Andil Adidas dan Nike dalam Scouting Pemain Muda

Siapa yang tak kenal dengan Adidas dan Nike? Keduanya saat ini merupakan leading brand di dunia olahraga, khususnya sepakbola. Industri sepakbola yang berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir menjadikan brand apparel turut merasakan dampaknya. Scouting

Banyaknya merek apparel serupa seperti Puma, Umbro, Reebok, dll., tidak membuat dua merek ini kehilangan pesonanya. Berasal dari dua benua yang berbeda, Adidas dari Jerman dan Nike dari Amerika Serikat. Keduanya memiliki keunggulan lain dibanding pesaing.

Tapi siapa sangka kedua merek apparel ini terlibat lebih jauh dalam hal pengembangan pemain muda, khususnya dalam hal scouting atau pemantauan bakat muda. Dalam kasus ini, Inggris adalah bukti konkret bagaimana pola pemanduan bakat tak hanya hadir dari sebuah klub saja.

Sebenarnya, keterlibatan brand apparel di dalam dunia pemantauan bakat ini bukan merupakan misi mulia, melainkan tekanan untuk mengontrak duta atau lebih dikenal dengan istilah brand ambassador. Di saat brand apparel lain berlomba-lomba menawarkan kontrak dengan nominal selangit kepada pemain-pemain bintang, Adidas dan Nike telah merambah ke langkah yang lebih jauh. Mereka menjaring pemain muda berbakat dan menyalurkannya kepada klub.

Scouting Adidas dan Nike

Bisa dibilang, dua brand ini sudah beberapa lebih maju. Selain dari teknologi yang diterapkan melalui produk-produknya, rupanya hal ini juga membuat mereka memiliki keuntungan selain dari penjualan produk.

Nama Dele Alli adalah contoh dari peran apparel dalam hal scouting. Alli sudah terpantau oleh pemandu bakat Adidas, Neale McDermott, sejak gelandang Spurs masih memperkuat MK Dons. Saat itu, Alli diikat oleh Adidas di usianya yang ke-16.

Neale McDermott bukan nama asing bagi para manajer atau jajaran scouting klub di Liga Inggris. Kemampuan dan intuisinya dalam menilai pemain muda berbakat menjadikannya salah satu pemandu bakat untuk Adidas. Selain Dele Alli, gelandang muda Leicester City, Demarai Gray juga merupakan hasil pantauan head scout Adidas untuk benua Eropa ini.

Cerita ini sedikit mengingatkan kepada keterlibatan Adidas yang ‘memaksa’ AC Milan untuk merekrut salah satu ambasador mereka, Ricardo Izecson Santos Leite alias Kaká pada 2003 silam. Kala itu, AC Milan yang sudah identik dengan Adidas, mendapat tekanan dari Adidas untuk memboyong Kaká dari Sao Paulo. Hasilnya, luar biasa. Milan dibawa menjadi kampiun Liga Champions dan si pemain meraih gelar Pemain Terbaik Dunia. Bisa dibilang, kegemilangan Adidas dalam memantau pemain berbakat sudah terbukti manjur sejak lama.

Bahkan kini, beberapa klub di Premier League mencoba menggunakan para scout dari Adidas atau Nike sebagai jalan pintas untuk mencari pemain muda berbakat Inggris walaupun dengan harga yang gila-gilaan. Klub seperti Manchester City harus merogoh kocek sebesar 175 ribu paun demi mengontrak pemain berusia 13 tahun, Finley Burns dari Southend United yang di-endorse Nike. Beberapa tahun silam, The Citizens juga membayar mahal bintang Nike, Jadon Sancho sebesar 500 ribu Paun di usianya yang baru 14 tahun.  Kerjasama ini tidak mengherankan, mengingat kontrak Manchester City dengan Nike sejak 2013 silam.

Kegilaan produsen apparel Nike untuk mengontrak calon wonderkid terus berlanjut. Phil Foden, salah satu talenta emas Manchester City mengikat kontrak dengan Nike saat usianya menginjak 14, juga Ben Elliott, talenta muda Chelsea yang mengikat kontrak saat usianya 13 tahun.

Program Akademi dan Percobaan Nike Yang Gagal

Bentuk pendekatan yang agak sedikit berbeda dilakukan oleh Nike. Apparel ini menginisiasi Nike Academy, sebuah akademi yang dibentuk pada 2009 silam untuk mewadahi pemain-pemain di bawah usia 20 tahun yang belum mendapat kontrak profesional dari klub. Popularitas Nike di berbagai belahan dunia turut membantu mereka dalam mencari talenta.

