Cara Belgia Mencapai Peringkat Pertama FIFA

Pernah ada masa ketika Belgia menempati peringkat pertama dalam ranking FIFA. Padahal, Belgia tak pernah memenangi Piala Eropa, apalagi Piala Dunia.

Ranking FIFA memang menghitung poin berdasarkan hasil pertandingan. Artinya, tidak melulu juara Piala Dunia akan ada di peringkat pertama. Pun sebaliknya, peringkat pertama ranking FIFA belum tentu juara Piala Dunia. Namun, satu hal yang pasti, peringkat pertama FIFA pastilah negara yang kuat di sepakbola.

Generasi Emas Belgia

Belgia sempat ada di peringkat pertama pada 2015. Mereka sempat tergeser oleh Argentina dan Jerman dua tahun kemudian. Namun, Belgia kembali ada di peringkat pertama pada 2018 hingga 2021.

Ranking FIFA diurutkan berdasarkan poin yang dikumpulkan timnas dari setiap pertandingan yang mereka lakoni. Setiap pertandingan punya kelasnya masing-masing yang diklasifikasikan oleh FIFA. Kemenangan di Piala Dunia akan mendapatkan poin yang lebih banyak ketimbang di pertandingan “persahabatan” seperti biasanya.

Melihat fakta ini artinya Belgia menjadi negara yang sulit ditaklukkan sepanjang setidaknya lima tahun. Yang paling utama adalah komposisi skuad mereka yang kerap disebut sebagai Golden Generation.

Puncaknya ketika Belgia menempati peringkat ketiga di Piala Dunia 2018. Saat itu, skuad Belgia dihuni para pemain yang sudah matang dan menjadi andalan di timnya masing-masing.

Di pos penjaga gawang ada Thibaut Courtois yang jadi kiper utama Chelsea, Simon Mignolet yang pernah jadi kiper utama Liverpool, dan Koen Casteels yang adalah kiper utama Vfl Wolfsburg.

Di area pertahanan, nama-nama top juga ada di sana: Toby Alderweirld (Tottenham Hotspur), Thomas Vermaelen (Barcelona), Vincent Kompany (Man City), Jan Verthongen (Tottenham Hotspur), Thomas Meunier (Paris Saint-Germain), hingga Leander Dendoncker (Anderlecht).

Di lini tengah, Belgia punya gelandang kuat macam Axel Witsel, Marouane Fellaini, Yannick Carrasco, Mousa Dembele, dan Naser Chadli. Mereka dilengkapi dengan kehadiran gelandang kreatif seperti Kevin de Bruyne dan Eden Hazard.

Di lini serang, Belgia bergantung pada Romelu Lukaku yang didukung penyerang dengan kecepatan seperti Dries Mertens dan Adnan Janujaz.

Meski dijuluki “Golden Generation”, tapi Lukaku sendiri enggan mengakuinya. “Kami tahu kami tim yang berbakat, tapi kami tak menyebut diri kami sendiri sebagai ‘Golden Generation,” kata Lukaku.

Proyek 2000

Di Piala Eropa 2000, Belgia menjadi tuan rumah bersama dengan Belanda. Akan tetapi, mereka tak bisa lolos ke babak gugur setelah hanya meraih satu kemenangan atas Swedia.

Melihat hal ini, Federasi Sepakbola Belgia, RBFA, sadar kalau negara mereka tak bisa bersaing dengan negara lain di Eropa. Belgia lalu belajar dari Total Football-nya Belanda serta Clairefontaine yang merupakan pusat sepakbola Prancis. Sistem ini pun diberi nama “Proyek 2000”.

Sistem tersebut mengetengahkan satu sistem yaitu 4-2-3-1 atau 4-3-3. Tujuannya agar semua orang bisa menguasai bola, mencarinya, dan mampu mempertahankannya. Belgia pun memisahkan pemain yang kuat secara fisik dan pemain yang kuat secara teknik.

Pemain yang kuat secara fisik dikembangkan tekniknya, sementara pemain yang kuat tekniknya dikembangkan mentalnya dengan bermain bersama tim yang lebih tua. Contoh pemain yang tekniknya bagus adalah Eden Hazard dan Romelu Lukaku. Keduanya sudah dikenal dan berkompetisi di usia muda.

Lukaku masuk ke dalam Purple Talent Project yang dianjurkan oleh ayahnya sendiri. Proyek tersebut memasukkan pendidikan formal di samping latihan pemain muda di lapangan. Delapan pemain dari 23 skuad Belgia di Piala Dunia 2018 bersal dari proyek ini.

