Ajax dan Spurs: Identitas Yahudi, Romansa, dan Perlakuan Anti-Semit

Isu keterkaitan sepakbola dan hubungannya dengan SARA seperti anti-semit adalah isu yang selalu seksi untuk dibahas. Di satu sisi, isu menyangkut rasial kerap dihindari dalam sepakbola, namun di sisi lain, akan selalu menarik untuk membahasnya. Dalam hal ini, bagaimana dua klub sepakbola top eropa yang memiliki indentitas kuat dengan Yahudi secara identitas.

Ditambah, kepastian Tottenham Hotspur dan Ajax Amsterdam yang akan berjumpa pada laga semi final Liga Champions Eropa 2018/2019 mau tak mau akan menyeret penggemar sepakbola untuk membahas hubungan dua klub tersebut kepada isu sentimen terhadap bangsa Yahudi atau dikenal sebagai antisemitisme.

Sebagai klub prestisius di Belanda, Ajax Amsterdam selalu terkait dengan persoalan ini. Kemajemukan Amsterdam sebagai ibukota Belanda yang juga memiliki kaitan besar dengan kaum Yahudi di Eropa. Bahkan, saking banyaknya Yahudi yang bermukim di sana sejak awal abad ke-17 dan hidup bebas serta terbebas dari segala bentuk persekusi Amsterdam dijuluki sebagai “Jerusalem van jet Westen/ Yerusalem in West”.

Pada abad ke-16, komunitas Yahudi Sephardi yang bermigrasi dari semenanjung Iberia dan Yahudi Shekanzi yang bermigrasi dari Polandia tinggal di kota Amsterdam. Penurunan jumlah Yahudi kemudian menjadi drastis seiring pendudukan Belanda oleh Nazi Jerman pada tahun 1940 mengakibatkan berkurangnya tiga perempat penduduk berdarah Yahudi di negeri Oranye.

Dekade 1960-an menjadi awal keterkaitan klub Ajax dengan komunitas Yahudi. Ketika itu, Jaap van Prag, seorang Belanda berdarah Yahudi menduduki posisi presiden klub. Jaap berhasil selamat dari holocaust berkat bersembunyi di rumah salah satu pemain Ajax, sementara keluarganya tidak pernah kembali dari kamp konsentrasi Auschwitz.

Di era van Prag pula, kehadiran pemain berdarah Yahudi di Ajax seperti  Bennie Muller dan legenda mereka, Sjaak Swart yang dijuluki Mr. Ajax karena menjadi pemain dengan 600 penampilan bersama Ajax dan memenangkan hat-trick  gelar European Cup 1971, 1972, 1973, turut memperkuat imej Yahudi di masyarakat Belanda saat itu.

Menuju ke ujung barat Eropa, yaitu sebuah kesebelasan asal ibukota Inggris, Totteham Hotspur, yang juga diidentikkan dengan Yahudi. Kehadiran imigran Yahudi yang bermukim di kawasan timur laut London seperti distrik Barnet, Hackney, dan Harrow juga berdampak pada pertumbuhan suporter Spurs. Banyaknya jumlah suporter berdarah Yahudi di kubu Spurs akhirnya mengidentikkan kesebelasan berlogo ayam jago ini dengan klub Yahudi. Kehadiran Daniel Levy sebagai pemilik Tottenham Hotspur sejak 2001 menambah citra Spurs sebagai tim dengan identitas Yahudi yang cukup kuat.

Yahudi Menjadi Sebuah Identitas dan Kebanggaan

Bendera “Bintang Daud” selalu terlihat di tribun stadion Johan Cruijff ArenA. Begitupun dengan chant Yahudi  yang bergema di stadion yang selama dua dekade dikenal sebagai Amsterdam ArenA. Bendera Israel dikibarkan di luar stadion dan juga kerap dijual sebagai merchandise di sekitaran stadion kebanggan masyarakat Amsterdam.

Cemoohan dan stigma yang diterima oleh Ajax Amsterdam justru berbalik menjadi “identitas” klub, khususnya bagi suporter mereka.  Kembali ke era 1970-an, seuah grup suporter yang menamakan dirinya “F-Side” didirikan dan mengambil simbol “ke-yahudi-an” yang diterima dari suporter lawan. F-Side bisa dikatakan sebagai pelopor penggunaan chant “Hey Ajax, Super Jews, hey.. hey..” atau memamerkan bendera Israel di tribun stadion. Bahkan suporter Ajax membuat film dokumenter tentang klub kesayangannya pada 2013 lalu, yang berjudul “Super Jews”.

Berbeda dengan Ajax yang secara eksplisit menggunakan kata Jews atau Joden (Yahudi dalam bahasa Belanda) sebagai identitas, Tottenham Hotspur memakai kata “Yids” yang juga memiliki makna serupa. Istilah Yids dipopulerkan oleh seorang pendiri partai politik British Union of Fascist di tahun 1930.

“Saya pikir ini merupakan sebuah kultur, semua klub pasti memilikinya (kultur)” ujar salah satu fans Ajax yang enggan disebutkan namanya. Yang lain menambahkan: “Ini adalah warisan sejak dulu kala, ini juga merupakan identitas dari Ajax,” ujar seorang suporter pada sebuah wawancara yang dilakukan CNN.

Hal yang sama juga disuarakan oleh pendukung Tottenham Hotspur. Dalam wawancara yang dilakukan Spiegel.de, “Kami menyanyikannya dengan kebanggaan, sebagai tanda sebuh identitas.”