Mereka juga mendirikan akademi di Tokyo, Moskow, dan Barcelona, sebagai pemasok pemain. Hasilnya, para pemain yang lolos seleksi kedalam akademi ini datang dari 17 negara di berbagai belahan dunia. Hasil dari akademi-akademi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam skuat Nike Academy FC.

Beberapa pemain top juga dihadirkan dalam pengembangan Nike ini. Nama-nama seperti Francesco Totti, Sami Khedira, Rio Ferdinand, Joe Hart pernah dihadirkan untuk membantu akademi pusat yang berbasis di kota Burton, West Midlands Inggris. Sebanyak 50 pemain lulusan tiap tahunnya berhasil mendapatkan kontrak dengan klub profesional.

Namun, setelah hampir satu dekade berdiri, program Nike Academy dikabarkan berakhir pada pertengahan 2017 silam. Tim Nike Academy tidak lagi bertanding. Penutupannya masih menjadi misteri hingga kini. Tidak ada pengumuman resmi dari mereka. Beberapa antusias sepakbola di internet beranggapan bahwa pengeluaran besar Nike tidak sebanding dengan pendapatannya, mengingat mayoritas pemain yang dihasilkan tidak mendapat perhatian dari klub-klub top Eropa.

Meskipun gagal, Nike rupanya masih menjalankan misi pencarian bakat yang sama seperti yang dilakukan Adidas melelui endorsment. Bahkan bisa dibilang lebih awal, mengingat salah satu head scout mereka, Neill Smillie (eks pemain Crystal Palace) sudah bekerja untuk Nike sejak 1997.

Sementara itu, Adidas juga melakukan pendekatan serupa namun lebih konservatif. Mereka lebih memilih untuk ‘mengakuisisi’ sebuah  akademi sepakbola yang telah berdiri sebelumnya, The International School of Soccer (ISOS). Selanjutnya mereka bekerja sama dengan klub-klub yang sudah established dalam hal pengembangan pemain muda, tentunya yang memiliki jalinan kerjasama dengan Adidas seperti Real Madrid, Benfica, Ajax, Real Sociedad, Valencia, dan juga Fulham. Federasi Sepakbola Spanyol, RFEF turut andil dari program yang dinamakan “Generation Adidas” ini.

Melalui laman resmi Generation Adidas, mereka mengklaim sudah menghasilkan 116 pemain profesional sejak program ini dimulai pada 2004 silam.

Memanfaatkan Loyalitas Terhadap Merek

Kedua apparel ini dengan cermat memanfaatkan sumber daya finansial mereka yang melimpah dan juga loyalitas pemain akan kedua merek tersebut. Karena di dalam dunia sepakbola, kedua merek ini selalu memiliki pengguna fanatik. Bintang kenamaan seperti David Beckham pun dikenal sebagai ‘Adidas guy’ oleh sesama pemain lulusan ‘Class of 92’. Hal ini diamini oleh Dermott Drummy, mantan kepala akademi Chelsea. Menurutnya, selalu ada fenomena ‘Nike guy’ atau ‘Adidas guy’ di setiap pemain muda, dan ini coba dimanfaatkan oleh brand bersangkutan.

Menurut McDermott, salah satu scout yang bekerja untuk Adidas, misi yang paling penting adalah bagaimana membuat si pemain muda merasa nyaman dengan Adidas bahkan pada usianya masih muda sekalipun. Langkah selanjutnya, bisa ditebak sendiri.

Bisa dibilang, usaha yang dilakukan oleh kedua apparel ini adalah sebuah inovasi langkah bisnis yang jenius. Di satu sisi, mereka bisa mendapatkan pencitraan publik yang baik dengan cara mengorbitkan pemain muda, dan di lain sisi usaha mereka untuk memupuk fanatisme merek di kalangan pemain muda juga turut mendongkrak penjualan produk.

Melihat fenomena ini, tidaklah mengherankan kalau Adidas dan Nike akan terus menerus menjadi leader ketimbang apparel lainnya. Karena seperti yang dikatakan Steve Jobs, “Inovasi adalah hal yang membedakan leader dan follower”. Dan sepertinya mereka berdua paham betul akan hal tersebut.