Bagaimana Proses Klub Sepakbola Saat Merekrut Manajer?

Foto: Flickr.com

Kesebelasan besar amat jarang, mungkin tidak pernah, membuka lowongan pekerjaan lewat media massa. Tidak seperti pekerjaan lainnya, posisi sebagai manajer atau pelatih sepakbola dianggap sebagai bagian dari subjektivitas klub itu sendiri. Lantas, bagaimana proses kesebelasan merekrut manajer?

Setiap tahun, akan selalu ada orang yang berhasil mendapatkan badge kepelatihan. Namun, banyak kesebelasan yang hanya menggunakan pelatih yang itu-itu saja. Manchester United, misalnya. Selepas Sir Alex Pensiun, MU memilih David Moyes yang sudah melatih sejak 1998. The Red Devils kemudian mendatangkan Louis van Gaal yang pernah melatih Ajax Amsterdam dan Barcelona dan mengawali karier kepelatihannya sejak 1991. Pun ketika merekrut Jose Mourinho. Siapa sih yang tak kenal Mourinho?

Padahal, menurut BBCsepanjang 79 hari dalam 2019 ini terdapat 13 manajer yang meninggalkan posisinya di empat kompetisi teratas di sepakbola Inggris. Ini artinya setiap enam hari, ada satu manajer yang dipecat. Dari fakta ini terlihat kalau sebenarnya posisi manajer itu tidak sulit-sulit amat untuk didapatkan. Lantas, bagaimana cara klub memilih manajer? Apakah mereka perlu mengirimkan CV? Atau link Wikipedia saja sudah cukup?

Menyiapkan Kandidat

Pemilihan manajer sebenarnya tidak jauh berbeda ketika klub akan mendatangkan pemain. Manajemen biasanya sudah melakukan penilaian, lini mana yang akan ditingkatkan. Setelah diketahui, baru mencari pemain potensial yang bisa didatangkan. Tentu, biasanya laporan ini dalam bentuk daftar yang berisi sejumlah pemain.

Pun ketika klub memilih manajer. Sudah ada daftar yang disiapkan jauh-jauh hari dengan mengurut pada prioritas. Ini yang terjadi ketika dalam press release-nya, Fulham memecat Slavisa Jokanovic dan langsung memberi tahu kalau penggantinya adalah Claudio Ranieri.

Pemilik Wigan Athletic, David Sharpe, kepada BBC mengungkapkan kalau dirinya punya daftar dari enam atau lebih manajer yang ia pantau setiap waktu. Ia melihat bagaimana si manajer mengelola tim, gaya bermain tim, dan perekrutan mereka. Baru dari situ mulai dilihat kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkannya. Sharpe juga merasa perlu untuk melihat siapa di antara skuat yang ingin bekerja sama dengan pelatih baru.

“Semuanya sudah dianalisis jadi sebelum masuk tahap wawancara, Anda bisa membuat penilaian yang bagus apakah mereka akan cocok atau tidak,” tutur Sharpe.

Namun semua ini bergantung pada situasi pada apa yang dibutuhkan klub itu sendiri. Misalnya, apakah klub ingin pelatih yang sesuai dengan filosofi klub, atau pelatih yang ingin membangun filosofinya sendiri. Hasil penilaian ini akan membuahkan daftar yang amat berbeda. Sialnya, klub yang tak punya tujuan biasanya akan menghadirkan manajer yang bermasalah di kemudian hari.

Membaca CV dan Wawancara

Setelah kandidat disiapkan, kini giliran klub untuk memastikan kesiapan calon pelamar. Mereka biasanya membaca CV yang umumnya dikirimkan oleh agen si pelatih. Klub biasanya mendapatkan 50 sampai 60 pelamar. Jadi, menyiapkan CV yang bagus itu perlu. Karena kalau CV seadanya, klub akan merasa kalau si kandidat tak benar-benar siap.

Wawancara sendiri tidak selamanya formal. David Sharpe mewawancara Paul Cook di bar di pinggir kolam. Namun, kebanyakan memang dilakukan di ruang rapat. Dari wawancara ini, sang kandidat bisa sadar apakah perkejaan itu untuknya atau untuk orang lain.

Wawancara yang dilakukan klub biasanya mirip dengan wawancara kerja pada umumnya. Namun, ada pula wawancara yang tak sekadar tanya-jawab tapi juga pemaparan yang bisa menghabiskan seharian penuh. Isinya mulai dari cara manajer mendatangkan pemain baru, mencontohkan memberi team talk di ruang ganti, bic

Mengapa Manajernya Itu-Itu Terus?

Setelah panjangnya pencarian, pemaparan dalam wawancara, mengapa sejumlah klub tetap menggunakan manajer yang itu-itu terus?

Salah satu alasannya karena alasan emosional. Pemilik atau CEO akan lebih terkesan pada mantan pemain yang pernah menjadi pahlawan mereka di masa kecil. Ini yang membuat mereka cenderung memilih manajer secara emosional meskipun bisa berakibat fatal buat klub.

Sharpe mencontohkan, kakeknya, Dave Whelan, pernah memilih Owen Coyle karena pembawaannya yang asyik. Coyle tidak dipilih berdasarkan kemampuan, tapi karena keduanya merasa enak untuk bicara. Dan ini terbukti karena Coyle memang tak cocok untuk Wigan.

Alasan lainnya, ada manajer yang memilih-milih kota tempat mereka akan tinggal. Pasalnya, ketika pindah pilihannya adalah meninggalkan keluarga di kota asal, atau turut serta membawa mereka. Ada sejumlah manajer yang memilih kota tertentu agar keluarga mereka juga betah.

Pada akhirnya, bekerja sebagai manajer atau pelatih, ternyata prosesnya tak berbeda dengan kita semua, bukan?

Sumber primer: https://www.bbc.com/sport/football/47640976.