Kecuali tangan, segala bagian tubuh bisa digunakan untuk bermain bola. Kepala adalah salah satunya. Kepala bahkan menjadi penting baik saat duel udara di lini pertahanan, maupun untuk mencetak gol.
Akan tetapi, kepala manusia itu rentan. Kepala kita memang dilindungi oleh tengkorak. Meski demikian, jika melakukan benturan secara berulang, bukankah itu bisa memengaruhi bahkan berbahaya untuk otak?
Editor The Guardian, Sean Ingle, dalam artikelnya Research Reveals Footballers are Still Heading for Serious Trouble, mengungkapkan bahwa otak bisa rusak hanya dengan menyundul bola.
“Kami semua sadar sejumlah pesepakbola masa lalu–salah satunya yang paling tragis Jeff Astle–menderita penyakit kemerosotan otak karena berulang-ulang menyundul bola kulit. Namun, bola di sepakbola modern saat ini jauh lebih ringan dan anti air. Peneliti dari Universitas Purdue di Indiana menyarankan mereka tidak bisa meniadakan bahaya dari menyundul tembakan keras dan sepakan yang tinggi,” tulis Ingle.
Penelitian yang dimaksud Ingle adalah yang dilakukan Eric Nauman bersama Tom Talavage dan Larry Leverenz. Mereka membuat riset terhadap dua tim sepakbola perempuan tingkat SMA dan satu tim sepakbola perempuan tingkat perguruan tinggi. Dasar pemilihan sepakbola perempuan sebagai subjek penelitian tak lain karena mereka memiliki rataan gegar otak tertinggi ketimbang atlet cabang olahraga lainnya.
Metode yang digunakan Nauman adalah dengan menempatkan sensor di belakang telinga para pemain pada setiap latihan dan pertandingan. Penempatan sensor tersebut bertujuan untuk memonitor besaran G-Force dari setiap benturan di kepala, tetapi juga percepatan rotasi otak setelah benturan yang lebih dari 20g.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas, para peneliti melakukan scan MRI sebelum, selama, dan setelah musim berakhir, untuk melihat perubahan di otak para pemain. Hasil penelitian tersebut membuat mereka terkejut karena ada banyak hal yang di luar ekspektasi mereka.
Pertama gaya yang ditimbulkan dari menyundul tendangan gawang tercatat antara 50g hingga 100g. Angka ini sama kuatnya seperti saat para pemain American Football menabrakkan diri mereka satu sama lain. Angka ini pun tak berbeda jauh dengan yang pukulan yang dilepaskan petinju.
Bedanya, para pemain American Football mendapatkan tekanan tersebut di saat pertandingan dan di latihan. Sementara para pesepakbola melakukannya setiap hari dengan intensitas yang lebih sering.
Dari penelitian tersebut juga terungkap kalau para pemain universitas mendapatkan dampak yang lebih besar dari 20g sebanyak 4,59 dalam tiap pertandingan. Menurut Nauman, hal tersebut terjadi karena setelah memasuki fase kuliah, para pemain cenderung lebih sering menyundul bola. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak ketimbang yang terjadi dengan pesepakbola SMA.
Menurut Nauman, sundulan bola bisa membuat pembuluh darah rusak. Hal tersebut memang bisa diobati tetapi ia menyarankan para pesepakbola untuk istirahat.
Yang paling mengkhawatirkan adalah cedera pada otak sulit untuk diamati. Ketiadaan reseptor nyeri membuat benturan keras pada otak diabaikan begitu saja. Benturan yang lebih serius bisa membuat pandangan pesepakbola menjadi berkabut dan kepala pening.
“Anda bisa saja menghancurkan bagian lain dari tubuh dan rasanya amat menyakitkan. Tetapi ketika sesuatu terjadi pada otakmu, itu tak memiliki penerima yang mengatakan padamu untuk meredakannya dalam beberapa hari,” tutur Nauman.
Nauman pun membandingkan dua pesepakbola yang sering mendapat banyak benturan dengan yang jarang terbentur tapi sekalinya terbentur mendapatkan gaya yang besar.
“Jika Anda membandingkannya, justru mereka yang lebih sering terbentur memiliki efek yang lebih buruk,” tutur Nauman.
“Ini seharusnya bisa menjadi peringatan buat mereka yang skeptis bahwa bola yang lebih ringan pada saat ini justru bisa menghasilkan kerusakan yang signifikan,” tulis Ingle.
Menurut Nauman hal yang mesti segera dilakukan adalah penelitian terkait dampak benturan di kepala. Sepakbola memerlukan penelitian lebih lanjut tentang benturan bola dengan kepala mulai dari level junior hingga ke pertandingan profesional.