Bagi banyak orang Yahudi di Inggris, dorongan untuk asimilasi telah menjadi keharusan, demi berbaur dengan warga pribumi, dan sepak bola telah berperan penting dalam proses tersebut. Apalagi London Utara saat itu dihuni oleh banyak dari komunitas Yahudi yang bermigrasi dari Eropa daratan.

Anthony Clavane, jurnalis sepakbola Inggris mengatakan hubungan antara sepakbola dan identitas Yahudi. Clavane menganggap sepakbola sebagai “Sebuah ruang di mana identitas etnis telah terhubung, bahkan menjadi saling terkait, dengan identitas nasional; sebuah arena di mana orang Yahudi telah melawan gagasan bahwa mereka adalah penjajah yang perlu diusir dan dijauhi.”

Tak seperti suporternya yang kerap menggunakan simbol Yahudi sebagai identitas, pihak klub bahkan merasa tidak nyaman dengan keterkaitan mereka dengan Yahudi, walaupun sebenarnya banyak dari direktur Ajax yang merupakan keturunan Yahudi.

Nirit Peled, salah satu direktur Ajax yang bermigrasi dari Tel Aviv, Israel berapa puluh tahun silam bercerita bahwa saat itu ia mendengar seorang pria menyanyikan lagu tradisional Ibrani “Hava Nagila” dan mengibarkan bendera bintang Daud di tribun stadion, dan itu membuatnya tidak nyaman hingga kini.

Singkatnya, Yahudi sudah menjadi identitas dan kebangggan bagi suporter Ajax Amsterdam dan juga Tottenham Hotspur. Ada fakta menarik terkait fenomena kedua klub ini. Michael Sandel, seorang filsuf politik dari Inggris mengutarakan, “Kesenangan dalam olahraga di era modern telah berkurang karena komersialitas.”

Dari kutipan Sandel tersebut, kita dapat menyimpulkan kalau identitas adalah hal terakhir yang dapat dipertahankan oleh pendukung sepakbola seiring kejengahan mereka akan sisi komersialitas dalam sepakbola modern. Tak heran, Yahudi tetap akan dipertahankan sebagai identitas klub oleh suporter Ajax dan Spurs.

Romantisme Pendukung Ajax dan Spurs

Identitas yang sama tentunya membuat ikatan suporter Ajax dan juga Spurs terjalin di luar stadion. Persahabatan ini semakin kuat setelah leg kedua final Piala UEFA 1974. Tottenham berjumpa musuh bebuyutan Ajax, Feyenoord Rotterdam yang berakhir kekalahan bagi Tottenham Hotspur. Setelah kekalahan mereka, para penggemar Spurs mengamuk dan menghancurkan stadion Feyenoord, De Kuip. Tentunya di era hooliganisme dan ultras sedang menjamur seperti saat itu, membuat fans Ajax turut serta membuat kericuhan di kandang musuh bebuyutan mereka di Belanda.

Tottenham Hotspur dan Ajax Amsterdam pernah bertemu pada putaran pertama Piala Winners 1981/1982. Saat itu, Tottenham Hotspur menang 3-1 pada pertemuan pertama, dan unggul 3-0 saat menjamu Ajax.

Perlakuan Anti-Semit Terhadap Kedua Klub

Badan sepakbola Belanda, KNVB tentunya mengatur segala yang terkait di dalam stadion, termasuk nyanyian di dalam stadion. Sejak 2016, KNVB melakukan pendekatan kepada komunitas Yahudi di Belanda untuk membicarakan nyanyian anti-semit. Tahun 2018 lalu juga KNVB menggelar pembicaraan terkait pelaragan segala bentuk diskriminasi di dalam stadion sebagai bentuk kepatuhan mereka terhadap undang-undang yang berlaku di kerajaan Belanda.

Rivalitas Ajax dengan Feyenoord juga tak terlepas dari nyanyian anti-semit. Chants seperti “Hamas! Hamas! Hamas!” kerap terdengar saat kedua klub bertemu. Vandalisme yang dilakukan fans ADO Den Haag terhadap patung De Dokwerker, sebuah patung yang menjadi simbol anti-diskriminasi, tempat sejarah dimana undang-undang diskriminasi dihapuskan, juga menjadi tanda bahwa Ajax kerap mengalami perlakuan diskriminasi anti-semit.

Insiden nyanyian desis yang terjadi dalam laga derby London antara Spurs dan West Ham pada 2013 silam juga menjadi puncak bahwa Spurs amat dibenci karena identitas Yahudi mereka. Perlakuan yang sama mereka dapatkan ketika bertemu Lazio di Europa League beberapa musim silam.

Baik FA, KNVB, maupun UEFA telah memberikan sanksi bagi klub, berupa denda dan teguran formal. Menariknya, karena suporter sepakbola perlu sebuah identitas, baik fans Ajax dan Spurs serta fans lain yang menyuarakan perlakuan antisemit tak akan peduli dengan sanksi yang telah dan akan diterima klub mereka.

***

Dipastikan, laga yang mempertemukan Ajax dan Spurs akan menjadi pemandangan menarik. Selain performa kedua kesebelasan yang kini tengah meroket, “bumbu” Yahudi akan menambah sorotan diantara keduanya. Yang perlu diingat, berbagai kesamaan keduanya tentang identitas Yahudi tak akan mengurangi tensi tinggi di lapangan hijau.

Apa yang dilakukan seluruh episode sekali lagi menggarisbawahi identitas  Spurs dan Ajax, dengan berbagai referensi dan pengalaman yang dijalin bersama untuk menciptakan sebuah identitas. Ini bisa dibilang salah satu keunikan budaya dalam dunia sepakbola.