo.
“Lalu ada Luiz Medina Cantalejo, wasit keempat, masuk dan mengatakan, “Mengerikan, tandukkan Zidane kepada Materazzi begitu mengerikan. Ketika kamu melihat video, kamu tidak akan percaya padaku,” kata Elizondo menirukan ucapan Cantalejo. Ucapan pria Spanyol tersebut yang kemudian membuat Elizondo tanpa ragu memberikan kartu merah kepada Zidane.
Hingga saat ini, belum jelas apakah keduanya sudah saling memaafkan. Namun, melihat apa yang diucapkan Zidane tampaknya kedua pemain ini tidak akan memaafkan satu sama lain. Materazzi sendiri pernah bilang kalau Zidane belum meminta maaf, maka dia juga tidak perlu untuk meminta maaf. Apakah mereka gengsi untuk minta maaf lebih dulu? Entahlah. Namun yang pasti, momen ini menandakan kalau provokasi bisa menimbulkan reaksi yang tidak terduga.
Bagi Zidane, kartu merah tersebut mungkin menjadi sebuah kekecewaan terbesar dalam karier sepakbolanya. Karier yang seharusnya bisa berakhir manis justru berubah menjadi tragis. Namun untuk Materazzi, ia pasti gembira karena berhasil meraih trofi Piala Dunia yang menjadi gelar tertinggi yang pernah ia raih selama menjadi pemain.
Dalam kultur Italia sendiri ada frase yang disebut sebagai furbizia yaitu seni untuk berbuat culas. Tujuannya adalah untuk bertahan hidup atau mencari keuntungan. Untuk melakukannya, butuh timing dan keberuntungan agar bisa menghasilkan sesuatu dan Materazzi berhasil melakukan hal tersebut 14 tahun lalu.