“Aku bertaruh tendangan kiper di Premier League jika disundul pemain bisa mencapai 150g atau 160g. Apakah itu berbahaya? Mungkin tidak karena leher pria lebih kuat dan bisa meredam tekanan ekstra,” ucap Nauman.
Meskipun demikian, Nauman ingin memastikan bahwa lewat studi yang ia lakukan jelas mengejutkan bahwa sebuah bola sepak yang ringan bisa berakibat fatal. Ia pun sadar kalau penelitiannya tersebut sekadar di atas permukaan, belum menelisik ke dalam.
Meninggal Karena Cedera Kepala
Awal 2014, peneliti dari Universitas Boston menemukan bahwa meninggalnya pesepakbola Chicago Fire, Patrick Grange, disebabkan karena cedera kepala saat menyundul bola. Dalam diagnosisnya, Grange menderita trauma Chronic Traumatic Encepahlopathy, CTE. Kematian tersebut sebagai hasil dementia karena menyundul bola berulang-ulang.
CTE umumnya diasosiasikan dengan olahraga seperti tinju dan mulai mengarah pada American Football meskipun mereka dilengkapi dengan peredam dan helm. Di Amerika, sepakbola dianggap sebagai olahraga yang lebih aman buat anak-anak. Namun, kematian Grange menimbulkan perdebatan tersendiri soal itu.
“Dia memiliki kerusakan yang besar di bagian otaknya,” ujar dr. Ann McKee dikutip dari Telegraph, “Kami telah melihat atlet lain pada usia 20-an dengan tingkat penyakit seperti ini, tetapi mereka biasanya pemain (American) football.”
Bahaya Duel Udara
Sementara itu, peneliti dari Universitas Colorado meneliti kondisi sekitar lebih dari seribu gegar otak yang terjadi selama hampir 3 juta latihan dan pertandingan sepakbola di sekolah menengah atas anak laki-laki dan perempuan selama sembilan tahun. Data dari High School RIO, sebuah sistem pengawasan cedera olahraga nasional, menunjukkan bahwa sebagian besar gegar otak terjadi saat melakukan kontak dengan pemain lain.
Menurut tim peneliti, sundulan menyebabkan 30 persen dari gegar otak. Sisanya, 70% gegar otak terjadi selama aktivitas lain, seperti bertahan, menjaga gawang, atau mengejar bola lepas.
“Saat pemain melompat untuk menyundul bola, mereka terkena pukulan di kepala atau dipukul dengan siku atau bagian tubuh lainnya, atau mereka terjatuh dan kepalanya terbentur tanah,” jelas tim peneliti.
Sebagai bagian dari upaya komprehensif untuk membuat sepakbola remaja lebih aman, pada 2015 US Soccer melarang sundulan di antara pemain berusia di bawah 10 tahun, dan membatasi jumlah sundulan di antara pemain berusia 11 hingga 13 tahun.
Apakah aturan sundulan ini akan mengurangi gegar otak masih harus dilihat. Namun, mengurangi kontak atlet akan lebih efektif, meski tentu saja sulit terwujud. Karena bagaimana caranya main bola tanpa kontak fisik?
Hanya ada sedikit penelitian mengenai risiko gegar otak pada pemain sepakbola remaja atau dampak sundulan dan gegar otak terhadap kesehatan mereka. Beberapa penelitian kecil telah meneliti potensi efek jangka pendek dari sundulan di kalangan pemain remaja. Sebagian besar melaporkan bahwa sundulan tidak menyebabkan gejala gegar otak, melemahkan otot-otot yang memberikan stabilitas pada leher dan kepala, mempengaruhi koordinasi, atau mempengaruhi cara pemain berpikir, mengingat atau berperilaku.
Analisis pada tahun 2016 tidak menemukan bukti yang mengaitkan sundulan kepala di sepak bola remaja dengan kerusakan otak permanen. Hal ini menyusul penilaian sebelumnya yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics, yang menyimpulkan bahwa literatur tidak mendukung anggapan bahwa kontak kepala yang disengaja cenderung menyebabkan kerusakan otak akut atau kumulatif.
Meskipun upaya penelitian terus dilakukan, sebagian besar dokter setuju bahwa mengurangi kontak kepala yang tidak perlu dalam semua olahraga adalah hal yang masuk akal. Jika dicurigai adanya cedera kepala, atlet harus menemui ahli kesehatan profesional yang terlatih dalam diagnosis dan pengobatan gegar otak.
Sumber: The Sports Institute