Ada Hegerberg, Mengubah Sepakbola Norwegia Meski Dikecewakan

Foto: Irish Mirror.ie

Piala Dunia adalah turnamen tertinggi di dunia olahraga. Olahraga apapun itu. Laki-laki ataupun perempuan. Dari semua olahraga yang menggelar Piala Dunia, sepakbola adalah yang pertama. Dalam dunia sepakbola tak ada piala yang lebih prestisius dibanding Jules Rimet.

Pada 1991, Piala Dunia sepakbola perempuan digelar secara resmi oleh FIFA. Sudah 27 tahun berlalu dan hanya ada tujuh negara yang tak pernah absen dari turnamen tersebut. Mereka adalah Amerika Serikat, Jerman, Brasil, Jepang, Nigeria, Swedia, dan Norwegia.

Negara terakhir mencuri perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Biasa mengisi 10 besar peringkat FIFA, perkembangan sepakbola perempuan di Norwegia terlihat stagnan. Turun ke peringkat 11 pada 2016, mereka tak pernah lagi masuk ke 10 besar. The Gresshoppene tidak bisa melompat melewati posisi 13 (peringkat terakhir menurut edisi Desember 2018).

Sejak sepakbola perempuan diterima Norwegia pada pertengahan 1970-an, olahraga ini menjadi yang paling populer di kalangan kaum hawa. Namun, ternyata Federasi Sepakbola Norwegia (NFF) masih melakukan diskriminasi.

Menurut penyerang Norwegia sekaligus peraih Ballon d’Or perempuan pertama sepanjang sejarah, Ada Hegerberg, NFF kurang menghargai sepakbola perempuan. Divisi sepakbola yang sudah memberikan satu medali emas di Olimpiade, menjadi juara Piala Dunia 1995, dan dua kali menguasai Eropa (1987, 1993).

“Masalahnya ada di rasa hormat. Pesepakbola perempuan sejatinya layak untuk diberikan penghormatan lebih dari apa yang didapat saat ini,” kata Hegerberg.

Skuat Norwegia tahu perjuangan Hegerberg untuk hal ini. Lise Klaveness, mantan pemain tim nasional Norwegia yang mengenal Hegerberg sejak kecil mengatakan penyerang Olympique Lyon itu memang tak pernah takut menyuarakan pendapatnya.

“Sejak masih muda, dia sering berteriak. Meminta rekan-rekannya untuk berlatih lebih keras lagi,” aku Klaveness.

Pada 2017, Hegerberg yang jadi andalan tim nasional sejak 2011 itu akhirnya memilih hiatus dari tugas negara. Kegagalan di Piala Eropa 2017 jadi puncak amarahnya. Menyebut pengalamannya membela Gresshoppene sebagai hal yang menyakitkan.

Kepala Pelatih Norwegia, Martin Sjögren, menyebut keputusan Hegerberg sebagai sebuah kejutan. “Bagaikan petir di tengah siang bolong,” katanya. Tapi pada dasarnya, keputusan itu diambil karena rasa gerah. Soal sepakbola sekalipun, mereka tak diberikan kesempatan untuk berbicara oleh asosiasi.

Bukan Miley Cyrus

Foto: El Diario Yucatan

Hegerberg lahir dari keluarga sepakbola. Kedua orangtuanya adalah seorang pelatih dan sejak kecil, ia memang ingin menjadi pesepakbola. “Saya sangat menginginkannya, siap memberi 1000%,” kata Hegerberg ketika diminta untuk bersungguh-sungguh jadi pemain profesional oleh ayahnya.

Pada 2018, kerja keras Hegerberg akhirnya terbayar. Ia menjadi pemain terbaik dunia dan mendapat Ballon d’Or. Memiliki tiga piala Liga Champions, empat gelar divisi satu Prancis, dan diakui oleh BBC hingga FIFA, bukan kebetulan Hegerberg jadi pencetak sejarah.

Sayangnya, momen historis itu diganggu oleh sikap pembawa acara Ballon d’Or yang tidak sensitif. Meminta Hegerberg untuk twerking di panggung. Twerking merupakan sebuah tren yang sulit dijelaskan. Mungkin Hannah Montana bisa menjelaskannya:

Hegerberg tentu menolak. Sialnya, sekalipun pembawa acara itu sudah meminta maaf, satu kalimatnya tersebut menutupi pencapaian bersejarah Hegerberg. Lewat Player’s Tribune, Hegerberg pun menceritakan perjuangannya dengan judul ‘Not Here to Dance‘ alias ‘Tidak Datang untuk Menari’.

Keberhasilan Hegerberg meraih Ballon d’Or diharap menjadi momentum untuk Norwegia. Apalagi beberapa bulan setelah Hegerberg mundur dari tim nasional, NFF sudah memberi kesetaraan gaji antara pemain perempuan dan pria. Tapi Hegerberg menolak.

“Terlalu mudah. Masalahnya bukan uang. Masalahnya adalah persiapan dan langkah untuk jadi profesional. Saya sudah mengutarakan poin-poin tersebut, semua tergantung mereka,” kata Hegerberg. Ada pula anggapan bahwa pihak yang menguasai NFF saat ini lebih fokus ke kantong pribadi mereka ketimbang sepakbola. Kayak pernah denger di mana ya? Uhuk.

Setara Dengan Zlatan Ibrahimovic

Foto: Dagens perpektiv

Martin Sjögren tidak keberatan jika Hegerberg tiba-tiba kembali dan langsung berangkat ke Piala Dunia 2019. “Tentu saya menginginkan pemain terbaik untuk tampil,” tuturnya. Akan tetapi, tidak semua senang dengan sikap Hegerberg.

Hegerberg mendapat label ‘prima donna’ oleh beberapa rekannya. Mungkin seperti Paul Pogba di Manchester United atau Lionel Messi bersama Barcelona dan Argentina. Namun perbandingan yang diberikan adalah Zlatan Ibrahimovic di Swedia.

“Saya langsung merasa jadi pemain paling payah setiap kali pulang membela Norwegia,” kata salah satu pemain Norwegia ke Aftenposten. “Kita sebagai tim harus menang dan kalah sebagai tim. Merasakan hal yang sama,” tambahnya. “Ada mungkin sudah terlalu lama tinggal di Prancis dan merasakan budaya di sana dan ia mengatakan kondisi di sini [Norwegia] tidak pas,” lanjut pemain itu.

Keluarga Hegerberg menolak label ‘prima donna’ yang diberikan ke pemain kelahiran 1995 itu. Apalagi yang diminta sebenarnya untuk kepentingan bersama. Namun, jika Hegerberg selama ini seperti Ibrahimovic di Swedia, mungkin Norwegia tanpa dirinya akan jadi lebih baik di Piala Dunia. Bukankah itu yang dirasakan Blågult di Piala Dunia 2018?

Benar atau salah keputusan Hegerberg untuk mogok. Suka ataupun tidak rekan-rekannya terhadap sikap Hegerberg yang menyuarakan isi kepalanya, ia akan mengubah sepakbola perempuan Norwegia.