Sementara itu Kevin De Bruyne baru masuk timnas di U-18. Alasannya, karena ia lahir pada Juni atau di pertengahan tahun. Ini membuat fisiknya sedikit lebih kecil/kurus ketimbang rekannya yang lain yang lahir lebih dulu sekitar September-Februari.

Karier yang Panjang

Belgia sudah berpikir panjang. Mereka berharap 50 persen dari generasi “Proyek 2000” ini bisa menjadi pelatih. Ini yang membuat De Bruyne, Witsel, Thorgan, dan Courtois, mengambil kursus kepelatihan pada 2019.

Vincent Kompany menjadi salah satu contoh. Ia meninggalkan Manchester City pada Mei 2018 lalu pindah ke Anderlecht. Di kampung halamannya, ia menjadi manajer. Lalu pada 2022, ia menangani Burnley.

Mantan pelatih Belgia, Roberto Martinez, menyebut kalau “Golden Generation” Belgia ini unik. Tidak akan ada satu buku atau model yang cocok karena setiap individu mengambil langkah yang sangat berbeda. Ini pula yang membuat Belgia mendorong para pemainnya untuk kursus kepelatihan.

“Karena mengikuti kursus kepelatihan akan membuat Anda berhenti berpikir sebagai pemain dan Anda mulai berpikir dengan cara lain dan (cara pikir) orang lain di lapangan,” kata Martinez.

Martinez sendiri ingin agar para pemain muda Belgia matang terlebih dahulu di liga lokal. Setidaknya, mereka melakoni 50 pertandingan sebelum pindah ke luar negeri.

“Para pemain harus cukup matang untuk main di luar negeri, bukan cuma soal sepakbola tapi soal manusianya yang bisa bertahan hidup di luar negeri,” terang mantan pelatih Everton tersebut.

Di level timnas, Martinez kerap memanggil beberapa pemain muda untuk mencicipi level pertandingan internasional. Ia bahkan kerap memanggil kelompok pemain baru yang berbakat. Martinez ingin agar mereka punya mental juara yang dibangun di level timnas.

Hubungan Senior-Junior

Lukaku ingat bagaimana rivalitas di dalam timnas dengan para pemain senior seperti Kompany, Dembele, dan Fellaini. Persaingan ini jadi penting agar nantinya, generasi pemain muda, punya rasa percaya diri untuk membawa mereka ke tingkat selanjutnya.

Level yang ditetapkan para pemain senior ini sudah tinggi. Ini perlu untuk memastikan para pemain yang lebih muda untuk bisa mencapai level yang sama.

“Kami memberi tahu mereka bahwa bermain untuk timnas Belgia artinya adalah untuk menang,” kata Lukaku.

Belgia pernah ada di peringkat ke-70 pada 2010. Namun, saat Martinez masuk pada Juli 2016, peringkat Belgia sudah ada di kedua. Mereka sadar kalau para pemain di skuadnya adalah orang-orang spesial. Akan tetapi, konsistensi-lah yang jadi kunci.

Di Piala Eropa 2016, mereka kalah di perempatfinal dari Wales. Karena itu, Martinez mengubah gaya main Belgia menjadi 3-4-3 dengan mengedepankan kekuatan para pemainnya.

Selain itu, Martinez juga selalu menekankan bahwa main buat timnas, bukan cuma soal pertandingan, tapi para pemain ini mewakili daerah mereka. Karena itu, Martinez ingin agar setiap individu ini bisa tampil dengan seluruh kemampuannya.

“Untuk menjadi nomor satu di dunia, Anda membutuhkan bakat, tapi juga harus konsisten,” kata Martinez.

Hal ini juga yang dirasakan De Bruyne. Awalnya, Belgia kerap sulit untuk lolos ke turnamen besar. Namun, mereka mulai mengembangkan budaya untuk menang. Di sisi lain, para pemain masih berusia 20-25 tahun, dan perlahan mulai berkembang secara usia dan juga mental.

***

Belgia memang bertahun-tahun ada di peringkat pertama FIFA. Akan tetapi, fakta bahwa mereka masih inkonsisten tak bisa dikesampingkan. Di Piala Eropa 2020, mereka cuma sampai perempatfinal usai dikalahkan Italia. Lalu pada Piala dunia 2022, Belgia bahkan tak lolos fase grup.

Belgia seperti mengikuti prediksi banyak orang di mana Piala Dunia 2022 akan menjadi turnamen terakhir Golden Generation. Sialnya, mereka malah tak bisa berbicara banyak sekaligus benar-benar mengakhiri generasi emas tersebut.

Sumber: ESPN.