Bagaimana Premier League Bisa Menjadi Destinasi Pesepakbola Muda Brasil? (1)

Para pemain Brasil, pernah banyak yang menetapkan target kesuksesan mereka untuk bermain di Italia atau Spanyol. Hal ini terbukti dari banyaknya para bintang Samba terdahulu yang sudah menjadi ikon di berbagai klub Italia maupun Spanyol.

Namun, jika berkaca pada periode saat ini, negara destinasi mereka justru adalah Inggris. Inggris kini berhasil menguasai jumlah hak siar TV Satelit dan perlahan berubah menjadi pusat perhatian dunia untuk sektor kompetisi liga domestik sepakbola Eropa.

Para inglês ver,” adalah ungkapan yang banyak digunakan di Brasil. Ungkapan tersebut adalah representasi awal abad ke-19, ketika Pemerintah Inggris mendorong Brasil untuk berhenti menggunakan budak sebagai pekerja. Maka dengan terjadinya hal tersebut, sebuah hubungan spesial bisa terjalin antara Brasil dan Inggris.

Jika kembali membicarakan periode yang dilabelkan sebagai zaman milenial ini, para pemain sepakbola muda asal Brasil sudah tidak cenderung banyak yang mengagungkan permainan liga Spanyol maupun Italia. Pasalnya, hal seperti itu sudah berubah seketika berkat meningkatnya popularitas Premier League di negara Samba tersebut.

Para generasi masa depan asal Brasil itu pun bahkan saat ini semakin banyak yang ingin bermain untuk tim-tim Inggris. “Saya ingin menjadi menjadi pemain City. Saya ingin menjadi Chelsea,” bentuk teriakan antusias seperti itulah yang akan terdengar jika melewati halaman depan sebuah bangunan perumahan umum di São Paulo, Paraisópolis.

Di lokasi lapangan beton keras yang dihiasi oleh grafiti itu, sering juga terdapat sekelompok anak laki-laki yang lebih tua dari anak-anak biasa pada umunya di Brasil, yang beberapa diantaranya bertelanjang kaki serta banyak yang mengenakan kaos tim-tim Premier League. Mereka pun sangat bergembira dengan impian mereka untuk bisa bermain di Inggris.

Brasil, yang hanya menahu soal La Liga dan Serie A

Namun, hal seperti itu tidak akan terjadi dalam satu generasi sebelumnya. Pada era 1990-an, orang-orang Brasil di lingkungan berpenghasilan rendah hanya bisa menonton La Liga dan Serie A di stasiun aorta canais terestrial (saluran terbuka). Prospek menonton TV satelit seperti Direct TV, menjadi sebuah fantasi hebat kala itu. Berbeda halnya dengan orang Inggris, yang sudah sejak dulu bisa menonton Liga Inggris dengan bebasnya di rumah mereka maupun menonton langsung ke stadion tim kebanggaan.

Kompetisi Liga Champions juga bukanlah iklan terbaik untuk sepakbola Inggris di era itu. Ketika Manchester United memenangkannya di tahun 1999, mereka menjadi klub Inggris pertama yang melakukannya selama 15 tahun terakhir. Tapi meskipun begitu, klub Inggris menawarkan sangat sedikit pertunjukkan di Kejuaraan Dunia Klub, kompetisi yang selalu dianggap sebagai penaklukan tertinggi untuk sebuah klub sepakbola oleh orang Brasil. Oleh karenanya, Liga Inggris seakan bukan pilihan yang tepat untuk didatangi.

Lalu ada Liverpool, yang melanjutkan kemenangan ajaib mereka kala melawan Milan di final Liga Champions dengan kekalahan 1-0 dari São Paulo dalam kejuaraan Piala Dunia Antarklub pada 2005. Hasil seperti itu memperparah kapabilitas Liga Inggris di mata orang Brasil.

Sejujurnya, timnas Inggris juga tidak banyak memberi inspirasi. Mereka gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS, yang dimenangkan oleh Brasil melalui adu penalti kala itu. Kemudian mereka juga nyaris tidak membuat euforia pada Piala Dunia Prancis 1998, saat Brasil berhasil mencapai final, dan memamerkan kemampuan Ronaldo, Rivaldo dan Ronaldinho yang semuanya terlibat dalam menginspirasi generasi pemain muda untuk mendominasi liga Spanyol dan Italia.

Skandal politik Brasil yang meracuni kesejahteraan sepakbola

Pada Piala Dunia 2002, sebagai salah satu tim nasional terbesar saat itu, tim berjuluk Seleccao berhasil menjadi negara yang memenangkan Piala Dunia sebayak lima kali. Namun berbagai hal mulai muncul seiringan, dan mengubah sebagian kebijakan beberapa bulan setelah itu.

Luiz Inácio Lula da Silva, yang lebih dikenal dengan julukannya Lula, terpilih sebagai Presiden Brasil pada Oktober 2002. Ia menggembar-gemborkan cengkeraman 13 tahun atas kekuasaan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh) dan menguasai Brasil dengan karakter kepemimpinannya. Pemerintahan tersebut tiba-tiba berakhir pada 2016 ketika penerus Lula, presiden wanita pertama Brasil, Dilma Rousseff, dipecat akibat skandal korupsi. Dilma sendiri saat ini masih dalam pengawasan investigasi Lava Jato.

Mereka (Lula dan Dilma) dikritik karena gagal berinvestasi dalam sistem pendidikan publik Brasil, dan justru merubahnya menjadi hal mengerikan di negara itu. Maka menjadi sangat wajar, setelah kedudukan mereka jatuh, rakyat Brasil seakan bisa berpesta pora dan merayakannya dengan riang gembira di atas kesejahteraan yang turut menghampiri mereka.

Sumber: The Guardian, These Football Times